Resistensi anti mikroba (anti microbial resistance/ AMR) muncul sebagai salah satu tantangan kesehatan terbesar dunia. Persoalan ini menjadi isu kesehatan masyarakat dan mengancam kesehatan masyarakat.
Ancaman terhadap kesehatan dewasa ini memang bukan saja datang dari penyakit menular dan tidak menular, melainkan juga datang dari cara kita mengobati penyakit yang bersumber dari virus atau bakteri.
Resistensi anti mikroba terjadi ketika mikroorganisme, seperti bakteri, virus, jamur, dan parasit, berubah sehingga kebal anti biotik. Hal ini membuat sakit menjadi lebih lama, bahkan kematian, dan biaya pengobatan mahal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tahun 2014, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan surveilans global mengenai resistensi anti mikroba dengan menggarisbawahi resistensi anti biotik sebagai ancaman terhadap kemampuan mengobati infeksi-infeksi umum di masyarakat dan rumah sakit.
Laporan tersebut juga menekankan pentingnya aksi segera, terkoordinasi dari semua sektor pemerintah dan masyarakat, agar karena tanpa aksi demikian dunia akan menuju era pasca anti biotik dengan infeksi umum dan cedera ringan yang dapat kembali mematikan.
Kesimpulan itu ditarik dari temuan WHO di seluruh dunia. Di antaranya adalah peningkatan bertahap resistensi terhadap obat-obat HIV pada 2012. Terdapat 480.000 kasus baru dari multidrug-resistant tuberculosis (MDR-TB) di beberapa negara di dunia pada 2013. Selain itu, ada peningkatan resistensi terhadap pengobatan Malaria falciparum di wilayah Mekong Raya.
Peningkatan proporsi resitensi anti biotik pada bakteri-bakteri yang menyebabkan infeksi umum, seperti infeksi saluran kemih, pneumonia, dan infeksi aliran darah; hingga kegagalan pengobatan untuk gonore, juga dilaporkan sejumlah negara.
Kerugian akibat resistensi anti mikroba tidak semata-mata berkaitan dengan masalah medis, tetapi juga ekonomi dan biaya sosial yang ditimbulkan.
Tinjauan tentang resistensi anti mikroba yang diketuai ekonom terkenal Inggris, Jim O’Neill, menunjukkan bahwa kerugian medis, ekonomi, dan sosial yang ditimbulkan sangat mencengangkan. Diproyeksikan akan terdapat 300 juta kematian prematur, hilangnya 100 triliun dollar AS dalam ekonomi global pada 2050, jika tren resistensi anti mikroba tidak dikendalikan.
Kematian akibat resistensi anti mikroba juga diproyeksikan menjadi penyebab kematian terbesar pada 2050, yakni 10 juta jiwa, melampaui penyebab-penyebab kematian utama lain, seperti kanker dan diabetes.
Saat ini kematian terkait dengan resistensi anti mikroba sekitar 700.000 jiwa (estimasi rendah). Tampaklah lonjakan besar dalam kematian akibat resistensi anti mikroba jika hal ini tidak ditangani secara tepat.
Tantangan penanganan
Penanggulangan AMR tidak mudah karena bukan hanya melibatkan pihak pasien atau dokter saja, tetapi merupakan interaksi kompleks dari berbagai faktor mulai dari dokter, pasien, industri farmasi, kepentingan bisnis, kesadaran masyarakat, hingga dunia pendidikan secara luas.
Lebih dari itu, penanganan AMR makin sulit karena anti biotika bukan saja dimanfaatkan untuk mengobati penyakit-penyakit infeksi pada manusia, tetapi juga bidang lain, seperti pertanian dan peternakan. Luasnya cakupan pemakaian anti biotika dalam produk-produk pertanian dan peternakan memerlukan perhatian khusus dan ketaatan ketat terhadap peraturan yang ada. Kesadaran akan bahaya residu anti biotika dari produk peternakan perlu ditingkatkan agar seiring upaya penanganan AMR.
Kenyataan bahwa penyebab dan dampak persoalan resistensi anti mikroba melampaui bidang kesehatan masyarakat memerlukan partisipasi dari semua sektor pemerintah dan masyarakat untuk bekerja sama menanggulangi tantangan ini.
Bagaimanapun juga, kita tidak ingin capaian pembangunan nasional yang telah dicapai dengan susah payah hilang gara-gara kerugian akibat penanganan resistensi anti mikroba yang salah. Lebih jauh, jangan sampai kapasitas untuk mencapai tujuan pembangunan global, seperti Sustainable Development Goals (SDGs), direduksi oleh dampak resistensi anti mikroba.
Peta jalan
Dengan kesadaran akan pentingnya penanggulangan AMR secara kolektif dan tepat, Indonesia telah membuat peta jalan 2015-2019, yang mencakup berbagai kebijakan dan strategi upaya penanggulangan resistensi anti mikroba.
Tujuan utama rencana strategis di atas adalah: 1) terwujudnya upaya pengendalian resistensi anti mikroba di fasilitas kesehatan, 2) terwujudnya masyarakat peduli pengendalian resistensi anti mikroba, yang ditandai dengan peningkatan pemahaman AMR, penurunan konsumsi anti biotik maupun penjualan anti biotik secara bebas, 3) terwujudnya inovasi kurikulum pendidikan ihwal pengendalian resistensi anti mikroba untuk tenaga kesehatan, dan 4) terwujudnya kolaborasi lintas-sektor di luar Kementerian Kesehatan.
Bentuk-bentuk kerja sama multisektoral, antara lain mencakup kerja sama dengan Kementerian Pertanian dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, organisasi profesi, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat.
Di tingkat global, Indonesia memainkan peran penting melalui forum Global Health Security Agenda (GHSA). Aspek-aspek resistensi anti mikroba yang ditargetkan mencakup manusia, hewan, pertanian, makanan, dan lingkungan. Indonesia menjadi ketua GHSA 2016 di forum yang beranggotakan 50 negara ini.
Untuk menanggulangi resistensi anti mikroba dalam kerangka kerja GHSA, setiap negara anggota diharapkan: a) mengembangkan rencana komprehensif nasional, b) memperkuat kapasitas surveilans dan laboratorium, dan c) meningkatkan kolaborasi untuk mendukung tindakan preventif, diagnostik cepat, dan pengobatan alternatif, serta pengembangan dan pelestarian anti biotik baru.
Mengingat pentingnya aksi global yang terkoordinasi, kita perlu jeli melihat potensi untuk bekerja sama secara aktif dengan negara lain dan masyarakat internasional.
Nila F Moeloek, Menteri Kesehatan
Sumber: KOMPAS, 27 Mei 2016