Pengalaman hidup dengan kanker serviks membuat Oday Kodariyah (64) perlahan jatuh cinta pada beragam tanaman obat nusantara. Kecintaannya ia wujudkan dengan melestarikan 900 jenis tanaman obat dan menyebarkan khasiatnya pada dunia.
“Ini namanya pegagan (Centella asiatica). Kenali morfologi dan bentuk daunnya. Nanti, tanam ini di rumah karena khasiatnya luar biasa,” kata Oday antusias pada 50 orang tamu dari Desa Jatipamor, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, awal Desember 2018.
KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Oday Kodariyah melestarikan tanaman obat Indonesia 2018 di Desa Cukang Genteng, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia meraih penghargaan Kalpataru 2018 untuk kategori
Perintis Lingkungan Pelestari Sumber Daya Genetik Tanaman Obat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Berada di Bukit Primadona, Kampung Cibereceuk, Desa Cukang Genteng, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jabar, kebun tanaman obatnya tampak rimbun. Kebun ini benar-benar menjadi primadonanya.
Di antara udara dingin kawasan itu, Oday penuh semangat saat mengatakan, pegagan bisa tumbuh baik di dataran tinggi. Tanaman ini memiliki zat aktif yang baik untuk perkembangan otak. Ibu hamil, cocok mengonsumsinya untuk kesehatan janin dan anak kelak.
“Saya sangat berharap, ilmu baru yang didapatkan mereka yang berkunjung ke sini bisa disebarkan lagi kepada orang-orang terdekatnya kelak. Sudah terlalu lama tanaman obat kurang mendapat tempat karena kita tidak tahu manfaat besarnya,” kata Oday.
Kepala Desa Jatipamor Yayan Heryana mengatakan, ia dan sejumlah warga sengaja datang karena haus informasi mengenai tanaman obat milik Oday. Dia berharap, tanaman obat bisa ikut mendatangkan sehat bagi masyarakat Jatipamor.
“Supaya masyarakat desa ini bisa mengenal lebih luas apa saja jenis dan khasiat tanaman obat. Sehat itu mahal tapi bisa didapatklan di pekarangan rumah sendiri,” ucap Yayan.
Belajar
Oday adalah bukti hidupnya. Nyawanya pernah di ujung tanduk saat berjuang melawan kanker servik antara tahun 1993-1999. Oday sering keluar masuk rumah sakit. Entah berapa kali dia pingsan dan pendarahan akibat tak kuat menahan sakitnya. Beragam obat kimia sudah dicoba tapi tak ada yang berhasil. Bukan sembuh, penyakitnya justru resisten.
Hingga akhirnya dia bertemu ciplukan (Physalis angulata) dan dewandaru (Eugenia uniflora). Dalam masyarakat tradisional, keduanya dikenal sebagai tanaman berkhasiat. Ciplukan diklaim ampuh mengobati kanker dan Dewandaru punya anti oksidan tinggi.
“Setelah mengonsumsi keduanya secara rutin, tubuh ini jauh lebih sehat. Meski tak sepenuhnya berpisah dengan serviks, ada banyak hal baik yang bisa leluasa saya lakukan,” katanya.
KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Oday Kodariyah di kebun obatnya di Desa Cukang Genteng, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (1/12/2018). Ia menerima Kalpataru 2018 untuk kategori Perintis Lingkungan Pelestari Sumber Daya Genetik Tanaman Obat.
Salah satu kesibukan yang ia tekuni adalah mempromosikan kehebatan tanaman obat nusantara. Dia ingin banyak orang merasakan hal serupa. Selain dewandaru dan ciplukan, ia menanam banyak tanaman lainnya di kebun seluas 5 hektar di Bukit Primadona yang diberi nama Kebun Tanaman Obat (KTO) Sari Alam. Selain di Bandung yang cocok untuk tanaman obat dataran tinggi, dia membuka lahan di Sukabumi untuk tanaman dataran menengah dan Cirebon bagi tanaman dataran rendah.
Lebih dari sekadar menanam, ia juga mempelajari beragam seluk beluk tanaman obat, baik secara tradisional atau ilmiah masa kini. Misalnya, saat ia meracik obat peninggalan orang tuanya dulu, yang dikenal dengan istilah naktu atau perhitungan yang bisa digunakan masyarakat tradisional menentukan hari yang tepat.
“Ada hitungan berbeda untuk setiap daun. Misalnya untuk daun dengan kadar toksin rendah seperti pegagan, dosisnya bisa 9 lembar. Sedangkan daun dengan toksin tinggi seperti mimba biasanya diberikan 3 lembar per dosis,” katanya.
Untuk menambah bekalnya, dia juga menempuh beragam pendidikan pelatihan lainnya. Mulai dari tanaman obat profesional, tanaman obat kelas pengobatan, diagnosa penyakit dengan cara kedokteran kelas pengobatan herbal, dan meramu jamu sesuai diagnosa kedokteran.
Semuanya berujung pada titel herbalis yang ia dapatkan tahun 2002. Sekarang, bersama suaminya Djadjat Sudradjat, yang juga herbalis, dan anaknya Delvi Tri Apriantini, seorang apoteker, Oday mengelola Klinik Tanaman Obat (KTO), berjarak sekitar 2 kilometer dari kebunnya.
KTO, kata Oday, menjadi pusat informasi konsultasi dan pengobatan berbasis tanaman obat di Indonesia. Di sana, sudah dibuka juga pusat konsultasi pasien kanker. Dalam sehari, kami sediakan pelayanan untuk lima pasien. Pasien tidak hanya datang dari Indonesia tapi juga Jepang, Australia dan Swedia.
“Keberadaan kebun koleksi, kebun produksi dan klinik tanaman obat, saya terapkan tiga fungsi sekaligus, yakni pelestarian, pengembangan, dan sekaligus pemanfaatan tanaman obat. Saya ingin masyarakat tahu proses dari awal hingga akhir untuk mendapat hidup sehat,” ucapnya.
Rencana Besar
Negara pun mengakui ketangguhan dan ketekunan Oday. Pertengahan tahun 2018, dia dinobatkan sebagai penerima Kalpataru dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai perintis pelestari lingkungan.
KOMPAS/SAMUEL OKTORA–Oday Kodariyah di kebun obatnya di Desa Cukang Genteng, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (1/12/2018). Ia menerima Kalpataru 2018 untuk kategori Perintis Lingkungan Pelestari Sumber Daya Genetik Tanaman Obat.
“Penghargaan ini bagi saya suatu bonus yang terindah. Proses atau pekerjaan yang dilakukan dengan tekun tak akan mengkhianti. Penghargaan ini juga jadi amanah untuk melayani lingkungan dan masyarakat,” kata Oday.
Dia tak asal bicara. Ke depan, ia punya banyak rencana besar, mulai dari membuat pusat konsultasi kesehatan tentang beragam jenis penyakit hingga membangun herbarium agar tanaman obat bisa lebih bermafaat bagi banyak orang.
“Harapannya, meski saya nanti sudah tiada, generasi penerus tetap mudah memperoleh pengetahuan tentang tanaman obat berikut khasiatnya,” kata Oday.–SAMUEL OKTORA
Sumber: Kompas, 2 Januari 2019