Benur menjadi kunci dan masa depan keanekaragaman lobster di laut Indonesia.
Indonesia adalah negara dengan sumber daya alam melimpah. Sayangnya, Indonesia juga menjadi salah satu negara dengan tingkat kerusakan ekosistem tertinggi di dunia.
Kondisi geografis yang terdiri atas berbagai pulau menjadi salah satu penyebab terbesar keanekaragaman hayati di Indonesia, khususnya ekosistem maritim. Negara ini juga memiliki kekayaan ekosistem terumbu karang tertinggi di dunia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut World Atlas of Coral Reefs, Indonesia mempunyai kekayaan koral atau terumbu karang tertinggi di dunia. Terumbu karang merupakan ekosistem maritim di pesisir perairan tropika dan menjadi habitat lebih dari 93 ribu spesies organisme laut.
Nahasnya, kerusakan terumbu karang terjadi di berbagai belahan nusantara akibat aktivitas manusia yang memengaruhi lingkungan dan ekosistemnya. Terumbu karang sebagai salah satu biodiversitas Indonesia memiliki organisme penyusun, baik flora maupun fauna.
Salah satu fauna penyusun ekosistem terumbu karang adalah lobster, yang memiliki 10 kaki jalan dengan dua antena dan anthenulla yang berhubungan dengan cephalothoraks. Terdapat kaki renang pada bagian perut dengan ujung berupa uropoda dan telson.
Kulit yang keras mengalami proses moulting (pergantian kulit) secara periodik. Aktivitas lobster, yaitu pada malam hari sehingga termasuk dalam hewan nokturnal. Lobster juga mengalami fase hidup, yaitu reproduksi, larva, post larva, juvenil, dan dewasa.
Berdasarkan National Nutrient Database for Standard Reference, lobster selain sebagai sumber protein tinggi juga mengandung tembaga, selenium, zink, fosfor, vitamin B12, magnesium, vitamin E, dan sedikit asam lemak omega-3.
Dari Panduan Penangkapan dan Penanganan Perikanan Lobster Laut (P4L2) WWF-Indonesia diketahui, Indonesia hanya memiliki lima jenis lobster, yaitu P.versicolor, P.longipes, P.ornatus, P.homarus, dan P.penicillatus, tetapi populasinya tertinggi di dunia.
Karena itu, Indonesia merupakan penghasil dan pengekspor benih lobster terbesar di dunia, dan umumnya dari eksplorasi alam. Lobster yang terkenal adalah jenis mutiara dan memiliki berbagai nama di pasar internasional, antara lain Green, Fine Pale Spotted, dan Zebra legs. Lobster jenis ini seluruh tubuhnya dipenuhi kulit dengan zat kapur yang keras.
Bagian kerangka kepala keras dengan duri besar dan kecil, pada ujungnya terdapat mata dengan dua tonjolan dan dua pasang antena. Lobster ini memiliki enam pasang kaki dan di bagian tubuhnya terdapat garis melintang putih.
Lobster mutiara menjadi komoditas ekspor dengan harga fantastis. Susi Pudjiastuti menyatakan, harga lobster mutiara dewasa dengan berat 1,2-1,4 kg dihargai minimal Rp 5 juta per kg. Sedangkan harga benih lobster di pasar internasional dihargai Rp 139 ribu.
Potensi ini tentu sangat besar bagi peningkatan ekonomi, khususnya nelayan dan pelaku ekonomi lobster. Peraturan dalam penangkapan lobster merujuk P4L2 WWF-Indonesia, yaitu dengan ukuran karapas atau cephalothoraks 8 cm dengan berat 500 gram.
Pada akhir November lalu, Indonesia gempar dengan adanya perizinan ekspor benur atau benih lobster ke pasar internasional. Benur merupakan garansi masa depan kekayaan sumber daya lobster di Indonesia.
Benur menjadi kunci dan masa depan keanekaragaman lobster di Indonesia. Apa yang terjadi bila peran itu hilang bersamaan dengan eksploitasi benur sebagai komoditas ekspor? Tentu, punahnya jenis lobster Indonesia.
Mengacu pada Lobsters as keystone: Only in unfished ecosystems? karya Eddy Tyler dkk (2004), dahulu lobster adalah keystone species. Peran lobster sebagai keystone hilang seiring menurunnya lobster di alam.
Bila punahnya lobster sebagai keystone dianggap sebagai kepunahan tahap pertama dan eksploitasi benur terus berlanjut, tentu akan berakibat pada punahnya lobster secara total.
Dalam mengatasi permasalahan ini, selayaknya cara pandang dan konsep bioeconomy dilaksanakan sebaik-baiknya, dengan menjaga keseimbangan antara aktivitas ekonomi dan menjaga biodiversitas alam, khususnya lobster.
Bioeconomy merupakan produksi sumber daya hayati terbarukan, serta konversi sumber daya alam dan limbah produksi menjadi suatu produk bernilai tinggi, dengan menerapkan prinsip ekonomis sirkular. Hal ini untuk meminimalisasi penggunaan sumber daya dan energi serta menekan kerusakan lingkungan serta hasil yang optimal.
Kita patut belajar dari negara maju seperti Jepang dengan mengembangkan kekayaan dan budi daya ikan koi serta Norwegia dengan biodiversitas salmonnya. Dengan demikian, menjadi produk unggulan dari kedua negara tersebut.
Sudah saatnya, cara pandang dan perilaku perekonomian di negara kita diubah, dari eksploitatif yang merusak dan menghabiskan ekosistem menjadi bersifat ramah, khususnya dalam pemanfaatan dan pelestarian lingkungan serta keanekaragaman hayati.
BUDI SETIADI DARYONO, Guru Besar dan Dekan Fakultas Biologi UGM
Sumber: republika, 04 Dec 2020