Indonesia belum perlu mengubah kebijakan pengendalian penduduk, tetapi perlu menajamkan sasaran sesuai tahapan bonus demografi daerah dan menghormati hak reproduksi pasangan.
Saat ini dunia berubah struktur umur penduduknya, yang berdampak pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan lingkungan, termasuk tenaga kerja.
Di negara maju, transisi demografi terjadi kala pendapatan per kapita tinggi dan sistem perlindungan sosial sudah mapan. Maka, penuaan penduduk diantisipasi dengan menjaga kualitas hidup lansia. Namun, penurunan kelahiran berlanjut sampai di bawah tingkat penggantian manusia (net reproduction rate/NRR). Jumlah yang lahir tidak cukup menggantikan yang meninggal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Akibatnya, jumlah anak yang menginjak usia kerja menurun drastis, seperti di Eropa dan Jepang. Bahkan, Thailand, yang semula kondisi kependudukannya sama dengan Indonesia tahun 1950-an, akan menurun penduduknya tahun 2020 dengan angka kelahiran (TFR) 1,4 anak per wanita dan jumlah penduduk usia kerja 49,1 juta.
Kondisi Indonesia
TFR Indonesia masih 2,2 anak per wanita tahun 2020 dengan 208,2 juta penduduk usia kerja yang diperkirakan stabil sampai 2065. Jumlah pekerja yang besar apabila terserap pasar kerja, berpenghasilan layak dan dibelanjakan untuk kesejahteraan keluarga, akan meningkatkan konsumsi domestik dan menggerakkan roda perekonomian. Tabungan rumah tangga yang diinvestasikan juga memicu pertumbuhan ekonomi dan lapangan kerja.
Jumlah penduduk Indonesia masih akan bertambah mencapai 317,7 juta jiwa tahun 2045 saat Indonesia diperkirakan mentas dari jebakan kelas menengah (Bappenas 2017). Jumlah itu hanya tercapai jika pertumbuhan penduduk melambat 0,24 persen per tahun antara 2040 dan 2045 melalui penurunan TFR 2,1 tahun 2025 dan 1,9 anak per wanita pada 2045 (proyeksi PBB 2017).
Tahun 2045, jumlah kelahiran masih 4,2 juta per tahun yang akan hidup mencapai anak balita, remaja, dan usia kerja serta usia reproduksi. Mereka menuntut pemenuhan hak-hak dasar tumbuh kembang, pendidikan, dan kesehatan agar siap kerja. Anggaran Kartu Indonesia Sehat dan Kartu Indonesia Pintar terus bertambah dan harus disiapkan.
Jumlah penduduk usia kerja bertambah dari 208,2 juta jiwa tahun 2020 dan 234,8 juta jiwa tahun 2045 saat jendela peluang (window of opportunity)menutup. Kebijakan yang tepat akan membantu mengentaskan jebakan kelas menengah melalui peningkatan produktivitas pekerja. Caranya, dengan mengatasi pengangguran usia muda yang lima kali lebih tinggi dari umumnya harus diutamakan (Sakernas 2016). Meningkatkan penyerapan penganggur muda serta mengawalnya menuju transisi sekolah ke dunia kerja akan memutus rantai kemiskinan antargenerasi.Jadi, program pengendalian penduduk harus diupayakan untuk menghindari kenaikan TFR dan menjaga keberlanjutan ruang fiskal untuk investasi pembangunan manusia sejak dini, dan penyediaan kesempatan kerja.
Kalau TFR terus menurun, penduduk Indonesia akan berhenti bertambah tahun 2065 saat TFR 1,8 dan NRR 0,88. Saat itu jumlah penduduk masih 324,5 juta jiwa dan jumlah kelahiran 3,8 juta per tahun dengan jumlah penduduk usia kerja211 juta jiwa tahun 2065 (skenario medium PBB 2017). Angka Kelahiran Kasar hampir sama dengan Angka Kematian Kasar sehingga Laju Pertumbuhan Penduduk akan stabil sekitar 0,15 persen per tahun. Ini memudahkan perencanaan anggaran karena struktur umur penduduk tidak banyak berubah.
Pada 2065 inilah pemerintah harus menahan agar jumlah penduduk tidak terus berkurang. Revisi kebijakan harus dipikirkan untuk menjaga struktur umur penduduk untuk memicu pertumbuhann ekonomi. Patut diperhitungkan bahwa proporsi lansia saat itu cukup besar. Lansia yang akan datang akan lebih sehat, lebih berpendidikan, dan lebih banyak menggunakan gawai untuk mengakses informasi.
Kebijakan yang perlu direvisi adalah meningkatkan akses lansia di pasar kerja dengan jenis pekerjaan yang sesuai dengan penurunan kapasitas fisik dan psikososial lansia. Yang bisa dikerjakan mulai sekarang adalah meningkatkan partisipasi kerja perempuan melalui peningkatan kesetaraan jender agar nantinya bisa mengompensasi penduduk usia kerja yang berkurang.
Apabila pengendalian penduduk direlaksasi dan TFR dibiarkan konstan di angka 2,45 anak per wanita, jumlah penduduk yang sudah besar akan mencapai 342,3 juta jiwa tahun 2045 dan 490 juta jiwa tahun 2100. Jumlah kelahiran per tahun akan mencapai 7,7 juta bayi per tahun, jumlah yang sangat besar.
Revisi kebijakan
Saat ini sasaran kebijakan yang tepat adalah menurunkan permintaan KB yang tidak terpenuhi (unmet need) dan menghindarkan perkawinan usia dini. SDKI 2012 mencatat 11 persen wanita usia subur ingin menjarangkan atau menghentikan kelahiran tetapi tidak memakai kontrasepsi. Hal ini bisa diatasi dengan peningkatan kualitas pelayanan, konseling, serta ketersediaan alat kontrasepsi.
Selain itu, Indonesia masih tergolong memprihatinkan dalam hal maraknya perkawinan usia dini. Perkawinan usia dini dan tak terpenuhinya unmet need akan menghasilkan kehamilan tidak dikehendaki, risiko aborsi tidak aman, dan meningkatnya angka kematian ibu (AKI).
Upaya peningkatan pemakaian kontrasepsi yang stagnan bisa dilakukan dengan menghormati hak-hak reproduksi perempuan. Tanggung jawab orangtua adalah mengawal tumbuh kembang anak menjadi anak berkualitas. Keluarga bertanggung jawab sosial artinya terlalu banyak anak akan menurunkan kesanggupan pemerintah menyelenggarakan pendidikan gratis ataupun membayar asuransi kesehatan.
Tahapan bonus demografi
Bonus demografi tercapai akibat penurunan fertilitas dan mortalitas jangka panjang. Provinsi yang berhasil program KB-nya mengalami bonus demografi tercepat, yaitu DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Jawa Timur, dan Sulawesi Utara. Semua masuk bonus demografi lanjut dan rasio ketergantungan 40-46 persen tahun 2015 (Adioetomo, 2017).
TFR berada di bawah atau sama dengan 2,0 anak per wanita kecuali Sulawesi Utara (2,2). Angka Kematian Bayi (AKB) 22 per seribu kelahiran di bawah angka nasional, proporsi anak-anak mengecil di bawah 25 persen dari total penduduk.
Konsekuensinya proporsi lansia di atas rata-rata nasional 8,5 persen, bahkan Yogyakarta, Bali, dan Jawa Timur mencapai 13, 10, dan 11 persen dari total penduduknya. Indeks pembangunan manusia di atas 70 (nasional 68 tahun 2015) dan tingkat urbanisasi di atas 50 persen (proyeksi resmi Bappenas, BPS, UNFPA 2013). Provinsi dengan bonus demografi lanjut harus siap menyediakan layanan agar lansia tetap sehat, aktif, dan mandiri.
DKI beruntung menerima migran muda sehingga jendela peluang melebar, meningkatkan penyerapan angkatan kerja muda. Tanpa migrasi, DKI dapat dikatakan penduduk tua.Namun, pekerjaan rumah di kelima provinsi itu adalah masih tingginya pengangguran muda, tingkat unmet need, dan fertilitas remaja, terutama Jawa Timur dan Bali.
Secara nasional Indonesia tergolong tahap awal bonus demografi. Ini dikontribusikan oleh Jateng, Jabar, Banten, Babel, Bengkulu, Jambi, Kepri, Kaltim, Kalsel, Kalteng, dan Gorontalo, dengan rasio ketergantungan 47-50 persen. TFR masih tinggi di antara 2,0-2,5 anak dan AKB di atas rata-rata nasional 25 per 1.000 kecuali Kaltim, Jateng, Jambi, dan Jabar. Proporsi anak-anak lebih tinggi dari rata-rata nasional 27 persen dan proses penuaan penduduk mulai berjalan mendekati 10 persen, bahkan Jawa Tengah 11 persen. IPM berada di bawah 70 persen meskipun tingkat urbanisasi hampir menyamai provinsi berbonus demografi lanjut.
Maka, kebijakan yang dianjurkan adalah meneruskan upaya penurunan fertilitas 2,1 anak per wanita tahun 2025. Menurunkan unmet need dan pendewasaan usia kawin akan membantu menurunkan fertilitas dan menghindarkan kematian ibu hamil. Upaya peningkatan penyerapan kerja tua muda harus sejalan dengan upaya peningkatan IPM.
Provinsi Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Sumsel, Lampung, Kalbar, Sulsel, Sulbar, NTB, Malut termasuk pra-bonus demografi dengan rasio ketergantungan 50-59 persen. TFR 2015 masih 2,4–3,0 anak per wanita dan AKB di atas nasional, bahkan masih di sekitar30 per 100 dan 42 untuk NTB, dan Sulbar 49.
Proporsi anak-anak di atas 30 persen, tetapi proses penuaan penduduk berjalan lambat karena kematian masih tinggi. IPM di bawah rata-rata nasional dan tingkat urbanisasi rendah.
Sisanya ialah provinsi-provinsi yang belum kelihatan arahnya. Dapatkah jendela peluang dengan rasio ketergantungan 60-69 persen? Mereka adalah Sultara, Sulteng, NTT, Maluku, Papua, dan Papua Barat. Tahun 2015 diestimasi bahwa TFR mencapai 3,0 anak, bahkan NTT 3,5 dengan AKB 40 per seribu kelahiran, proporsi anak besar, dan lansia rendah. Indeks pembangunan manusia paling rendah dan tingkat urbanisasi juga terendah. Untuk kedua provinsi terakhir, kebijakan harus diarahkan pada peningkatan IPM melalui pemberdayaan perempuan.
Mengacu tahapan
Dapat disimpulkan bahwa sasaran kebijakan pengendalian penduduk harus mengacu kondisi tahapan bonus demografi meskipun semua provinsi mengalami permasalahan yang sama, yakni masih tingginya pengangguran usia muda, unmet need, dan fertilitas remaja.
Selain itu, terlihat bahwa pencapaian bonus demografi terkait dengan pembangunan sosial ekonomi. Tingkat sosial ekonomi tinggi mempercepat tercapainya bonus demografidan pada gilirannya TFR dan IMR rendah serta tingkat urbanisasi tinggi akan membantu upaya pencapaian tujuan pembangunan.
Pengendalian penduduk harus seiring pembangunan sosial ekonomi. Pemberantasan kemiskinan, peningkatan IPM, peningkatan kesempatan kerja, dan peningkatan kesetaraan jender harus bersinergi agar tercapai struktur umur penduduk yang nyaman untuk pertumbuhan ekonomi.
SRI MOERTININGSIH ADIOETOMO, Guru Besar Emeritus; Direktur Magister Ekonomi Kependudukan dan Ketenagakerjaan, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia
———————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 27 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul “Mengkaji Ulang Program KB”.