Fasilitas mahal pada instalasi pengolahan air limbah rumah sakit tak menjamin air buangan akhir aman. Sebaliknya, inovasi sederhana dan murah, jika disertai teknologi tepat, memberi solusi. Dan, botol plastik bekas pun dapat turut memberi perbedaan.
Limbah RS mengandung patogen berbahaya atau bagian tubuh sisa pembedahan. Keberadaan instalasi pengolahan air limbah (IPAL) menjadi vital sehingga fungsinya patut dijamin baik dan awet. Faktanya, pengadaan IPAL saat ini tergolong mahal dan membebani.
Terdorong semangat memberi solusi awet dan terjangkau, dibuatlah IPAL Mursitt (mudah, murah, sederhana, efektif, teruji, dan terpadu). ”Kami jamin efektif membersihkan limbah dan relatif murah,” kata Edwin Permana, pengajar pada Jurusan Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan (Poltekkes Kemenkes) Jakarta 2 pada kunjungan Duta Besar Swedia untuk Indonesia Johanna Brismar Skoog di RS Khusus Bedah Bina Estetika, di Jakarta, Rabu (3/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Inovasi IPAL Mursitt yang diterapkan di RS itu salah satu dari 15 pemenang kontes ”Smart Living Challenge” yang diadakan Pemerintah Swedia. Inovasi yang dikembangkan Edwin adalah penggunaan tempurung kelapa untuk pembiakan bakteri pengurai limbah pada tangki biofilter dalam rantai pengolahan limbah cair.
Di RS Khusus Bedah Bina Estetika, pembiakan bakteri pengurai limbah cair pada tangki biofilter menggunakan botol plastik bekas susu fermentasi. Inovasi itu ditemukan Abie Wiwoho, mantan dosen Edwin.
Umumnya, pembiakan bakteri pengurai di tangki biofilter menggunakan sarang tawon, yang selain kalah awet, juga jauh lebih mahal.
Cara kerja
Pada sistem IPAL Mursitt, limbah cair RS dikumpulkan/ditampung dalam tiga tangki terpisah. Limbah cair dari toilet, ruang bedah, dan laboratorium masuk ke tangki septik. Limbah cair dari dapur dan bengkel mengandung minyak masuk tangki perangkap lemak. Sementara limbah cair pencucian baju masuk tangki pemecah busa.
Kemudian, limbah cair dari ketiga tangki itu masuk dan dicampur dalam satu tangki ekualisasi, dilanjutkan ke tangki sedimentasi untuk diendapkan selama delapan jam. Sistem itu membuat endapan limbah tertahan lebih optimal pada setiap tangki sehingga air lebih jernih.
Dari tangki sedimentasi, air limbah masuk ke tangki biofilter, yang terdiri atas tiga tahap selanjutnya dengan pemberian jenis bakteri yang berbeda-beda. Secara berurutan adalah tangki biofilter dengan bakteri anaerob, bakteri anoksi, dan bakteri aerob. Pada tangki-tangki itulah botol-botol plastik ditempatkan dan menjadi tempat hidup bakteri, yang rakus memakan unsur-unsur berbahaya air limbah antara lain kebutuhan oksigen biologis (BOD), kebutuhan oksigen kimia (COD), total padatan tersuspensi (TSS), dan amonium (NH4). Unsur-unsur itu patokan pengukuran efektivitas pengolahan air limbah.
Setelah tahapan itu, air masuk ke tangki disinfeksi untuk membunuh bakteri patogen, sebelum air dibuang ke lingkungan.
Edwin memastikan, fasilitas IPAL Mursitt tahan lama karena struktur tangki menggunakan beton kuat. Untuk pemeliharaan, RS cukup menyedot kotoran tangki septik, perangkap lemak, dan pemecah busa setiap setahun. Sementara di tangki ekualisasi setiap dua tahun dan di sedimentasi setiap tiga tahun.
Abie mengatakan, ukuran IPAL Mursitt bervariasi sesuai kapasitas bangunan RS, mulai dari ukuran 5 meter kubik hingga 300 meter kubik (setara kapasitas 600 tempat tidur).
Pembuktian
Abie dibantu Edwin membuktikan efektivitas IPAL Mursitt dua tahun pada 20 bangunan, 90 persen di antaranya adalah RS, termasuk RS Khusus Bedah Bina Estetika.
Manajer Operasional RS Khusus Bedah Bina Estetika Ahmad Farhan mengatakan, pada 2011-2013, RS menggunakan sarang tawon pada IPAL dengan biaya pembangunan Rp 1 miliar. Sarang tawon diganti setiap tiga tahun dengan harga Rp 1 juta per lembar. Dengan kebutuhan 100 lembar, RS mengeluarkan Rp 100 juta per tiga tahun hanya untuk mengganti sarang tawon IPAL. Sementara penggunaan botol bekas tahan lebih lama dan murah.
Capaian itulah yang menarik perhatian Johanna Brismar Skoog. Ia pernah mencium aroma air hasil pengolahan limbah yang dimasukkan dalam botol. ”Tidak terlalu berbau,” ujarnya.
Johanna mengatakan, Pemerintah Swedia berkomitmen untuk memberikan pelatihan bisnis bagi inovator-inovator agar implementasi inovasi tersebut lebih meluas. Lebih dari itu, menjadi bagian dari solusi persoalan yang efektif.
Kini ada pilihan. Apakah tetap mau membangun sarana IPAL yang mahal dengan bahan-bahan impor atau memanfaatkan bahan-bahan murah serta tenaga dalam negeri, tetapi lebih efektif? (J GALUH BIMANTARA)
Sumber: Kompas, 5 Desember 2014