Sebanyak 65 peserta pelatihan peternakan sapi tengah berada di Australia. Mereka adalah penerima Australian Awards dalam kerangka Kemitraan Keamanan Pangan Indonesia-Australia di Sektor Daging Merah dan Peternakan. Wartawan dari empat media Indonesia, termasuk koresponden “Kompas” di Brisbane, Harry Bhaskara, berkesempatan menemui mereka, awal Maret lalu.
Sapi potong yang diimpor dari Australia ternyata keren juga. Tidak hanya senang mendengarkan musik, tetapi mereka juga naik kendaraan seharga 1 juta dollar Australia ke pelabuhan. Nilai truk gandeng tiga trailer itu setara dengan empat mobil Ferrari.
Walaupun kesedihan menanti karena setiap sapi yang beratnya 350 kilogram itu-bobot yang disyaratkan Pemerintah Indonesia-akan berakhir di rumah potong hewan setelah digemukkan selama tiga bulan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kami perdengarkan musik pada hari-hari menjelang pelelangan supaya sapi-sapi itu tidak stres,” tutur Paul Herrod di lahan peternakan Ballongilly miliknya, merujuk pada musim lelang setiap akhir Mei.
“Di pelelangan banyak orang sehingga sapi bisa stres,” ucap Herrod. Peternakannya terletak di kota kecil Katherine yang berpenduduk 6.000 orang, sekitar 300 kilometer selatan Darwin, ibu kota Northern Territory, Australia. Herrod berencana menjual 250 pejantan dari dua peternakannya, Ballongilly di Katherine dan Western Creek, 200 km di selatan Katherine.
Peternakan itu, masing-masing seluas 10.000 hektar dan 120.000 hektar-atau hampir dua kali luas Jakarta yang 66.000 hektar-dikerjakan oleh hanya lima anggota keluarga, termasuk Lynton, anak angkat Herrod yang berusia sembilan tahun. Dari dua peternakan dengan total 10.000 ekor sapi, Herrod mengekspor 1.200-1.500 ekor sapi ke Indonesia setiap tahunnya sejak 1987.
KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA–Pekerja menurunkan sapi indukan dari Australia yang baru tiba di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Kamis (28/4). Menurut Safuan KS, Head of Country JAPFA Beef Division, 2.000 ekor sapi tersebut didatangkan oleh PT Santosa Agrindo (anak perusahaan JAPFA Group) guna mendukung peningkatan produksi sapi bakalan di Provinsi Jawa Timur sekaligus menggalang kemitraan pembiakan dengan peternak setempat.
Selain memperdengarkan musik, Herrod juga memberikan makan bergizi sebelum pelelangan, memandikan serta mengelus-elus sapinya, lebih tepat digaruk, karena tebalnya kulit sapi. Semua tugas ini termasuk sisi nyaman dari peternak.
Sisi lain malah bisa membuat peternak sendiri stres karena sederet tantangan yang sedemikian beratnya sehingga anggota parlemen dan politisi senior Bob Katter pernah menyebut peternak sebagai manusia Australia paling tangguh.
Tidak berlebihan apabila mengingat Herrod harus bergulat dengan beragam risiko. Dari kerugian finansial sampai kemungkinan penyakit pada ternak, dari kemarau panjang sampai banjir bandang.
Lalu ada urusan pengangkutan, pemindahan sapi dari satu paddock (lahan yang dipatok untuk tempat sapi) ke paddock lain. Belum lagi soal pemasaran. Dan, semua dilakoni dengan hidup terisolasi di pedalaman. Tak heran, di antara manusia tangguh itu ada seorang Malcolm Fraser, perdana menteri Australia dari 1975 hingga 1983 yang dibesarkan di peternakan dan kemudian juga mengelola peternakan.
Lingkungan
“Dulu teman-teman menasihati saya untuk tidak beternak di sini. Tidak mungkin berhasil. Tetapi, saya membuktikan hal sebaliknya,” ujar Herrod yang tampak santai di udara bersuhu 36 derajat celsius. “Awalnya memang banyak yang mati, tetapi sapi yang lahir di sini ternyata mampu beradaptasi dengan lingkungan,” katanya.
Herrod mengeluarkan 500 dollar Australia atau sekitar Rp 5 juta untuk membesarkan seekor pejantan, yang menjadi produk utama Peternakan Ballongilly. Menurut dia, harga jual pejantan antara 30.000 dollar Australia dan 60.000 dollar Australia, jauh di atas sapi potong yang berada di kisaran 1.500 sampai 4.000 dollar Australia.
Bank memegang peran penting dalam memodali peternak di Australia. “Peternak meminjam uang dari bank untuk memulai dan menjalankan usahanya,” kata Eddie Morgan, Ketua Australia-Indonesia Business Council cabang Darwin, yang ditemui terpisah. “Mereka harus cermat menghitung pengeluaran dan pemasukan uang.”
“Peternak bekerja keras siang dan malam,” ucap Morgan yang juga mantan peternak, mulai dari memberi pakan di pagi hari, memeriksa sapi, membajak tanah, dan memperbaiki pagar.
Selain itu, peternak membutuhkan perusahaan angkutan dan perusahaan penyewaan helikopter yang andal. “Saya membayar 180 dollar Australia tiap 1 ton dari Queensland ke Katherine,” ujar Herrod, merujuk angka Rp 8 juta per 1.000 kilogram dari Brisbane, ibu kota Queensland, yang jaraknya 3.000 km.
Ia mengaku biaya angkutan sapi cukup memusingkannya.
Paul Thomson, manajer perusahaan angkutan di Katherine, mengatakan, truk sapi menghabiskan 1 liter solar setiap kilometer pada jalan yang mulus dan 1 liter untuk 700 meter pada jalan kurang mulus. Tangki truk berisi 2.000 liter solar ditambah 500 liter cadangan.
Truk gandeng dengan tiga trailer seharga 1 juta dollar Australia itu mengangkut 200 sapi yang masing-masing berbobot antara 350 kg dan 600 kg. Kalau mobil biasa menggunakan empat ban, truk sapi menggunakan 62 ban, dua di depan dan 20 di setiap gandengan trailernya.
“Kami juga harus memperhitungkan lama perjalanan karena tanpa makan dan minum sapi hanya bertahan selama 36 jam,” tutur Thomson, yang ditemui di kantor Road Trains of Australia. “Tarif rata-rata kami adalah 10 dollar per kilometer,” lanjut Thomson, yang membawahkan sekitar 80 sopir truk gandeng tiga trailer Kenworth.
Proses pengapalan mirip operasi militer karena lama perjalanan sapi dari peternakan harus dihitung dan disesuaikan dengan jam tiba di pelabuhan serta pemuatannya.
Peter Dummett, General Manager Darwin Port Development, mengatakan, lebih dari 600.000 sapi diekspor tahun lalu. “Sebanyak 73 persen ekspor sapi ke Indonesia dikirim melalui Darwin,” kata Dummett, yang mengklaim Darwin sebagai pelabuhan pengekspor ternak hidup terbesar di dunia.
Selain pengangkutan, peternak juga perlu menyewa helikopter untuk mustering, memindahkan ratusan ternak dari satu paddock ke paddock lain.
Dan Ward, pilot helikopter yang ditemui di landasan perusahaan North Australian Helicopter, mengatakan, peternak berangsur-angsur menggantikan kuda dengan helikopter sejak 1970-an. “Sewa termurah bertarif 440 dollar Australia sejam untuk helikopter dengan dua tempat duduk,” katanya.
Robi Agustiar, ahli ternak Indonesia yang menjadi manajer peternakan Benart di Katherine, milik pengusaha Indonesia di Australia, mengakui kompleksnya mengurus peternakan di Australia. “Biaya yang mahal merupakan titik lemah peternakan di Australia,” ujarnya.
——————-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 11 Mei 2016, di halaman 26 dengan judul “Mengintip Cara Kerja Peternak Australia”.