Dia teman Soekarno. Tapi bukan itu yang membuatnya terkenal. Ia suhu bangunan Indonesia.
Roosseno. Dia profesor, juga doktor, dan insinyur. Dalam usianya yang 79 tahun, ia masih tampak segar dan energik. Pukul tujuh tepat ia sudah menunggu AKU TAHU di kantornya, Biro Insinyur Exakta, Gunung Sahari, Jakarta. Berdasi hitam, kemeja biru muda bergaris, dan stelan jas abu-abu, direktur utama biro itu sejak didirikannya, tampak gagah dan lebih muda dari usia sebenarnya. “Saya memang lebih senang bergerak di swasta daripada menjadi pegawai negeri. Saya tak senang dengan pegawai negeri. Gajinya kecil, dan tukang peras,” katanya. Ia tentu punya alasan. “Coba saja urus izin mendirikan bangunan, misalnya. Anda pasti diminta untuk membayar dan menyogok petugasnya. Ya, bukannya harus melayani masyarakat malah sebaliknya dilayani masyarakat. Karena itu saya dan anak-anak saya tidak ada yang menjadi pegawai negeri.”
Meski begitu, bukan berarti Roosseno antipemerintahan. Tidak. Bahkan ia sendiri pernah menjabat sebagai menteri. Tidak hanya sekali, tiga kali malah. Pertama sebagai menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, 1953, lalu Menteri Perhubungan, 1954, kemudian Menteri Ekonomi, 1955.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam masa jabatannya menjadi menteri, banyak hal yang dilakukannya, antara lain menasionalisasikan perusahaan-perusahan peninggalan Belanda—seperti, misalnya, PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api)—dan mendirikan Jakarta Lloyd serta PELNI (Perusahan Pelayaran Nasional Indonesia). Perusahaan yang dinasionalisasikannya serta yang didirikannya itu hingga kini masih berjalan dan meninggalkan kenangan manis di benak Roosseno. Juga, yang selalu dikenangnya adalah Konferensi Asia-Afrika yang di-selenggarakan di Bandung itu. “Saya sebagai menteri ekonomi, tahun 1955 itu, termasuk salah seorang penyelenggara. Dan sukses Konferensi Asia Afrika itu meninggalkan kenangan dan kebanggaan tersendiri bagi saya pribadi dan juga sebagai bangsa Indonesia.” Setelah berhenti menjadi menteri, “saya banyak berkecimpung di swasta,” ujar Roosseno. Berkecimpungnya Roosseno di sektor swasta bukan baru sekarang. Sejak masih muda. Tahun 1930an, saat baru menyabet gelar insinyur di Bandung, “saya bersama Bung Karno; yang kemudian menjadi presiden, telah mendirikan Biro Insinyur di Bandung,” ungkapnya. Roosseno kenal dengan Bung Karno ketika sama-sama menuntut ilmu di Technisch Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik, kini ITB) Bandung. Perkenalan berlanjut menjadi sangat akrab, lantaran beridealisme serupa. Biro Insinyur di Bandung itu didirikan agar insinyur pribumi mendapat kesempatan untuk berkembang. “Pada waktu itu Belanda sangat membatasi perkembangan insinyur dan ilmuwan pribumi.”
Otomatis hanya Roosseno seoranglah yang me-nangani kerja dan semua urusan di Biro Insinyur Ban-dung itu, lantaran “sepak terjang Bung Karno di politik tidak bisa diduga. Ia begitu aktif berpolitik hingga akhirnya dibuang ke Ende, Flores, oleh Belanda. Tinggal saya sendiri yang mengatur segala urusan di Biro Insinyur,” kenangnya.
Roosseno sendiri terlibat pula dalam kancah politik. “Saya bergabung ke dalam Partai Indonesia Raya,” ceritanya. “Tapi keterlibatan saya tidak terlampau jauh. Saya adalah seorang insinyur. Karena itu, saya lebih mengabdikan diri dalam bidang kealihan saya serta dalam dunia pendidikan,” kilahnya.
Sebagai seorang yang mengabdikan diri di bidang pendidikan, ia melihat, dunia pendidikan kita sekarang kurang sehat. Kenapa? “Karena belum ada pemerataan kesempatan belajar secara menyeluruh, khususnya yang menyangkut dunia pendidikan menengah dan tinggi. Minat belajar masyarakat sangat besar, namun tidak diimbangi penyediaan sarana sekolah dan perguruan tinggi yang memadai.” Yang dimaksudkan Roosseno adalah sekolah dan perguruan tinggi negeri. Teramat kurang. “Lebih dari 70 persen lulusan SMA kita terpaksa tidak bisa melanjutkan sekolah. Pertama adalah karena tidak mampu lulus saringan SIPENMARU, sebagian lagi karena tak mampu dalam hal biaya,” ujarnya, sedih. “Terjunnya pihak swasta dalam pengelolaan pendidikan bukan jalan keluar yang baik. Karena mengelola sebuah lembaga pendidikan membutuhkan biaya besar, yang pada akhirnya dibebankan pada siswa dan mahasiswa.” Roosseno punya bukti nyata. Ia sendiri terlibat mengelola ISTN, Institut Sains & Teknologi (dulu STTN, Sekolah Tinggi Teknik Nasional). “Mahasiswa yang mendaftar dan ingin masuk ke sini harus membayar uang sumbangan di atas dua juta rupiah. Biaya yang sangat besar. Tapi bagaimana? Terpaksa begitu, karena tanpa uang, program pendidikan tidak mungkin bisa berjalan lancar. Saya pribadi sangat piihatin dengan masalah pendidikan seperti ini, tapi saya toh tidak bisa berbuat banyak,” ujamya. Ia sama prihatinnya dengan diberlakukannya Sistem Kredit Semester (SKS), yang secara tidak langsung membungkamkan mahasiswa. “Mungkin maksud pemerintah adalah mencegah mahasiswa melakukan kegiatan politik praktis. Ini karena khawatir, mahasiswa akan ditunggangi oleh pihak luar. Tapi yang namanya mahasiswa ‘kan punya otak, bisa berpikir apakah mau ditunggangi atau tidak. Mereka toh bisa menentukan sendiri pilihannya.”
Sebagai seorang insinyur, hasil karya tangan Roosseno sudah tercecer di seantero Jakarta. Gedung Olahraga Senayan, Gedung Pasar Raya Sarinah, Wisma Nusantara yang menjulang itu, serta nyaris semua gedung hotel dan gedung raksasa, juga tugu nasional, di ibukota ini. Maka pantaslah kalau Roosseno dianggap sebagai “Bapak Beton” Indonesia. Bahkan ada yang menjulukinya “Dukun Beton”. Memang cocok, lantaran setiap kali ada pembangunan gedung yang kemudian terbentur masalah gawat, Roossenolah yang selalu dipanggil uptuk mengatasinya. Satu contoh adalah gedung Ratu Plaza yang tegak mewah berdiri di sisi Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. “Bangunan itu dari luar kelihatannya indah dan mentereng, tapi di dalamnya sebenarnya penuh borok. Waktu sedang dibangun sampai sudah lantai empat, baru ketahuan, bahwa pengelasan kerangka beton gedung itu tidak sempurna. Berbahaya itu. Dan pemborong lalu minta diperbaiki oleh Dukun,” ujarnya terkekeh-kekeh. Emil Salim, Menteri KLH, pernah berkata, bahwa “peran para insinyur dalam pembangunan sama dengan perannya dalam melestarikan atau merusakkan lingkungan hidup kita.” Roosseno pun mengakui dan membenarkan apa yang dikatakan Emil Salim itu. Karenanya, Roosseno sangat mendukung gagasan “pembangunan berwawasan lingkungan” yang dicanangkan Emil Salim. “Karena itu, bagi para insinyur yang merencanakan pembangunan, jangan hanya berorientasi pada biaya, pada ongkos, pada uang, saja,” imbau suhu insinyur Indonesia ini. Dalam merencanakan pembangunan, haruslah juga diperhitungkan akibat samping yang ditimbulkan oleh pembangunan itu. Harus dipikirkan dampak pembangunan tersebut terhadap lingkungan hidup sekitarnya.” Dia melihat, “banyak ragam pembangunan yang mengesampingkan unsur dampak lingkungan. Di Mojokerto, di bangun pabrik sebuah bumbu masak. Sampah pabrik tersebut lalu dibuang ke Kali Brantas. Akibatnya, jadi apa itu Brantas? Penuh sesak oleh kotoran dan limbah pabrik. Airnya jadi hijau kuning. Polusi.”
Untuk memberikan wawasan yang luas pada para insinyur yang notabene perencana pembangunan, maka perlu dibina dari awal, dari bangku perguruan tinggi. “Di perguruan tinggi teknik yang mendidik calon-calon insinyur, yang dimatangkan sebaiknya jangan hanya soal-soal teknis saja. Perlu diberikan wawasan filosofi, agar nanti, kalau mereka tamat dan terjun ke lapangan, apa yang mereka lakukan tidak hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis saja. Mereka juga harus memikirkan akibat samping yang ditimbulkannya,” usul Roosseno. “Wawasan filosofi ini juga harus diberikan pada calon-calon dokter, misalnya.”
Beasiswa Pemerintah Belanda
Keberhasilan yang dicapai Roosseno kini bukan merupakan hadiah langsung yang jatuh begitu saja dari langit. Semua keberhasilan yang ia nikmati sekarang merupakan buah hasil kerja keras dalam pahit getir kehidupannya. Roosseno dilahirkan di Madiun sebagai anak seorang Patih. Namun, ketika masih orok, diboyong Eyang ke Temanggung dan tinggal di sana hingga mencapai usia tujuh tahun. Roosseno kecil lalu diambil kembali, tinggal bersama keluarganya, di Kediri. Ia dimasukkan ke sekolah Belanda, Europe Lagere School. Tamat ELS. Roosseno masuk MULO, setingkat SMP sekarang. Sementara itu, ibunya meninggal dunia. Dan keluarganya diboyong ke Yogya berhubung ayahnya pindah tugas ke kota ini. Di Yogya Roosseno mendapat ibu baru, putri bangsawan Yogya.
Belum tamat MULO, keluarga Roosseno diboyong kembali ke Kediri. Dan setamat MULO, melanjutkan sekolahnya ke AMS, Yogya. “Di AMS Yogya ini saya berada dua tingkat di bawah Slamet Iman Santoso, sekitar tahun 1925an,” kenang Roosseno. Ia lalu bercerita, bahwa ketika duduk di bangku AMS ini, kakaknya, yang telah melanjutkan sekolah ke Jakarta, membutuhkan banyak biaya. “Karena itu, saya tidak mungkin melanjutkan sekolah setamat AMS kalau mengharapkan biaya dari orang tua. Maka, mau tidak mau, saya harus membanting tulang belajar siang malam supaya bisa dapat beasiswa. Tidak sia-sia. Saya berhasil lulus dari AMS Yogya 1928 dengan nilai tertinggi. Juara umum. Karenanya, waktu itu, saya dijuluki ‘Bintang ’28 dari Yogya’.” Dan karena Roosseno berhasil lulus AMS sebagai siswa terbaik, maka dia pun berhak memperoleh beasiswa dari pemerintah Belanda. Melanjutkan kuliahnya ke Technisch Hogeschool di Bandung, tahun 1928 itu.
Ia menyabet gelar insinyur dari Technisch Hogeschool Bandung tahun 1932. “Setamat insinyur saya lalu bergabung dengan Soekarno, mendinkan Biro Insinyur itu. Tapi saya juga diminta menjadi asisten di Technisch Hogeschool. Saya menjadi asisten seorang profesor Belanda untuk bidang geodesi, ukur mengukur tanah,” ungkapnya. “Sementara itu, juga diangkat menjadi pegawai di Departemen Pekerjaan Umum Belanda. “Ketika menjadi pegawai pemerintah Belanda inilah saya punya banyak waktu luang. Waktu luang saya itu saya pakai untuk menulis banyak karangan ilmiah, sehingga saya menjadi terkenal, khususnya di antara para ilmuwan Belanda. Karena itu, pemerintah Belanda menjanjikan saya untuk diangkat menjadi guru besar di Bandung.” Tapi, sebelum semua janji Belanda itu terlaksana, pada tahun 1942, Jepang masuk. Technisch Hogeschool milik Belanda diubah menjadi Sekolah Tinggi Teknik Jepang. “Dan Jepang memakai tenaga saya. Saya diangkat menjadi guru besar, satu-satunya guru besar pribumi,” bangga Roosseno.
Ketika tahun 1945 Jepang menyerah, “saya mengambil alih perguruan tinggi teknik itu dan menjadikannya Sekolah Tinggi Teknik Bandung. Tapi ini hanya berlangsung sebentar, karena tentara Inggris datang dan menyerbu kampus. Saya kumpulkan semua buku-buku dan segala perlengkapan yang bisa dibawa, dan bersama beberapa teman, membawanya ke Yogya. Di Yogya ini saya mendirikan Sekolah Tinggi Teknik Bandung di Yogyakarta. Di sini saya bertemu (Herman) Johannes, yang meski masih mahasiswa, karena saya tahu dia pandai, saya angkat menjadi dosen untuk mengajar mekanika dan lain-lain,” kenangnya. Tiga tahun di Yogya, Roosseno hijrah ke Jakarta. “Saya mendirikan kantor sendiri, buka usaha swasta. Semua itu saya lakukan karena saya tidak mau hidup melarat. Di Yogya dulu, dengan enam orang anak, hidup saya sudah terlalu susah. Saya tidak mau susah lagi,” tegasnya.
Tahun 1953, Roosseno diangkat menjadi Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, lalu Menteri Perhubungan, kemudian Menteri Ekonomi, tahun 1954 dan 1955. “Berhenti jadi menteri, saya kembali ke usaha swasta. Waktu itu, Sekolah Tinggi Teknik Bandung dihidupkan kembali. Saya ikut mendirikannya, tapi namanya belum ITB. Waktu itu namanya Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung. Saya jadi guru besar di sana, dan harus bolak balik Jakarta Bandung saban minggu.”
Roosseno memang selalu terlibat dalam dunia usaha swasta, dan dunia pendidikan. Dua dunia ini tampaknya tak bisa dipisahkan dari pribadi Roosseno, sampai hari ini, di usianya yang menjelang 79 tahun, 3 Agustus 1987 mendatang. Ia tetap guru besar di berbagai lembaga, termasuk FTUI, ITB, dan ISTN, serta membuka kursus bidang bangunan 80 jam yang lulusannya banyak dipakai. — AT/Ignas B.
Sumber: Majalah Aku Tahu, No. 52 Tahun V, Juni 1987
—————————
Prof.Dr.Ir Roosseno yang lahir pada tanggal 2 Agustus 1908 adalah pelopor konstruksi beton di Indonesia. Nama Roosseno selalu dikaitkan dengan rekayasa teknik sipil Indonesia. Dialah penerjemah ulung gambar dan desain para perancang bangunan ke dalam bentuk dan struktur pada masanya. Roosseno merupakan lulusan dari Technische Hooge School Bandung (sekarang Institut Teknik Bandung/ITB) yang pada tahun 1932 menjadi satu–satunya orang Indonesia di antara 12 orang yang lulus dari insitut tersebut. Ia lulus dengan nilai tertinggi di antara 7 orang Belanda dan 1 orang Tionghoa. Ia mengawali karir dengan berwiraswasta di Bandung dengan mendirikan Biro Insinyur Roosseno dan Soekarno (Presiden pertama RI) di Jalan Banceuy pada tahun 1933. Meski sebetulnya sama–sama insinyur sipil, Soekarno lebih pandai dalam merancang bangunan.
Beliau yang dikenal jago berhitung semasa mahasiswa, pandai dalam membangun konstruksinya. Setelah biro yang mereka dirikan bubar pada tahun 1935–1939, Roosseno bekerja sebagai pegawai Department van Verkeer en Waterstaat (Departemen Jalan dan Pengairan) di Bandung). Di sini, ia berhasil meyakinkan atasan–atasannya untuk mengutamakan penggunaan beton dalam pembangunan jembatan di Indonesia. Alasannya, bahan-bahan dasar beton seperti pasir, batu pecah, semen dan kayu perancah dapat dibeli di Indonesia sendiri, sehingga biaya pengadaannya akan masuk ke dalam kantong rakyat dan ikut mensejahterakan
rakyat.
Pada masa penjajahan Jepang, Roosseno beralih menjadi dosen di Bandung Koogyo Daigaku (perubahan dari THS) hingga awal kemerdekaan. Semasa masih hidup, ia dikenal bisa menjelaskan ilmu–ilmu yang sulit dengan cara penyampaian sederhana. Dengan itu, murid–murid diharapkan lebih terinspirasi lagi, dan semakin cinta mendalami teknik sipil. Pada masa pendudukan Jepang, tepatnya 1 April 1944, Roosseno diangkat menjadi guru besar (kyudju) bidang ilmu beton di Bandung Kogyo Daigaku. Lalu, tanggal 26 Maret 1949 ia diangkat menjadi guru besar luar biasa ilmu beton di Universiteit Van Indonesi, Faculteit van Technische Wetenschap di Bandung.
Pada tahun 1948, Rooseno pindah ke Jakarta dan mendirikan Kantor Consulting Engineer. Pada tahun 1954, Roosseno menulis buku ajar beton pertama dalam bahasa Indonesia. Kemudian pada tahun 1949, ia mulai memperkenalkan beton pratekan melalui kuliah–kuliahnya di ITB dan melalui tulisan–tulisan dalam Majalah Insinyur Indonesia pada tahun 1959. Selain itu ia pernah tiga kali menjabat menteri diantaranya Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga, Menteri Perhubungan, dan Menteri Ekonomi. Selama masa itu ia tetap aktif di pendidikan dan menjadi guru besar ITB dan Fakultas Teknik Universitas Indonesia (UI) dan juga sebagai Direktur Sekolah Tinggi Teknik Nasional (STTN) di Jakarta. Nama Roosseno mulai diperbincangkan pada sekitar 1960, ketika Presiden Soekarno mulai menyukai bangunan–bangunan besar. Lalu dibangunlah Hotel Indonesia di Jakarta, Hotel Ambarukmo di Yogyakarta, Samudera Beach Hotel di Pelabuhan Ratu, dan Bali Beach Hotel di Pantai Sanur, Bali. Juga Tugu Selamat Datang dan Monumen Nasional. Untuk menyongsong Asian Games, dibangun kompleks Gelanggang Olahraga Senayan, yang juga dinamakan Gelora Bung Karno.
Roosseno adalah salah satu insinyur yang secara konsisten mengenalkan dan mengembangkan beton –baik lentur maupun tarik– dalam rekayasa bangunan di Indonesia. Oleh karena itu, ia dijuluki sebagai Bapak Beton Indonesia. Sebagai ahli beton bertulang, Rooseno telah banyak menangani berbagai proyek penting, seperti jembatan, pelabuhan, gedung, dan hotel bertingkat. Di kalangan perbetonan internasional, Roosseno menjadi anggota International Association for Bridge and Structural Engineering (IBSE), Zurich dan Federation International de Precontreinte (FIP).
Di masa pemerintahan Presiden Soeharto, Roosseno tetap dipercaya untuk menangani proyek–proyek besar misalnya pemugaran Candi Borobudur dan penyelesaian Masjid Istiqlal. Ketika Jakarta dilanda demam gedung tinggi, Roosseno ditunjuk menjadi bagian dalam Tim Penasihat Konstruksi Bangunan yang dibentuk Gubernur Ali Sadikin pada 1972. Selain itu Rooseno juga menjadi Direktur di tiga perusahaan yaitu, Biro Insinyur Exakta NV, Freyssinet Indonesia Ltd dan Biro Oktroi Patent Roosseno. Pada tahun 1962, Pemerintah RI menganugerahinya Satya Lencana untuk jasa ikut membangun Kompleks Asian Games Senayan. Penghargaan lainnya adalah Doctor Honoris Causa untuk ilmu teknik yang diterimanya dari ITB pada tahun 1977. Pada Juli 1984, Roosseno mendapat Bintang Mahaputra Utama dari pemerintah yang diberikan langsung oleh Presiden Soeharto. Predikat Bapak Beton Indonesia tepat sekali diberikan kepada Roosseno, yang meninggal pada15 Juni 1996 ini. Ia telah terlibat dalam banyak proyek –proyek penting di Indonesia. Walaupun ia sudah tiada, namun jasa dan karya–karyanya akan selalu senantiasa dikenang.
Sumber : http://www.engineeringtown.com