Meskipun sama-sama virus korona, terdapat perbedaan induk semang antara (”intermediate host”) sebelum virus ini sampai ke manusia.
Media cetak dan elektronik belakangan ini disibukkan oleh berita penyakit gangguan pernapasan akibat infeksi virus korona baru (2019-nCoV). Dengan ditemukannya virus ini, ada tiga penyakit sindroma gangguan pernapasan yang disebabkan virus korona.
Meskipun sama-sama virus korona, terdapat perbedaan induk semang antara (intermediate host) sebelum virus ini sampai ke manusia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebagian besar negara, termasuk Indonesia, telah bersiap menghadapi penyebaran 2019-nCoV. Caranya dengan deteksi dini, dilanjutkan peneguhan diagnosis, lalu isolasi penderita. Deteksi dini dilakukan dengan memasang thermal scanner di bandara.
Apabila ada penumpang dengan suhu di atas normal akan ditelusuri asal usul, dilanjutkan dengan pemeriksaan radiologi dan deteksi molekul virus melalui uji PCR. Mereka yang diteguhkan dengan PCR akan diisolasi di rumah sakit khusus sampai tidak mengeluarkan virus lagi.
Pelajaran apa yang kita peroleh dari ketiga penyakit ini?
SARS
SARS (severe acute respiratory syndrome) ditemukan di Guangdong, China, November 2002, tetapi pemerintah mencoba menyembunyikannya. Pihak WHO yang curiga mengirim anggota staf untuk berkunjung ke Guangdong, tetapi tidak diizinkan.
Baru pada Februari 2003, Pemerintah China melapor ke WHO. Saat itu, penderita SARS sudah 305 orang, lima di antaranya meninggal.
Dari Guangdong, penyakit menyebar ke Hong Kong (Februari 2003), kemudian ke sejumlah negara. Antara 1 November 2002 sampai 1 Juli 2003, jumlah kasus mencapai 8.096, dengan kematian 774 orang, tersebar di 29 negara. Jumlah kasus terbanyak di China, 5.327 kasus, kematian 349 orang.
Seperti diketahui, virus SARS mempunyai intermediate host musang (Paguma larvata). Ribuan musang dibunuh meskipun tindakan ini tidak sepenuhnya dapat dibenarkan.
Pengelolaan awal kejadian SARS merupakan contoh buruk, bahwa negara episentrum wabah menyembunyikan informasi sehingga penanganan tidak dapat dilakukan secara dini.
MERSCoV
MERSCoV (Middle East respiratory syndrome corona virus) terjadi pertama di Arab Saudi, April 2012. Berkat kerja sama yang cepat dengan Erasmus Medical Centre (EMC), Belanda, virus penyebabnya berhasil diidentifikasi sebagai human corona virus EMC, kemudian dikenal sebagai MERSCoV.
Sampai Mei 2018, WHO mencatat 2.220 kasus di sejumlah negara, 790 orang di antaranya meninggal.
–Pasien mengantre di RSUD Gunung Jati, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (27/1/2020). RSUD Gunung Jati tengah menyiapkan ruang isolasi dan tim khusus untuk menangani pasien terjangkit virus korona tipe baru.
Pelajaran penting penyebaran MERSCoV ke Korea Selatan patut dicatat. Kasus indeks (pertama) adalah seorang wirausaha yang baru kembali dari Timur Tengah (Mei 2015). Sampai Korea, ia mengalami gangguan pernapasan dan pergi ke dokter. Karena tak kunjung baik, ia pindah ke beberapa dokter.
Setelah 16 hari kedatangan, barulah dokter mendiagnosis yang bersangkutan tertular MERSCoV. Keterlambatan menentukan diagnosis membuat 186 orang lain tertular, 39 orang di ataranya meninggal.
2019-nCoV
Penyakit ini berawal dari Wuhan, China, menjelang akhir 2019. Karena semua kasus mempunyai sejarah mengunjungi pasar ikan, sumber penyakit diduga berasal dari pasar ikan.
Analisis bioinformatik dari untaian molekul virus 2019-nCoV mengindikasikan bahwa virus ini diduga berasal dari ular sebagai intermediate host. Di pasar ikan tersebut ternyata dijual daging ular. Sebagai reservoir virus, diduga kelelawar, seperti kasus dua korona virus yang lain.
Sampai 25 Januari 2020, jumlahnya hampir 1.300 kasus, 41 orang di antaranya meninggal. Sejauh ini, kematian hanya di China. Selain di China, ditemukan kasus di Hong Kong, Singapura, Jepang, Thailand, Korea Selatan, Vietnam, Amerika, Australia, dan Perancis.
Sampai tahap ini, WHO belum menyatakan kejadian ini sebagai public health emergency of international concern (PHEIC). Salah satu alasannya, belum terjadi penularan antar-orang di luar China. Namun, tidak tertutup kemungkinan penularan antar-orang di luar China akan terjadi.
Yang menggembirakan, China membuka lebar kunjungan tim WHO. Mereka diizinkan mengunjungi rumah sakit rujukan, laboratorium kesehatan, dan bandara agar bisa memberi saran.
Dari beberapa catatan di muka, China telah melakukan deteksi dini, kemudian mengidentifikasi penyebabnya, dan segera melapor ke WHO. Tidak ada kesan menutupi wabah, bahkan membuka lebar komunikasi dengan berbagai lembaga kesehatan dunia.
Tindakan itu patut diapresiasi sehingga menjadi pelajaran bagi banyak orang, bahkan pihak luar bisa memberi masukan atau bantuan.
Di Indonesia, keberadaan pasar yang menjual ular dan kelelawar seperti di Manado, Sulawesi Utara, perlu diwaspadai terhadap penularan virus dari satwa liar ke manusia atau zoonosis.
Wabah penyakit hewan
Tindakan deteksi dini, konfirmasi dan pengumuman, juga berlaku untuk penyakit eksotik pada ternak. Wabah demam babi afrika (ASF) di Sumatera Utara dikonfirmasi laboratorium awal September 2019.
Dengan berbagai pertimbangan, penyakitnya baru diumumkan sebagai ASF ketika ribuan babi telah mati. Laporan ke lembaga kesehatan hewan dunia (OIE) dilakukan pada 17 Desember 2019. Kalau ditinjau, proses deteksi dini dan identifikasi cukup cepat, tetapi ada keterlambatan pengumuman.
Penulis berharap kematian ratusan babi di Bali belakangan ini mendapat kejelasan penyebabnya karena sangat mirip dengan di Sumatera Utara.
(Soeharsono, Mantan Penyidik Penyakit Hewan)
Sumber: Kompas, 4 Februari 2020