Bagi sekolah di kota besar yang sudah berfasilitas baik dan dilayani guru bermutu, penyediaan teknologi belajar bagi para murid adalah suatu kemewahan.
Teknologi untuk belajar di sekolah yang sudah baik merupakan unsur pelengkap atau penghias semata, bukan kebutuhan. Jika tak tersedia teknologi belajar pun, para siswa tetap akan dapat belajar bersama guru.
Namun, sebaliknya, bagi sekolah-apalagi masyarakat tanpa sekolah-di pedalaman dan tanpa fasilitas, mungkin pula tak memiliki guru memadai, teknologi belajar merupakan kebutuhan. Teknologi belajar bagi anak-anak di daerah terpencil merupakan keharusan. Pada dekade kedua abad ke-21 ini, teknologi juga mungkin satu-satunya peluang bagi anak-anak di pelosok untuk belajar dengan mutu tak kalah dari temannya di perkotaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Inilah paradoks dalam teknologi belajar. Di perkotaan dengan fasilitas pendidikan baik, teknologi belajar suatu kemewahan; di pedalaman, teknologi belajar justru kebutuhan.
Anak
Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan mengutarakan gagasan pemanfaatan tablet atau sabak elektronik (sabak-el) sebagai media belajar, beberapa pihak meragukan.
Umumnya keraguan bersumber pada fakta infrastruktur yang belum memadai, seperti jaringan listrik dan internet. Juga ada suara yang takut anak akan memanfaatkannya guna mengakses informasi tak pantas. Malah ada yang berkata bahwa pemberian sabak sebagai ganti buku ajar untuk saat ini belum mendesak, bahkan akan membuat perbandingan pendidikan di kota besar dengan di pelosok-pelosok semakin tidak seimbang.
Semua ramalan serta komentar bernada tak positif tersebut sahih. Hanya para pengkritik itu keliru membayangkan sabak-el ini untuk diterapkan di perkotaan atau malah di seluruh Indonesia, secara nasional.
Saat ini masih banyak daerah terpencil, sulit dijangkau, terjebak konflik, atau terkena bencana. Akibatnya, anak-anak di daerah seperti ini mau tak mau harus menelan layanan pendidikan ala kadarnya.
Kerap terjadi, hanya ada satu guru di satu-satunya sekolah di desa terdekat. Guru seorang itu harus mengampu semua mata pelajaran, mulai dari Agama, Bahasa Indonesia, Kimia, Matematika, sampai Olahraga. Di beberapa daerah lain, ada prajurit TNI yang berinisiatif mengajar anak- anak di sana.
Banyak daerah terpinggirkan itu harus dicapai dengan berjalan kaki menembus hutan satu atau dua malam. Ada pula yang harus dicapai dengan kapal yang tak selalu tersedia. Ada pula yang harus dicapai dengan pesawat terbang perintis. Inilah keadaan geografis Indonesia yang harus dipahami oleh penentu kebijakan dan politisi dalam bidang kebijakan pendidikan.
Dengan keadaan penuh kendala seperti itu, bagaimana menyediakan pendidikan bermutu?
Menyediakan guru cakap dan bergairah mengajar di daerah terpencil tentu harus dilanjutkan dan digelorakan. Namun, berapa banyak guru hebat seperti itu yang sanggup disediakan dalam waktu satu-dua tahun ke depan? Lalu, dalam dua tahun itu, apakah anak-anak yang terpinggirkan dan terabaikan ini akan dibiarkan juga tak memperoleh kesempatan belajar?
Sungguh tak pantas sebenarnya pada abad ke-21 ini masih ada anak-anak kita yang belum memperoleh pendidikan wajar. Padahal, teman-temannya di Jakarta dan bahkan di Palu, Sulawesi Tengah, bersekolah dengan guru lengkap bahkan berpendidikan magister.
Karena itu, gagasan penggunaan sabak atau teknologi lainnya merupakan usulan yang layak dipikirkan. Terlebih lagi kemungkinan teknologi belajar merupakan pintu peluang terbesar negara menyediakan kesempatan belajar bermutu bagi anak-anak.
Benar bahwa di daerah terpencil belum ada infrastruktur yang memadai. Justru itu menandakan, ini saat yang tepat untuk merancangnya dengan biaya sehemat mungkin. Ini investasi pendidikan untuk 10-20 tahun ke depan. Ini saatnya rekayasawan kita merekacipta sumber daya listrik alternatif murah yang memungkinkan mengisi sumber daya sabak-el.
Surya, angin, bahkan sumber daya listrik kinetik putaran tuas tangan anak sendiri merupakan sumber daya alternatif. Beberapa desain sudah mampu mengubah putaran tuas oleh anak dalam 3 menit cukup guna mengaktifkan laptop 1 jam.
Tak ada jaringan internet juga bukan masalah karena sabak-el dapat dimanfaatkan dengan modus luar jaringan (luring). Dengan mempersiapkan bahan ajar dalam kartu memori, sabak-el dapat berfungsi sebagai sumber bahan ajar dan dapat diperbarui datanya dengan mudah secara berkala, yakni dengan mengirimkan kartu memori kecil itu. Ini jauh lebih mungkin dan hemat ketimbang mengirim buku ajar.
Keuntungan lain dari penggunaan sabak-el ini ialah peluang melokalkan pembelajaran IPA, IPS, Matematika, dan sebagainya, seperti ke dalam bahasa ibu. Dengan pendekatan buku ajar tradisional, tentunya hal ini rumit dan mahal, tetapi justru menjadi mungkin diwujudkan dengan teknologi.
Guru
Jika guru di sekolah terpencil mengikuti program pelatihan di kota terdekat, guru akan meninggalkan sekolah dan muridnya akan terganggu. Belum lagi isi pelatihan guru saat ini kerap belum ke konsep mendalam karena jumlah dan kapasitas widyaiswara masih kurang.
Akan tetapi, dengan sabak-el, guru dapat langsung belajar dan mempraktikkan cara membelajarkan satu topik tertentu pada waktu yang singkat, tanpa perlu meninggalkan sekolahnya. Jika harus membelajarkan perkalian bilangan bulat hari Senin, misalnya, pada hari Minggu guru dapat langsung menyimak klip video lima menitan bagaimana mengajarkannya. Ini hemat dan akan tepat sasaran.
Seperti juga bagi murid, bagi guru di daerah terpencil, teknologi belajar juga kebutuhan. Program sabak-el ini layak untuk dikaji lebih rinci. Kemudian, jika dianggap layak, perlu diujicobakan dalam skala kecil dahulu untuk lokasi tertentu dan satu atau dua mata pelajaran saja. Uji coba untuk pulau yang terpencil, misalnya.
Ada yang skeptis bahwa program ini akan dikorupsi. Tentu ada kemungkinan itu. Bukankah buku ajar tradisional atau fasilitas pendidikan juga diselewengkan? Kurang bijak jika kesempatan belajar anak-anak terpinggirkan ini dipupuskan hanya karena kecurigaan akan ada orang jahat yang tega memalak dananya.
IWAN PRANOTO, GURU BESAR MATEMATIKA ITB
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Maret 2015, di halaman 7 dengan judul “Paradoks Teknologi Belajar”.
Posted from WordPress for Android