Di pelosok selatan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah wilayah hening menyimpan riuh perjuangan. Namanya Petungkriyono, hutan lebat yang tumbuh di antara punggung Pegunungan Dieng, menyelipkan sisa-sisa hutan hujan tropis dataran rendah yang hampir punah dari peta Jawa. Ini bukan sekadar hamparan pepohonan dan lembah berembun. Ini adalah panggung senyap di mana alam, manusia, dan kekuasaan bertarung dalam diam.
Petungkriyono: Lebih dari Sekadar Hutan
Dengan luas lebih dari 5.800 hektare, Petungkriyono menyimpan apa yang nyaris hilang di Pulau Jawa—tegakan hutan asli yang belum terjamah total. Di sini, pohon bendo dan sentul menjulang seperti menara, diselingi suara-suara burung langka dan bayangan primata yang melintas di antara cabang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun ironisnya, meski menyimpan keanekaragaman hayati luar biasa, Petungkriyono bukan kawasan konservasi resmi. Ia berada di bawah kendali Perum Perhutani sebagai hutan produksi terbatas, dan itu membuat garis pelindungnya tak lebih tebal dari kabut pagi yang menyelimuti lereng.
Rumah Terakhir yang Sunyi
Petungkriyono bukan hanya penting bagi pohon dan tanah. Ia adalah habitat kritis bagi Owa Jawa (Hylobates moloch) — primata endemik yang hanya tersisa sedikit di muka bumi. Mereka adalah makhluk setia pasangan, menyanyi pagi hari sebagai tanda wilayah, dan kini hanya bisa bertahan di tempat seperti Petungkriyono.
Selain owa, hutan ini juga dihuni oleh lutung, kukang, trenggiling, bahkan elang Jawa dan 158 jenis burung lain—sebagian besar di antaranya terancam punah. Burung-burung bersuara merdu seperti cucak ijo dan raja-udang kalung biru, kerap diburu hanya demi kompetisi kicauan atau dipajang di sangkar.
“Kalau suara mereka menghilang dari hutan, siapa yang akan menegur pagi?” tanya Yulianto, seorang pemuda desa Kayupuring yang kini aktif melakukan patroli malam demi menjaga kelestarian satwa liar.
Antara Listrik dan Hutan: Dilema yang Tak Selesai
Namun tak semua orang di sekitar Petungkriyono berniat merusak. Sejumlah warga melihat hutan sebagai sumber harapan ekonomi melalui pariwisata alam dan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH). Mereka menyambut wisatawan yang ingin mandi di curug tersembunyi, atau duduk di bawah rindangnya hutan yang seperti Jurassic Park versi Jawa.
Energi listrik murah dari PLTMH membantu rumah-rumah bercahaya, anak-anak belajar malam hari. Namun pembangunan infrastruktur juga membuka jalan. Dan di setiap jalan baru, selalu ada potensi: pohon ditebang, tanah diperjualbelikan, burung diburu, dan air dialirkan bukan untuk akar, melainkan untuk kilang.
Inilah paradoks Petungkriyono: ketika pembangunan masuk, konservasi harus lebih sigap, atau akan tertinggal dalam bayang-bayang ambisi.
Konservasi oleh Rakyat, Bukan Pemerintah Saja
Bila negara lambat mengakui nilai hutan ini sebagai Kawasan Ekosistem Esensial (KEE), masyarakat bergerak lebih cepat. Program penanaman pohon lokal—seperti kopi, durian, cengkih—bukan hanya untuk pakan satwa, tapi juga menjaga ekonomi warga. Mereka memahami: hutan yang sehat bukan musuh, tapi mitra.
Generasi muda juga ikut terlibat. Di beberapa desa seperti Tlogoguwo dan Sokokembang, anak-anak muda mendata populasi burung, memasang kamera jebak, hingga membuat konten edukatif di media sosial. Mereka menyuarakan alam dengan narasi yang bersahabat, bukan ceramah.
Tarik Ulur yang Tak Pernah Usai
Namun tarik-menarik kepentingan tak pernah benar-benar reda. Di satu sisi, konservasionis berjuang mempertahankan benteng terakhir keragaman hayati Jawa. Di sisi lain, hadir godaan proyek wisata massal, pertanian instan, dan transaksi tanah oleh investor yang tak kenal istilah “spesies endemik”.
Hutan Petungkriyono kini berada di simpang jalan. Apakah akan tetap menjadi rumah bagi owa dan raja-udang, atau berubah menjadi jejak kabut di dalam kenangan ekologi Jawa?
Menjaga yang Tak Ternilai
Petungkriyono bukan hanya aset daerah. Ia adalah laboratorium alam, paru-paru kecil yang tersisa, serta warisan biologis yang tidak tergantikan. Ia mengingatkan kita bahwa di tengah gempuran zaman, masih ada tempat yang layak dipertahankan bukan karena keuntungan, tetapi karena nilai kehidupan.
Karena jika owa Jawa berhenti bernyanyi, itu bukan hanya akhir dari spesies. Itu juga pertanda bahwa kita, manusia, telah kehilangan arah.