Revolusi mental yang digemakan pemerintahan Presiden Joko Widodo menjadi harapan baru terciptanya bangsa Indonesia yang lebih beradab. Sekian lama, nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, dan solidaritas pudar. Pudarnya nilai-nilai itu karena kejatuhan mental. Akibatnya, bangsa ini mudah dirasuki berbagai pengaruh asing, seperti kapitalisme, liberalisme, radikalisme, dan terorisme.
”Revolusi mental sangat mendesak dan memerlukan amunisi lebih mendalam dan mendasar, yakni nilai-nilai fundamental untuk mendongkrak mentalitas bangsa yang paripurna, yaitu revolusi spiritual. Sumbernya bisa berasal dan berdasarkan tasawuf,” kata Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj dalam pidato pengukuhannya sebagai Guru Besar Bidang Tasawuf Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya, Sabtu (29/11).
Said Aqil mengatakan, para sufi atau pelaku ajaran tasawuf telah merumuskan suatu pemahaman kebatinan yang substantif-holistik. Caranya dengan mengejawantahkan nilai-nilai esoteris keagamaan dan kemanusiaan yang adiluhung. Para sufi masa lalu menyusun itu dengan berangkat dari pengalaman praktik sufistik yang mendalam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Said, pemikiran universal dalam revolusi yang dirumuskan para sufi itu merupakan estafet pemikiran yang telah berlangsung lama dalam dunia kesufian, yakni pengungkapan otentik dan bersandar pada hasil penjelajahan samudra keilmuan dan pengamalan jiwa-batin. ”Kita perlu membangun bangsa melalui revolusi spiritual. Suatu revolusi spiritual yang berbudaya sufisme,” ujarnya. (ODY)
Sumber: Kompas, 30 November 2014
—————–
Ketua Umum PBNU jadi guru besar tasawuf
Ketua Umum PBNU Prof Dr KH Said Aqil Siroj MA menjadi guru besar bidang tasawuf di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya setelah menunggu selama empat tahun lebih (2010-2014).
“Proses Kiai Said Aqil menjadi guru besar itu empat tahunan karena berkasnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sempat menghilang,” kata Sekjen Kemenag Prof Dr H Nur Syam MSi saat menghadiri pengukuhan itu di Surabaya, Sabtu.
Di hadapan mantan Mendikbud Mohammad Nuh, Menristek Prof Muhammad Nasir, Mensos Khofifah, Menteri Desa Marwan Jafar, Rais Aam Syuriah PBNU KH Mustofa Bisri, Wagub Jatim H Saifullah Yusuf, dan sejumlah ulama, ia menyebut M Nuh berjasa dalam pengukuhan KH Said Aqil Siroj itu.
“Pengukuhan Kiai Said bisa terlaksana sekarang (29/11), karena permintaan Pak Nuh saat menjadi Mendikbud kepada Rektor UIN Sunan Ampel Prof Abd Ala untuk memproses pengukuhan Kiai Said Aqil di Surabaya saja agar cepat,” katanya.
Sementara itu, Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Prof Abdul Ala mengatakan pihaknya sudah mengkaji kontribusi KH Said Aqil Siroj dalam bidang keilmuan dan ternyata memenuhi syarat sebagai guru besar ke-47 di UINSA.
“UINSA (UIN Sunan Ampel) juga menilai guru besar bidang tasawuf itu langka dan Kiai Said Aqil merupakan guru besar bidang tasawuf satu-satunya di UINSA, jadi komitmen UINSA pada aspek keilmuan dan kecerdasan spiritual itu tidak main-main,” katanya.
Namun, pengukuhan itu juga memberi kewajiban kepada orang nomer satu di PBNU itu untuk mengajar. “Mungkin saja beliau harusmengajar 1-2 kali dalam setiap semester dan menggunakan team teaching untuk mengajar lebih dari itu,” katanya.
Dalam kesempatan itu, mantan Mendikbud Mohammad Nuh mengatakan pengukuhan KH Said Aqil Siroj menunjukkan sumber keilmuan itu tidak harus ada pada satu universitas tapi tersebar.
“Secara aturan, Kiai Said Aqil merupakan Guru Besar Dosen Tidak Tetap (GB-DTT), karena beliau bukan dosen UINSA, tapi kapasitas keilmuannya bisa dimanfaatkan untuk UINSA,” katanya.
Sementara itu, Prof KH Said Aqil Siroj MA dalam pidato pengukuhannya menegaskan bahwa modernitas telah gagal, karena materi dan rutinitas kerja justru menghancurkan makna kehidupan.
“Modernitas itu memang ada sisi positif dalam kemajuan material dan teknologi, tapi modernitas juga meminggirkan manusia dari eksistensinya hingga terjadilah kelelahan hidup,” katanya.
Menurut doktor alumnus Ummul Qurra Mekkah itu, kehancuran makna hidup mendorong manusia melirik agama, kearifan lokal, tasawuf, dan spiritualitas.
“Tasawuf memang dituduh sebagai kemunduran umat Islam dan bahkan bidah, padahal tasawuf itu bukan soal baik dan buruk, tapi soal indah dan bermakna,” katanya.
Artinya, tasawuf bukan sekadar memperbanyak ibadah, sedekah, tarekat, surga-neraka, dan pengasingan (zuhud), melainkan adanya nur dari Allah, meninggalkan nafsu, dan dzikir. “Jadi, tasawuf itu revolusi spiritualitas yang lebih tinggi daripada revolusi mental (=program kerja Presiden Jokowi),” katanya.
Pewarta: Edy M Yakub
Editor: Ruslan Burhani
Sumber: Antara, Sabtu, 29 November 2014 18:43 WIB