Pada dekade 1980-an pernah ada sebuah lagu yang berjudul ”Video Kill the Radio Star”, dibawakan oleh band The President of the United States of America.
Lagu itu menggambarkan bagaimana perubahan konsumsi media yang dilakukan masyarakat seiring ditemukannya media baru yang mematikan bintang-bintang atau artis dari media sebelumnya, dalam hal ini radio. Tentu saja banyak argumen yang bisa diajukan bahwa judul lagu itu terlalu simplistis, mengada-ada, tidak realistis, tidak sedemikian hitam putih, dan melupakan kompleksitas dalam urusan memahami audiens dalam mengonsumsi media.
Tiga dekade kemudian, mungkin analogi atas judul lagu di atas bisa berjudul ”Netflix Kill the Television Industry”. Ancaman kini merujuk pada industri televisi dan industri film dunia yang perlahan-lahan mulai tergeser dengan keberadaan raksasa teknologi lain, Netflix. Majalah The Economist edisi 30 Juni-6 Juli 2018 mengangkat soal Netflix ini sebagai cover story-nya. Media yang berbasis di London ini mengulas perkembangan perusahaan yang tadinya dilihat sebagai industri sampingan dari industri film atau televisi, tetapi kini berubah menjadi kompetitor bagi dua industri ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
The Economist menyebut Netflix sebagai perusahaan raksasa yang tengah diperhatikan oleh banyak pihak: para pemodal, para pemain bursa saham, para aktris dan aktor, dan para penikmat hiburan yang makin dimanja dengan kehadiran Netflix. Perusahaan yang berdiri sejak 1997 itu kini tak bisa dipandang sebelah mata. Awalnya Netflix hanyalah perusahaan penyewaan DVD yang perlahan-lahan merambah pada penyiaran film yang dilakukan secara streaming. Netflix kini disetarakan dengan perusahaan media lain yang berjaya di bursa saham dan sering disebut sebagai FAANG—Facebook, Amazon, Apple, Netflix, dan Google Alphabet.
KOMPAS/RADITYA HELABUMI–Iflix dan Netflix, salah satu layanan streaming film yang kini populer di Indonesia. Pengguna dapat berlangganan untuk menikmati beragam tayangan film dan serial televisi melalui gawai.
Netflix pun berinvestasi membuat film yang tahun ini diperkirakan menghabiskan tak kurang dari 12 miliar dollar AS-13 miliar dollar AS, nilai yang lebih besar dari studio mana pun di Hollywood. Kekuatan Netflix yang berbasis pada penyebaran konten lewat internet tadinya dilihat sebagai pemasukan tambahan bagi sejumlah studio Hollywood, tetapi hari ini pandangan semacam itu tak lagi bisa dipakai karena sejumlah studio Hollywood akan melihat Netflix sebagai ancaman pada eksistensi dirinya.
Dana yang diinvestasikan Netflix tersebut akan menghasilkan tak kurang dari 82 judul film setahun. Bandingkan dengan perusahaan seperti Warner Brothers, studio terbesar di Hollywood, yang hanya memproduksi 23 judul film setahun.
Catatan menggiurkan ini masih bisa ditambah: Netflix sedang menyiapkan untuk memproduksi atau menayangkan tak kurang dari 700 acara televisi. Saat ini bahkan Netflix sedang menyiapkan produksi tak cuma di Amerika, tetapi juga di Brasil, Korea Selatan, Jerman, dan India. Dalam tiga bulan pertama tahun ini, Netflix telah menambah 7,5 juta pelanggan barunya. Total sekarang jumlah pelanggan Netflix adalah 125 juta orang di seluruh dunia, dengan 57 juta orang di antaranya ada di Amerika. Ini berarti hampir 55 persen pelanggan Netflix bukanlah orang Amerika. Dengan harga langganan sekitar 10 dollar AS sebulan (lebih kurang Rp 150.000), dalam setahun Netflix dapat pemasukan hingga 14 miliar dollar AS.
The Economist juga mencatat, kebesaran Netflix tak terganggu dengan aneka isu yang tengah hangat di dunia industri informasi: tak ada urusan dengan hoaks, tidak ada urusan dengan memanipulasi pemilih dalam pemilu, ataupun terkait dengan tribalisme politik, walaupun hal yang terkait dengan penyalahgunaan data pribadi untuk kepentingan penjualan data menjadi salah satu yang tetap perlu dipertimbangkan. Hal ini terjadi karena Netflix urusannya adalah soal hiburan, hiburan, dan hiburan semata.
The Economist mencatat, jika hari ini Netflix membuat acara televisi, ia akan segera menyiarkan produksinya ke 21 negara di dunia, dan di tiap negara ini, acara akan mudah di-dubbing atau diberi teks bahasa setempat. Goldman Sachs memprediksi, Netflix bisa mengeluarkan dana hingga 22,5 miliar dollar AS per tahun hingga tahun 2022 nanti.
Masa depan televisi
Boleh jadi senja kala ini mulai terasa. Ketika internet menjadi makin mudah diakses, harga makin murah, masyarakat menjadi lebih punya banyak pilihan: apakah ia mau menonton drama Korea kesayangannya, sinetron India, Turki, Hong Kong, ataupun tayangan sepak bola yang semalam terlewat.
Bagaimanapun, apa yang terjadi pada Netflix membuat para industriawan film dan televisi di dunia mau tidak mau merasa khawatir dengan menggelembungnya Netflix. Para penonton tak perlu lagi menunggu satu minggu ke depan jika ingin tahu kelanjutan episode film kesayangannya. Suspense yang akan keluar dalam episode seminggu ke depan bisa dipotong hanya dalam bilangan menit jika serial tersebut sudah tersedia dan siap diakses oleh penonton di belahan mana pun di dunia.
Satu pesan penting untuk para industriawan televisi: bagaimana mereka menghasilkan konten yang tetap menarik dan relevan untuk para penontonnya dan bagaimana televisi berjuang untuk tetap menghasilkan pemasukan dari iklan. Sementara Netflix bisa membebaskan mereka dari iklan yang selalu ingin diabaikan oleh para penonton.
Apa yang dilakukan oleh Netflix hari ini sebenarnya sudah dibayangkan hampir dua dekade lalu ketika dunia pada Januari 2000 dikejutkan oleh merger yang terjadi antara American Online dan Time Warner. Kedua perusahaan ini mencoba untuk mewujudkan kolaborasi antara penyedia jasa internet dan perusahaan konten media. Sayangnya, untuk konteks awal abad ke-21, kolaborasi ini gagal terjadi karena perbedaan visi dan pemahaman antara keduanya yang sangat bertolak belakang. Rupanya butuh dua dekade untuk membuat impian kolaborasi ini betul-betul terwujud.
Merger kedua perusahaan awal abad ke-21 ini pernah dibahas panjang lebar oleh Kara Swisher dan Lisa Dickey dalam bukunya, There Must Be a Pony in Here Somewhere: The AOL Time Warner Debacle and the Quest for the Digital Future (2003). Aset kedua perusahaan itu kalau disatukan bernilai 247 miliar dollar AS. Kedua penulis ini kolumnis koran The Wall Street Journal.
Swisher dan Dickey mencatat, tak lama setelah merger diumumkan, harga saham kedua perusahaan ini tak pernah mencapai nilai yang mengesankan, bahkan nilainya terus merosot dan merosot lagi. Mencapai titik terendah ketika nilainya jatuh hingga 75 persen sejak merger diumumkan. Mungkin saja para petinggi Netflix sudah mempelajari apa yang tidak beres dengan mega-merger dua dekade lalu dan mereka memperbaikinya dengan formula mereka hari ini.
Jadi, apakah ini senja kala industri televisi dunia atau pertanyaannya bagaimana cara mereka bersaing dengan Netflix yang tiba-tiba sudah menjadi raksasa? Inilah disrupsi dalam industri film, yang butuh kerja keras dan otak cerdas untuk mencari terobosan dari gangguan yang terjadi saat ini: apakah berkolaborasi atau memilih mati?
Ignatius Haryanto Wakil Direktur Eksekutif LSPP, Jakarta
Sumber: Kompas, 26 Juli 2018