Benua Antartika menyimpan informasi penting mengenai evolusi pembentukan muka Bumi. Benua seluas 14 juta kilometer persegi ini dahulu merupakan bagian dari benua raksasa bernama Gondwana yang mengalami pecahan jutaan tahun lalu. Pecahan benua ini bergerak dan terpisah menjadi daratan yang ukurannya lebih kecil, di antaranya Australia dan India.
Salah satu cara untuk membuktikan teori yang dikemukakan oleh geolog Inggris, Edward Suess, pada 1884 tersebut adalah dengan melihat karakteristik batuan metamorf di daratan Antartika. Batuan metamorf adalah bentukan dari batuan beku dan sedimen yang mengalami perubahan suhu dan tekanan. Singkatnya, batuan metamorf dapat menggambarkan kondisi alam dan bentuk muka Bumi saat batu itu terbentuk.
“Ternyata, karakteristik dari batuan metamorf bersuhu tinggi hingga sangat tinggi yang saya temukan di Antartika sama dengan karakteristik batuan metamorf yang ada di Papua dan Sumatera,” ujar geolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Nugroho Imam Setiawan, di Yogyakarta, Rabu (29/3).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Nugroho yang baru kembali dari Benua Antartika mengatakan, sebelumnya para ahli geologi telah menemukan kemiripan karakteristik batu metamorf di Antartika dengan batu metamorf di Australia dan Sri Lanka. Hal ini sekaligus menjadi pembuktian bahwa di masa lalu Papua merupakan bagian dari Australia dan Sumatera pernah menyatu dengan Sri Lanka.
“Batuan metamorf itu ibarat sebagai black box (kotak hitam) pada pesawat terbang yang menyimpan informasi penting mengenai perubahan kondisi alam dan bentuk muka Bumi,” kata Nugroho.
Nugroho memiliki 30 hari waktu efektif penelitian bersama tujuh geolog lain di bawah payung 58th Japan Antarctic Research Expedition (JARE 58). Observasi tim geolog JARE58 dilakukan pada delapan lokasi di Benua Antartika, yakni Akarui, Akebono, Skallevikhalsen, Rundvageshtta, Tenmodai, Langdove, West Ogul, dan Gunung Risser Larsen.
Tim JARE 58 berangkat ke Antartika melalui Perth, Australia, pada 2 Desember 2016, menggunakan kapal Shirase jenis ice breaker AGB-5003. Tim JARE 58 meninggalkan Antartika menuju Sydney, Australia, pada 25 Februari 2017.
3,8 miliar tahun
Mereka berhasil mengumpulkan 3 ton sampel batuan metamorf. Pengukuran dengan radioaktif menunjukkan sampel batuan metamorf paling tua berumur 3,8 miliar tahun. Dari 3 ton batu yang dikumpulkan, Nugroho mendapatkan hak untuk membawa pulang 141 sampel batuan metamorf dengan berat sekitar 216 kilogram. Batuan tersebut akan digunakan Nugroho untuk melanjutkan penelitian.
Rektor UGM Dwikorita Karnawati menilai riset Nugroho penting dan menarik karena selama ini belum banyak aspek geologi di Benua Antartika yang terungkap secara jelas. Terlebih, Nugroho merupakan geolog Indonesia pertama yang melakukan riset di Benua Antartika.
Melalui penelitian tersebut, Dwikorita berharap hasil penelitian yang dilakukan Nugroho dapat bermanfaat untuk perkembangan ilmu geologi, khususnya di Indonesia. Ia pun berharap agar capaian Nugroho dapat diikuti oleh peneliti-peneliti muda Indonesia lainnya.
“Selama ini, informasi geologi di Antartika dapat dikatakan jauh dari cukup. Ekspedisi yang dilakukan Nugroho telah memberikan tambahan informasi. Semoga dapat menginspirasi peneliti muda lain untuk meningkatkan inovasi hasil risetnya,” ujar Dwikorita. (DIM)
——————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Menyibak Sejarah Bumi Lewat Antartika”.