Pengakuan hak masyarakat adat penting untuk mitigasi perubahan iklim. Sebab, sekitar 22 persen gas karbon yang ada di hutan tropis dan subtropis itu berada di wilayah adat. Sampai saat ini pemerintah telah memberikan pengakuan terhadap 33 hutan adat, sedang 22 lainnya akan segera diserahkan oleh Presiden Joko Widodo.
–Penyerahan hasil pemetaan partisipasipatif yang dilakukan AMAN bersama Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya pada acara HUT ke-20 AMAN dan peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) di Jakarta, Jumat (9/8/2019). Nampak Sekjen AMAN Rukka Sombolinggi (kelima dari kiri), berturut-turut ke kanan yaitu Kepala BRWA Kasmita Widodo, Deputi II Sekjen AMAN Urusan Politik Erasmus Cahyadi, dan Menteri LHK Siti Nurbaya (paling kanan).
Pada pidato pembukaan Peringatan 20 Tahun AMAN & Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 2019, Jumat (9/8/2019), di Jakarta, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Rukka Sombolinggi menyebut, sepertiga dari karbon ini ada di wilayah yang tidak diakui secara hukum sebagai wilayah masyarakat adat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tanpa pengakuan tersebut, masyarakat adat tidak mungkin menyelamatkan bumi dari titik yang tidak bisa kembali,” kata Rukka. Mengutip laporan dari Panel Ahli Perubahan Iklim (IPCC) pada Rabu (8/8/2019), pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat penting mendukung upaya mitigasi iklim.
“Studi menunjukkan 22 persen gas karbon yang ada di hutan tropis dan subtrpis ada di wilayah adat. Sayangnya sepertiga karbon ini ada di wilayah yang tidak diakui secara hukum sebagai wilayah masyarakat adat. Tanpa pengakuan tersebut masyarakat adat tidak akan mungkin menyelamatkan bumi dari titik yang tidak bisa kembali,” kata Rukka.
Michiko Miyamoto dari UN Resident Coordinator Office mengatakan, “Masyarakat adat sebagai agen perubahan amat penting untuk pembuatan kebijakan dan langkah-langkah adaptasi dan mitigasi serta untuk model ekonomi berkelanjutan.”
Sementara dalam sambutannya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyebutkan, Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat Fase I yang luasnya 472.981 hektar mendapat tambahan 101.138 hektar sehingga peta indikatif Fase II seluas 574.119 hektar.
Belum disahkan
Rukka menandaskan saat ini masih banyak tantangan yang dihadapi masyarakat adat, terutama yaitu belum disahkannya Undang-undang Masyarakat Adat belum disahkan. Sementara Siti menyebut akan ada penetapan hutan adat lagi yang disahkan oleh Presiden Joko Widodo.
Sementara Siti menegaskan, masyarakat hukum adat ini kaya akan pengetahuan dan kaya ilmu di lapangan. “Jadi RUU ini akan baik jika diartikulasikan dengan baik oleh seluruh menterinya karena itu butuh waktu untuk menyatukan dan mengartikulasikan dengan sebaik-baiknya. Ini tidak gampang. Selain itu perlu harmonisasi dengan peraturan perundangan lainnya agar tidak membahayakan masyarakat hukum adat,” ujarnya.
Menurut Siti, hingga Juli 2019, total hutan adat yang telah ditetapkan yaitu 33 desa, dan 22 desa menunggu pengesahan oleh Presiden Joko Widodo. Pada Desember 2016 ditetapkan sembilan hutan adat, 2017 ditetapkan sembilan, tahun 2018 ditetapkan 16 hutan adat, dan 2019 ditetapkan 19 hutan adat. Total ada 55 hutan adat.
Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK Bambang Suprianto mengatakan, “Sebanyak 33 telah diserahkan, dan 22 penetapan hutan adat akan diserahkan secepatnya oleh Presiden Joko Widodo. Total luas hutan adat yang ditetapkan mencapai 34.569 hektar.
Sementara Undang Undang Masyarakat Hukum Adat sampai saat ini dari tahun 2010 belum juga disahkan. “Kami tidak pernah mendapat jawaban resmi dari pemerintah. Informasi terakhir katanya ditahan Kemenko Polhukham,” kata Rukka.
Untuk mengatasi masalah tersingkirnya masyarakat adat, AMAN memperluas partisipasi politik dengan masuk ke partai politik dan mengambil jabatan publik menjadi anggota DPR, DPRD, dan kepala desa, dan sebagainya. Saat ini ada 34 anggota dewan dari anggota masyarakat hukum adat.
Masyarakat adat, masih dianggap ancaman. “Artinya komunikasi kita dengan negara sejauh ini belum efektif, karena masih dianggap musuh,”ujar Rukka. Padahal, saat masyarakat adat diurus, ketidakpastian usaha dan ketidakpastian wilayah justru bisa dikurangi.
Menurut dia, masyarakat adat memiliki sistem ekonomi masyarakat adat jauh lebih kuat dari sistem ekonomi pilihan negara. Studi di enam komunitas menunjukkan bahwa pendapat aper kaptita masyarakat adat dari akses langsung terhadap sumber daya alamnya jauh lebih besar dari pendapatan per kapita daerah.
“Ini seharusnya bisa menjadi argumen yang harusnya bisa menjadi landasan kebijakan negara untuk kembali ke ekonomi lokal. Karena, selama ini ekonomi besar dengan memberikan izin kepada perusahaan besar malah memiskinkan masyarakat adat,” tegas Rukka. Sejauh ini peta yang dihasilkan oleh masyarakat adat dengan luas sekitar 10 juta dan telah diserahkan pada pemerintah tetapi, “Tidak ada satupun pemerintah yang mau menjadi orangtua kita,” ujarnya. Sementara, AMAN masih menjadi wali data peta wilayah adat. “Hanya menjadi peta tematik,” kata Rukka.
Saat ini anak muda dari masyarakat adat sudah banyak yang pulang ke kampung halaman dan membuka sekolah adat yang mengajarkan nilai-nilai masyarakat adat. Acara peringatan tersebut diisi oleh pertunjukan budaya berupa permainan tradisional, tari tradisional, serta penjualan hasil produksi kerajinan lokal.–BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 10 Agustus 2019