Pengembangan energi terbarukan seperti tenaga surya menjanjikan. Kendala harga panel mahal berangsur-angsur teratasi dan kian ekonomis. Ini berkat inovasi teknologi yang terus berkembang.
Kabar terbaru, kolaborasi insinyur di Michigan Technological University di Amerika Serikat dan Aalto University di Finlandia menemukan penanganan produksi panel surya bermaterial silikon (Si) hitam lebih murah 10 persen. Hal itu terjadi dengan mengubah pembuatan material silikon pada panel surya.
Temuan mereka ini dipublikasikan dalam jurnal Energies berjudul ”Economic Advantages of Dry-Etched Black Silicon in Passivated Emitter Rear Cell (PERC) Photovoltaic Manufacturing”. Jurnal ini diumumkan dalam situs kampus itu pada 4 September 2018.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Temuan ini jadi kabar menggembirakan seiring langkah Indonesia meningkatkan bauran energi terbarukan. Dalam Kebijakan Energi Nasional, pembangkitan listrik dari energi surya ditargetkan 6.400 megawatt pada 2025. Saat ini yang terpasang hanya 90 MW dan sel surya fotovoltaik (PV) yang terpasang itu sebagian besar diimpor.
Padahal, ada 12 industri nasional modul surya PV yang berproduksi dengan kapasitas 480 MW per tahun. Namun, daya serap pasar produk dalam negeri hanya 1 persen atau 4,8 MW. ”Potensi energi surya perlu dimanfaatkan demi ketahanan energi nasional,” kata Direktur Pusat Pengkajian Industri Manufaktur Telematika dan Elektronika Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Andhika Prastawa.
Dukungan kebijakan
Menurut Deputi Bidang Teknologi Pengkajian Kebijakan Teknologi BPPT Gatot Dwianto, sebagai negara beriklim tropis, Indonesia memiliki potensi energi surya besar. Upaya mengatasi rendahnya daya saing industri sel surya butuh dukungan kebijakan. Rancangan peraturan menteri tentang pemasangan PLTS sejuta atap pun disiapkan.
Rapermen ini diharapkan mempercepat pelaksanaan gerakan sel surya sejuta atap. Pada gerakan itu ditargetkan 1 GW yang memerlukan areal 1000 hektar. Ini diperkirakan menjangkau satu juta pelanggan. Di Pulau Jawa ada 30 juta pemilik atau pengguna bangunan yang berlangganan listrik PLN. Jika dapat menjaring 3 persennya maka ada satu juta banggunan menggunakan sel surya atap.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Panel pembangkit listrik tenaga surya berjajar di Pulau Parang, Karimunjawa, Jepara, Jawa Tengah, Rabu (8/8/2018). Di Pulau Parang ini, Program Dukungan Lingkungan Danida Denmark Fase 3 (ESP3) memberikan bantuan pembangunan PLTS berkapasitas 60 kWp yang memperkuat PLTS eksisting (bantuan Kementerian ESDM berkapasitas 75 kWp). Ini bisa menambah pelayanan listrik kepada warga sebesar 1.500 Wh per hari selama 24 jam.
Gerakan Sejuta surya atap telah dicanangkan tahun 2017, namun belum mendapat respons baik. Hanya satu persen dari target satu juga pelanggan. Hal inilah yang perlu didorong melalui kebijakan. Permen ini juga akan memperkuat lampiran Keputusan Presiden sebelumnya yang menyebutkan 30 persen bangunan pemerintah harus memasang sel surya fotovoltaik.
Peraturan ini juga perlu mengatur pembangunan industri sel surya yang menyeluruh dari hulu ke hilir. Menurut Ketua Umum Asosiasi Pabrikan Modul Surya Indonesia, Nick Nurrachman, Industri dari pasir kuasa hingga panel surya hanya memerlukan 340 juta dollar AS. Ini peluang BUMN seperti Inalum dan pembuatan wafer oleh BUMN di bidang elektronika seperti LEN dan Inti.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjanjikan aturan main pemasangan panel surya di atap (solar roof top) pada bangunan rumah atau gedung. Menurut Haryanto, Direktur Konservasi Energi Kementerian ESDM, dengan regulasi itu, pelanggan PLN boleh memasang panel surya di atap tersambung instalasi PT PLN dalam rumah. Batasannya, kapasitas solar panel itu 90 persen dari daya PLN pada bangunan.
”Meteran bolak-balik (dari sambungan listrik PLN dan solar roof top) diberlakukan. Kalau surplus dari PV, itu mereduksi tagihan listrik dari PLN,” katanya beberapa waktu lalu di Jakarta.
Langkah ini jadi kiprah sektor energi dalam penurunan emisi dalam dokumen kontribusi nasional (NDC) terkait Perjanjian Paris. Sektor energi diwajibkan menurunkan emisi 38 persen.
Menekan biaya
Upaya dilakukan, antara lain, melalui energi terbarukan seperti sel surya. Namun, sel surya dinilai mahal dan tak kompetitif dengan energi fosil. Kabar temuan peneliti Michigan Tech dan Aalto University menjadi angin segar.
”Upaya mengefektifkan biaya per unit tingkat sel berdampak besar di hilir,” kata Joshua Pearce, Guru Besar Ilmu Material dan Teknik Elektro Michigan Tech. Itu membuat biaya energi surya sebanding listrik konvensional sehingga penggunaan sel surya meluas.
Silikon merupakan material penyerap cahaya yang dipakai dalam panel surya PV. Konsumen dihadapkan pada PV berbahan silikon kristal tunggal berbiaya produksi tinggi dan menghasilkan efisiensi tinggi atau silikon multikristal berbiaya produksi rendah dan efisiensi rendah. Silikon kristal tunggal berwarna hitam dan silikon multikristal berwarna biru.
Pemotongan biasa di dua tipe silikon menurunkan efisiensi penyerapan cahaya. Peneliti mengetahui pemotongan kering membuat silikon hitam (black-Si) lebih efisien menangkap cahaya dibandingkan pemotongan biasa.
Peneliti memakai metode pemotongan kering pada silikon hitam. Akibatnya, silikon memiliki tonjolan tinggi dan permukaan rusak sehingga menurunkan performa. Peneliti Aalto University menunjukkan, saat silikon dilapisi endapan lapisan atom yang sesuai (ALD), permukaan rusak teratasi sehingga penyerapan cahaya lebih efisien.
Tidak mahal
Pada pemikiran umum, biaya pemotongan kering dan ALD pada sel black-Si sangat mahal saat dipraktikkan pada industri. Karena itu lah hasil studi ini mengejutkan, termasuk bagi Pearce.
Peneliti menjumpai produksi individual black-Si passive emitter rear cells (PERC) 15,8 – 25,1 persen lebih mahal dibanding sel konvensional. Namun, mereka juga menemukan bahwa efisiensi yang didapatkan serta kemampuan beralih dari silikon kristal tunggal ke silikon multikristal melebihi seluruh biaya itu. Secara umum, biaya per unit turun hingga 10,8 persen.
Michigan Tech mengingatkan solar panel hitam tidaklah selalu lebih baik dari pada biru. Peningkatan teknologi bisa menyingkirkan pesaing energi terbarukan dalam arena perubahan iklim.
“Bagi orang-orang yang berpikir teknologi batubara akan mampu bersaing dengan tenaga surya, mereka harus tahu biaya solar masih terus turun. Sebagian besar perusahaan batubara sudah, mendekati, atau bangkrut sekarang. Tidak mungkin batubara akan mampu bersaing dengan solar di masa depan,” kata Joshua Pearce.–ICHWAN SUSANTO/YUNI IKAWATI
Sumber: Kompas, 6 September 2018