Dari Anas RA. dituturkan bahwa Rasulullah Pernah melewati suatu kaum yang sedang melakukan penyerbukan kurma. Beliau lalu bersabda, “Andai kalian tidak melakukan penyerbukan niscaya kurma itu menjadi baik.” Anas berkata: Pohon kurma itu ternyata menghasilkan kurma yang jelek. Lalu Nabi melihat. Apa perbedaan antara hari berikutnya dan bertanya, “Apakah mereka tidak harus makan apa pun?” Mereka berkata, “Dan dia pernah berkata demikian dan demikian.” Percaya atau tidak, “Kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian.” (HR Muslim).
Hadits ini disampaikan Rasulullah SAW dalam konteks spesifik yang sangat manusi¬awi. Ceritanya, suatu ketika para sahabat mendiskusikan masalah teknis penyerbukan kurma. Rasulullah SAW menyadari bahwa pengetahuan tentang pertanian adalah ranah yang tidak termasuk dalam tugas kenabiannya. Lalu Rasul mengatakan, kalianlah yang lebih mengerti urusan dunia yang kalian jalankan selama ini. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya, hadits ini termaktub dalam bagian al-Fadha’il, Bab Tamyiz Bayna Umur al-Dunya wa al-Din.
Hubungan dengan Agama
Sepanjang perjalanan kehidupan duniawi, manusia selalu tertarik berbicara tentang kaitan hidup ini dengan agama. Masyarakat pra-masehi mengagungkan berbagai hal yang nampak sebagai objek untuk disembah. Persia kuno menyembah api karena mereka menganggap makhluk panas itu sebagai sumber kehidupan. Lambat laun berubah, mereka menyembah patung yang merefleksikan tokoh-tokoh mitos: Zeus si dewa tertinggi, kemudian bersaudara dengan Poseidon dan Hades, serta banyak lagi dewa dewi yang beranak pinak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Jazirah Arab pun demikian. Mereka menyembah patung-patung yang merefleksikan kebaikan. Ada Latta dan Uzza, dua orang yang dahulu dikenal sebagai sosok yang dermawan. Mereka kerap menyisihkan sebagian harta, memberi bekal kepada mereka yang hendak berhaji. Hingga kemudian mereka wafat.
Karena banyak orang menghormati mereka, maka orang-orang tersebut selalu berziarah ke makam Latta dan Uzza. Juga membuatkan patung untuk selalu mengenang kebaikan mereka. Namun lambat laun, malah menyembah patung tersebut. Kebiasaan buruk berlebihan menghormati orang lain menjadi tradisi.
Kemudian datanglah Islam yang mengeliminasi berbagai konsep teologi yang ada. Kemudian mengganti semua itu dengan tauhidullah. Hanya ada satu Tuhan yang disembah, yaitu Allah. Laa ilaaha illa Allah. Begitulah dzikir penguat keimanan kepada Allah yang selalu dibaca dan dilazimkan Muslim.
Hadits di atas telah lama menjadi referensi umat Islam memahami relasi kehidupan dan agama. Makna yang terkandung di dalamnya adalah, bahwa para sahabat diberi keleluasaan dalam menekuni dan mengatur urusan dunia mereka. Tentunya hal tersebut dengan batasan tidak menyalahi atau melanggar syariat Islam.
Kalimat sederhana ini menjadi kunci untuk membaca bagaimana manusia dapat mengintegrasikan ranah duniawi dan ukhrawi. Dalam konteks modern yang diwarnai dengan teknologi canggih dan kecerdasan buatan, pesan hadits ini menjadi sangat mendasar untuk dipahami bersama, bahwa segala urusan duniawi, boleh saja merujuk kepada segala hal yang pernah diajarkan para leluhur. Namun dalam hal agama, harus dan wajib mutlak merujuk kepada apa yang dibawa Nabi Muhammad. Karena hanya sang nabi yang berkomunikasi dengan Allah Sang Maha pencipta.
Saat ini, garis pembeda antara dunia dan agama sering kali kabur. Teknologi, yang semula diciptakan untuk mempermudah kehidupan, kini diagungkan, terus digunakan hingga orang kebablasan. Lupa sholat, mengabaikan zakat, enggan berpuasa, dan meninggalkan segala asupan rohani penenang jiwa. Kemajuan teknologi seakan dipuja seperti halnya orang zaman dahulu kala menyembah berhala.
Ada pula sekelompok orang yang getol menggeluti kehidupan duniawi, memenuhi segala nafsu kebinatangan dengan nikmat tanpa memedulikan agama. Mereka adalah orang yang menganggap kehidupan di rumah dan kantor adalah apa yang mereka rasakan dan hadapi. Bebas terserah mereka. Namun, ketika masuk tempat ibadah, barulah mereka ingat agama. Sebegitu sempitnya mereka memahami agama dan dunia. Merekalah orang-orang pengagung sekularisme. Ego mereka sungguh besar, merasa yakin dengan pilihan hidupnya, bahkan terlalu yakin dengan prinsip yang dijalani. Padahal itu semua menjungkalkan diri sendiri ke jurang kesombongan. Merasa jumawa seperti Firaun dulu hingga akhirnya meminta manusia menyembah mereka. Sungguh sangat celaka.
Dalam ranah filsafat ilmu, hadits ini membuka percakapan menarik tentang bagaimana agama dan ilmu dapat saling melengkapi. Seyyed Hossein Nasr dalam Science and Civilization in Islam menjelaskan bahwa Islam tidak pernah memandang ilmu duniawi sebagai sesuatu yang bertentangan dengan agama, asalkan ilmu itu diarahkan untuk mendekatkan manusia kepada Allah. Kutipannya yang menarik adalah ilmu dalam Islam senantiasa mengitari sumbernya, yaitu Al Qur’an, hadits, dan turunannya, seperti halnya malaikat bertawaf mengelilingi Baitul Makmur di langit sana, seperti para pilgrims yang asyik memutari Kabah di Masjidil Haram. Selalu merasa tenang dan nikmat saat berada di dekat sumber kehidupan, yaitu rumah Allah.
Hal ini sejalan dengan pandangan Ibn Khaldun yang melihat ilmu duniawi sebagai pelengkap bagi manusia untuk mencapai keseimbangan kehidupan. Dalam pandangan ini, agama memberikan tujuan, sedangkan ilmu duniawi menyediakan alat untuk mencapainya.
Ketika kita membawa refleksi ini ke era modern, dunia yang kita tempati menjadi semakin kompleks. Teknologi telah menjadi bagian integral dari kehidupan manusia. Dari pendidikan berbasis teknologi hingga dakwah digital. Kita menyaksikan bagaimana inovasi teknologi telah mempercepat banyak hal. Namun, di tengah kecepatan itu, kita sering kali dihadapkan pada dilema moral: bagaimana memastikan teknologi tetap menjadi alat yang membawa manfaat, bukan senjata yang merusak tatanan sosial dan spiritual kita?
Dalam pendidikan, teknologi menghadirkan peluang besar untuk membuka dan melebarkan segala akses ilmu. Aplikasi berbasis kecerdasan buatan kini mampu menghadirkan pembelajaran personal yang disesuaikan dengan kebutuhan individu. Namun, tanpa landasan moral yang kuat dan keimanan yang tertanam di hati, pendidikan berbasis teknologi berpotensi melahirkan generasi yang tenggelam dalam kehampaan. Jean Francois Lyotard dalam The Postmodern Condition mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan yang tidak diiringi kebijaksanaan hanya akan melahirkan manusia yang teralienasi dari makna hidupnya.
Pendidikan Islam harus mampu mengintegrasikan kemajuan teknologi dengan nilai-nilai keimanan, menjadikan teknologi sebagai jalan menuju pencarian kebenaran, bukan sekadar alat untuk memenuhi ambisi duniawi.
Kecerdasan buatan, sebagai puncak perkembangan teknologi saat ini, membawa tantangan baru bagi umat Islam. AI memiliki potensi untuk mendukung pendidikan dan dakwah, seperti menerjemahkan Al-Qur’an secara otomatis atau menyediakan aplikasi pembelajaran interaktif. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Yuval Noah Harari dalam “Homo Deus”, AI juga membawa ancaman berupa dehumanisasi dan hilangnya makna spiritual dalam kehidupan manusia.
Dalam hal ini, umat Islam perlu menggali kembali pesan-pesan Rasulullah SAW tentang keseimbangan antara dunia dan agama. Agama tidak hanya membimbing kita untuk mencapai hasil, tetapi juga mengajarkan bagaimana proses itu dilakukan dengan kearifan. Karena itulah kita boleh saja mengerjakan segala rutinitas kehidupan termasuk menikmati perkembangan teknologi yang ada, tapi jangan lupa dengan legasi Nabi Muhammad yang mengajarkan hakikat hidup yang sebenarnya.
Oleh: Dr. Muhammad Irfanuddin Kurniawan, dosen Universitas Darunnajah
Disalin dari: Majalah Gontor, Sya’ban 1446H/ Februari 2025