Nuryati Solapari (38) adalah potret kegigihan warga dari keluarga tak mampu yang berhasil meraih cita-cita setinggi langit. Mantan tenaga kerja Indonesia di Arab Saudi itu meraih gelar doktor dan menekuni berbagai profesi. Lebih dari itu, Nuryati juga menaruh perhatian besar terhadap nasib TKI.
Nuryati baru selesai menerima tamu di ruang kerjanya di kantor Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Banten di Serang, Banten, Selasa (9/1), sekitar pukul 13.30. Di ruang yang terlihat rapi itu, ia tenggelam dalam kesibukannya sebagai Koordinator Divisi Pencegahan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Banten. ”Saya dilantik sebagai anggota Bawaslu Banten di Jakarta pada Oktober 2017,” katanya.
Lolos dari penyeleksian 85 kandidat anggota Bawaslu Banten merupakan tekad Nuryati untuk memperluas cakrawala berpikirnya di bidang politik. Selain itu, ia juga berkiprah di bidang pendidikan dan tercatat sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Serang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di sela-sela kesibukan Nuryati, ia memberikan bimbingan untuk TKI. Namun, aktivitas itu berkurang sejak Nuryati menjadi anggota Bawaslu Banten. ”Saya dulu juga TKW (tenaga kerja wanita). Malah, saya pernah jadi pegawai restoran cepat saji,” katanya sambil tersenyum.
Perjuangan panjang
Pencapaian Nuryati yang lahir dari keluarga miskin merupakan hasil perjalanan panjang yang ia lalui dengan kerja keras. ”Karena kondisi keluarga itu, saya bertekad menggapai mimpi setinggi mungkin. Saat sekolah, saya selalu berhasil mencapai prestasi bagus,” ujarnya.
Nuryati selalu mendapatkan ranking satu sejak SMP, bahkan menjadi juara umum saat lulus SMA. Berkat prestasinya, Nuryati mendapatkan beasiswa yang bisa meringankan beban orangtua. Selama sekolah, ia tak pernah mendapat uang jajan.
Kebingungan melanda Nuryati selepas SMA. Orangtuanya tak sanggup membiayai Nuryati untuk kuliah. ”Saat dapat penghargaan sebagai lulusan terbaik dan ditanya, ’mau kuliah di mana?’ Saya menangis, sedih. Saya tak bisa menjawab,” kenangnya.
Tak ada pilihan lain. Nuryati pun mencari pekerjaan. Tak pernah tebersit dalam benak Nuryati bahwa jalan hidupnya membawa Nuryati menjadi TKI di kota Tabouk, Arab Saudi. Nuryati dicibir beberapa orang, tetapi ia tidak peduli. ”Saya diledekin, juara umum SMA kok jadi babu di Arab,” ucap Nuryati.
Nuryati tetap memelihara mimpinya untuk meraih pendidikan setinggi-tingginya. Ia bertekad setelah pulang dari Arab Saudi akan melanjutkan pendidikan. Karena itu, Nuryati membawa buku-buku pelajaran SMA ke tempat penampungan untuk TKI sebelum diberangkatkan ke Arab Saudi. ”Saya sering menyendiri untuk membaca buku-buku pelajaran,” ucapnya.
Nuryati tidak ingat berapa jumlah buku yang ia bawa. ”Mungkin sekitar lima buku, seperti buku Matematika, Bahasa Indonesia, dan Kimia, yang saya masukkan ke dalam kardus mi instan,” katanya.
Buku-buku itu terus dibaca hingga Nuryati bekerja di sebuah rumah milik seorang dokter. Lagi-lagi, dia menerima ejekan. Sesama TKI yang ikut rombongan ke Arab Saudi mencemooh Nuryati. ”Saya dikatain belagu, cari muka, berlagak, atau sok. Tapi, saya tak pernah sakit hati. Saya cuek saja,” kata Nuryati.
Pemilik rumah yang mempekerjakan Nuryati memperlakukannya dengan amat baik. Dia takjub saat mengetahui motif Nuryati menjadi TKI untuk mengumpulkan biaya kuliah. Biasanya, orang pergi menjadi TKI untuk mencari uang agar bisa membeli sawah, membangun rumah, membayar utang, atau mengirim uang kepada keluarga di kampung.
Pemilik rumah sangat mendukung impian Nuryati untuk melanjutkan pendidikan. Sebagai wujud dukungan itu, ia diberi waktu tidur siang pukul 14.00-16.00. Nuryati memanfaatkan waktu itu untuk membaca buku.
Gelar doktor
Nuryati menjadi TKI selama tiga tahun, hingga 2001. Setelah Nuryati merasa punya bekal cukup, ia memutuskan kembali ke Indonesia untuk mewujudkan angannya. Nuryati mendaftar kuliah di Fakultas Hukum Untirta, sebuah universitas negeri di Kota Serang, Banten. Selama kuliah, Nuryati juga bekerja sebagai pegawai restoran cepat saji di Cilegon, Banten. Setiap hari, dia harus bolak-balik dari kampus Untirta di Serang ke tempatnya bekerja di Cilegon dengan menggunakan bus. Jarak kedua tempat itu sekitar 25 kilometer.
”Pagi hingga siang, kuliah. Sore hingga malam, bekerja. Saat restoran tutup pukul 22.00, saya masih harus menyapu, mengepel, dan menaikkan kursi ke atas meja,” ucapnya. Sering, Nuryati baru tidur pada pukul 01.00. Itu pun jika tidak ada tugas kuliah.
”Kalau harus mengerjakan tugas, saya baru bisa tidur pukul 03.00. Pukul 05.00, saya sudah bangun untuk membersihkan rumah, belanja ke pasar, dan menyiapkan sarapan,” ujar Nuryati. Sulung dari enam bersaudara itu harus mengurus adik-adiknya.
Nuryati tetap tekun belajar di sela kuliah sambil bekerja. Ia kerap bersembunyi dalam bilik toilet agar tidak terganggu saat membaca buku. ”Toilet saya pasangi tulisan ’dalam perbaikan’ agar saya bisa ngumpet,” kata Nuryati sambil tertawa.
Di tengah kesibukannya, Nuryati mampu menyelesaikan pendidikan S-1 dalam tiga tahun saja. Dia pun melanjutkan kuliah S-2 di Universitas Jayabaya, Jakarta, dan diterima bekerja sebagai dosen Untirta. Berkat prestasi akademiknya yang memuaskan, Nuryati mendapatkan beasiswa.
”Saya pilih fakultas hukum supaya bisa membantu sesama TKI, selain praktik menjadi pengacara atau notaris,” kata Nuryati. Setelah menyelesaikan pendidikan S-2, ia melanjutkan kuliah S-3 di FH Universitas Padjadjaran, Bandung. Nuryati kembali mendapatkan beasiswa untuk menempuh pendidikan S-3. Dia berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul ”Penerapan Prinsip Keadilan Sosial bagi Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dalam Pemenuhan Hak Menurut Sistem Hukum Ketenagakerjaan Indonesia”.
”Gelar itu saya persembahkan untuk para TKI,” kata Nuryati. Dia dan 25 rekannya lalu membentuk Paguyuban TKI Purna Banten pada 2008 sebagai bentuk dedikasi kepada para pekerja migran. Lembaga itu mengadakan pelatihan untuk para TKI yang sudah kembali ke Indonesia. Mereka diberdayakan dengan diajari membuat makanan, antara lain keripik, rumput laut, bakso, kacang goreng, dan dodol. Mereka juga dilatih membuat pigura dan membatik. Hingga kini, Paguyuban TKI Purna Banten itu sudah membina sekitar 2.000 orang.
Nuryati juga melakukan advokasi untuk TKI. Dia pernah menangani kasus TKI dari Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, yang nyaris menjadi korban perdagangan manusia sekitar 5 tahun lalu. ”Dia menghubungi saya dan menceritakan persoalannya. Saya lalu menghubungi Kemlu dan dia berhasil dibebaskan,” ujar Nuryati.
Selain itu, Nuryati rutin memberikan edukasi kepada calon pekerja migran. Ketua Paguyuban TKI Purna Banten itu menyampaikan informasi tentang kebijakan pemerintah serta bahaya perdagangan manusia, narkoba, dan TKI ilegal.
Sejak 2012, Nuryati menjadi instruktur pembekalan akhir pemberangkatan yang diadakan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Kota Tangerang, Banten. Ia memberikan materi tentang perjanjian kerja, penyakit menular seksual, dan adat istiadat. Nuryati adalah satu-satunya instruktur yang pernah menjadi TKI.
”Saya belum berhenti memupuk asa. Kalau sudah selesai bertugas sebagai anggota Bawaslu Banten, saya ingin menjadi guru besar,” harap Nuryati.–DWI BAYU RADIUS
Sumber: Kompas, 16 Januari 2018