Dalam suatu kesempatan mengobrol, saat mengunjungi Lombok di Nusa Tenggara Barat pada ujung tahun 1980-an, Koentjaraningrat yang selalu didampingi istrinya, Kustiani atau Stien, sempat berucap,”Mungkin saudara tahu, siapa sih kira-kira dosen yang suka diejek dengan nama eh yang ada akhiran kata crit, kira-kira berbunyi …kuncrit,” katanya lurus-lurus sambil senyum tipis , tanpa nada tinggi atau rendah. Mau omong apa lagi? Rupanya almarhum sudah lama tahu, kalau muridnya diam-diam suka menyebut …Kuncrit.
Murid, begitu sebutan bangga Koentjaraningrat bagi mahasiswa Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia (kemudian FISIP-UI). Ratusan anak didiknya yang terpelajar, kini berperanan macam-macam dengan menyandang gelar Prof, Dr, MA, Drs, atau cuma ”Sdr” saja. Mereka rata-rata memiliki ingatan tersendiri terhadap Pak Koen, begitu sebutan sang murid buat sang guru.
Guru besar dan perintis ilmu antropologi di Indonesia ini, sekilas kelihatannya angker dan pendiam, tidak berangasan, apalagi vocal. Gayanya yang tenang dan ”berwibawa” sebenarnya kemasan dari sikapnya yang hangat dan amat pedulian, begitu paling tidak yang dirasakan banyak mantan muridnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sebab diam-diam Koen pernah meneken surat rekomendasi, agar muridnya mendapat santunan dari yayasan untuk biaya kuliah. Profesor ini pun pernah mengirim kurir, untuk menanyakan keadaan mahasiswanya yang hilang tanpa kabar. Atau Pak Koen dengan gaya ”berlagak” bodoh, pura-pura tak mengenal muridnya yang di-D0 (drop out) karena sering bolos Katanya, ”Apa betul Saudara ini murid saya? Ya kalau benar, silakan ikut kuliah saya minggu depan.”
Bahkan, guru besar ini tak ragu-ragu mempromosikan anak didiknya, agar mendapat beasiswa lebih lanjut ke luar negeri. Juga peletak dasar ilmu antropologi yang mendirikan jurusan antropologi di 10 univervsitas terkemuka Indonesia, kalau kebetulan berada di luar negeri, misalnya di Belanda, selalu meluangkan waktu untuk menengok muridnya. Koentjaraningrat sebagai figur bapak, dengan tenang menampung unek-unek anak muridnya.
Pak Koen yang berbadan sedang-sedang, kalau mengajar selalu tampil sederhana dengan kemeja putih lengan pendek bercelana abu-abu, bersepatu sandal, dan kebiasaannya menenteng buku. Dalam buku Corat-coret Koentjaraningrat tulisan Frieda Dharmaperwira Amran (1997), tertuang tindak-tanduk Koentjaraningrat yang merupakan “sisi” lain dari penampilan standarnya sebagai guru besar yang terpelajar, pendiam, agak tertutup, dan jarang sekali tampil di panggung ”selebriti” ilmuwan dan politisi.
Salah satu gaya Pak Koen begitu masuk kelas dan tepat waktu, setelah membenahi buku dan mapnya, lalu terdiam sambil menutup mulut dengan ujung telunjuknya, kemudian menatap jajaran muridnya yang duduk tegang. Biasanya keluar ucapan, “Hari ini ada tes kecil”, “saudara yang berbaju merah” atau ”yang berbaju hijau.”
Banyak yang ingat, Koen dianggap memilih ”korban” berdasarkan warna baju. Mau lolos, jangan pakai baju berwarna mencolok. Suatu Waktu beberapa mahasiswinya sepakat mengenakan pakaian berwarna putih atau krem saja. Namun mahasiswa lainnya juga begitu. Akibatnya, kelas Koen saat itu tiba-tiba belasan mahasiswanya berpakaian hampir seragam warnanya, putih atau krem.
Strategi baju putih, tidaklah efektif lagi. Koen menerapkan kriteria lain, untuk memilih sasaran! Antara lain mengincar yang duduk di belakang, atau di depan. Atau tiba-tiba doctor antropologi UI pertama (1958) ini bertanya, ”Adakah saudara yang bernama Kliwon?”
Salah satu yang membekas, tentunya cara Koen memberikan PR atau tugas, terutama menghafalkan peta buta. Dengan tenangnya, Koen memanggil muridnya ke papan tulis untuk menunjukkan kota, gunung, gurun, atau sungai, sesuatu Negara. Kalau tak bisa, ada ”hukuman” ’-nya. Koen misalnya pernah memanggil mahasiswinya untuk menunjuk Sungai Irawadi di peta buta Asia Tenggara. Kedua murid yang bingung, tak melihat di mana sungai itu, lalu dihukum berdiri di sudut kelas.
Menjelang kuliah usai, Koen selalu berkata, ”Tugas minggu depan…” Artinya selama seminggu, muridnya harus belajar, mengerjakan tugas yang nyentrik, seperti menghafal istilah teknis antropologi, bikin kliping, gambar peta, tabel, dan lainnya. Cara ini menjadi bahan tertawa atau iri hati rekan jurusan lain. Sebab, hampir tak ada tugas berupa paper, seminar, presentasi, dan lainnya. Yang ada cuma tes, ujian, dan PR.
”…mahasiswa antropologi dipaksa melatih ketelitiannya dan ketepatannya dalam menggunakan data. Hal ini tentunya sinkron dengan esensi metode penelitian antropologi yang sering kali bersifat kualitatif deskriptif… suatu analisis, diperlukan informasi atau data lapangan yang lengkap dan teliti.”(Frieda, 1997)
Sebagai peneliti lapangan, Koentjaraningrat tentu saja memimpin tim peneliti itu, sambil melibatkan beberapa muridnya sebagai asisten lapangan yang ”ngobyek”. Di lapangan, Koen juga memperhatikan anak buahnya yang mengedarkan kuesioner. Misalnya dalam kunjungan berkala sekalian mencek kinerja anak didiknya, waktu, meneliti masyarakat desa di Jakarta, di sekitar daerah Cijantung, tahun 1972.
Pak Koen curiga ketika membaca data monografi salah satu desa itu, kok banyak gadis dengan tingkat usia antara 17-22 tahun, bermukim bareng-bareng di beberapa rumah tertentu. Katanya, ”Kok selain manis, gadis-gadis itu juga ramah-ramah ya. Eh, sebaiknya saudara tidak, usah menginterview lama-lama.Wawancaranya sesuai daftar pertanyaan saja.” Sambil menahan kecewa, seorang asistennya berkata, ”Pasti ada yang ngelaporin ke Pak Koen, kalau sampling area ini kompleks WTS di Boker. Sayang dilarang wawancara mendalam.”
Koentjaraningrat salah tingkah, atau bikin orang lain salah tingkah, itu menjadi bahan ingatan para muridnya. Pernah suatu saat, di hari ultahnya ke-55, serombongan muridnya bikin kagetan. Meja di kelas gabungan itu diberi taplak, ada kembang, dan kue pakai lilin.
Semua mahasiwanya kompak dan berkumpul dalam kelas. Tak lama terdengar suatu sandal menapak lantai. Bapaknya Tiput, Pungki, dan Maya, pun muncul. Parasnya tertegun dan langsung mundur, saat murid-muridnya berteriak ”selamat ulang tahun”! Koen dikejar dan mau diajak masuk kelas lagi. Sambil tersenyum salah tingikah, Koen mau diajak joget. Setelah hiruk-pikuk sejenak, Pak Koen kemudian menutup acara dengan ucapan, “Hari ini kelas libur…minggu depan tes dan ada tugas tambahan.” Nah giliran mahasiswanya yang salah tingkah.
Koen yang delapan kali menerima penghargaan dari negara dan internasional, terhitung dua anugerah dari Hankam RI, tak marah atau tersinggung kalau seseorang tak tahu apa itu profesor atau antropologi. Dalam kunjungannya jalan kaki bersama Kustiani (65), sang istri, ke Baduy Luar tahun 1990, mengaku cuma tukang gambar keliling. Ia tertawa malu-malu, ketika bertemu dengan Ida Bagus Made, maestro lukisan asal Ubud di Bali, tahun 1989, yang bilang, ”Bapak propesornya ilmu, kalau saya propesornya lukisan Bali!”
Juga kelihatan sekali Koentjaraningrat itu ilmuwan tulen. Waktu mantan guru besar UI, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM), Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan guru besar tamu beberapa universitas di AS Belanda, Perancis, Jepang ini diorbitkan menjadi pelukis, September 1987, Koen kaget sekali dan tidak habis pikir, sebab lukisan cat minyak buatannya tahun 1950-an, dibeli seharga Rp 500.000. Komentarnya, ”Kalau pensiun tahun depan, saya mendingan jadi pelukis.”
Terbayang bagi mantan muridnya, saat itu Pak Koen pasti mengucapkan kalimat itu dengan wajah datar, tanpa senyum, mungkin agak gagap sedikit. Namun, dalam dunia pendidikan orang-orang terpelajar Pak Koen sama sekali tidak gagap. Dalam usia 75 tahun lebih, Prof Dr Koentjaraningrat tutup usia. Namanya tetap terbuka dalam kenangan sebagai sang guru yang terpelajar. (Rudy Badil)
————————
Ingat Koentjaraningrat, Ingat Antropologi
Koentjaraningrat ketika masih muda belia, tahun 1945 pernah diminta pamannya, Ki Hadjar Dewantara, untuk membantu mengajar di Taman Siswa Yogyakarta. Koen merasa gentar, karena sejak kecil ia suka gagap kalau bicara di depan banyak orang. Akhirnya ia menemukan jalan keluar, seluruh bahan pengajarannya sampai detail ditulisnya dengan lengkap. Sewaktu mengajar, jika perlu, ia tinggal membaca saja catatannya.
Kebiasaan membuat catatan rinci ini diteruskan ketika ia mengajar di Universitas Indonesia (UI). Koen akhimya berpikir, hanya dengan pengolahan dan perubahan sedikit, catatan bahannya mengajar itu dapat diterbitkan menjadi buku.
Untung Koen mempunyai istri Kustiani atau Stien. Selain cantik, sang istri juga pandai mengetik dengan cepat dan teliti. Stien Koentjaraningrat (kini 65 tahun -Red) merupakan orang yang sangat berperan dalam pembuatan buku, makalah, artikel, bahkan surat. Biasanya Koen menulis catatannya di kertas lepas. Kalimatnya yang banyak coretan dan tanda-tanda khusus hanya dimengerti Stien. “Semuanya itu diketik mula-mula dengan mesin tik sederhana, kemudian dengan komputer… komputer inilah yang banyak memudahkan pekerjaan rumah Stien.” (Frieda Dharmaperwira-Amran, 1997)
Antropolog yang meraih gelar doktorandus di Universitas Indonesia (1952), MA dari Yale University (1956), dan doktor antropologi di UI tahun 1958 ini, terkenal antara lain karena kemampuannya menulis berbagai buku dan artikel ilmiah dalam bahasa lndonesia, Inggris, dan Belanda, serta diterjemahkan ke dalam bahasa Perancis dan Jepang.
Koentjaraningrat pada awal berdirinya Jurusan Antropologi UI pada tahun 1957, ditugaskan untuk mengembangkan studi antropologi… Koen dihadapkan pada warisan kepustakaan etnografi yang luas sekali tentang suku bangsa Indonesia, karya buatan zaman sebelum Perang Dunia Il… semuanya tertulis dalam bahasa Belanda. Sedangkan perkembangan teori antropologi mutakhir dalam buku dan majalah dalam bahasa Inggris, sampai selesainya zaman Orde Lama tidak mungkin diperoleh.“
Makanya tak heran, kalau disertasi Koentjaraningrat, Beberapa Metode Antropologi dalam Penjelidikan Masyarakat dan Kebudajaan di Indonesia (1958), dianggap sebagai langkah awal ke arah pemenuhan kebutuhan infomiasi untuk pendidikan antropologi. (EKM Masinambow, Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia,1997)
Buku dan tenaga pengajar, itu soal utama. Koen mulai menyusun buku yang membahas dasar antropologi, konsep, dan metode penelitian, sejarah perkembangan, serta aspek kebudayaan yang menjadi sasaran penelitian antropologi. Terbitlah karya yang menjadi buku pegangan studi antropologi di berbagai universitas.
Buku ”legendaris” itu antara lain Pengantar Antropologi (terbitan I tahun 1959), Beberapa Pokok Antropologi Sosial (1967), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (1970), Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan (1974), Metode Penelitian Masyarakat (1973), Masyarakat Terasing di Indonesia (1993) dan banyak lainnya lagi.
Karyanya yang hampir 200 judul, dalam format artikel sampai buku tebal ratusan halaman, merupakan bukti keseriusannya bergelimang di arena ilmu antropologi Indonesia dan dunia. Selain meneliti di sekitar Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Minangkabau, Tanah Batak, dan Irian Jaya, ia juga meneliti masyarakat nelayan Teluk Ijsselmeer di Belanda, kemajemukan suku bangsa di Yugoslavia, konflik bahasa di Belgia, juga membuat penelitian kecil di Jepang.
Sebagai putra pasangan RM Ermawan Brotokoesoemo dan RA Pratitis Tirtotenoyo, RM Koentjaraningrat –yang menerima gelar bangsawan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) dari Sri Paduka Paku Alam VIII pada 1990 di Yogyakarta selain berupaya mengembangkan jurusan antropologi di universitas negeri lain, juga menekankan agar muridnya memilih subdisiplin antiopologi. Ia juga menginginkan partisipasi antropologi yang lebih nyata dalam kehidupan dan pembangunan negara.
Koen yang pandai membawakan tarian Jawa mulai ”mencetak“ tenaga pengajar. Muridnya diarahkan mendalami pengetahuan tentang masyarakat dan kebudayaan di berbagai daerah lndonesia, juga sampai studi khusus antropologi ke Jepang, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Ia bahkan memelopori program ”pencangkokan” mahasiswa pascasarjana berstudi ke Belanda, selain merekomendasi pengiriman studi anak didiknya ke AS.
Lepas dari lebih dan kurang, kritik ataupun pujian, Koentjaraningrat masih merupakan satu dari sedikit –kalau bukan satu-satunya– ahli antropologi yang berniat mengembangkan disiplin antropologi, serta berusaha menunjukkan disiplin antropologi yang dapat memberikan sumbangan berharga terhadap segala upaya mewujudkan masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika.
Kakek dari Inta, Andra, Bhima, dan Kanya, yang menunaikan ibadah haji tahun 1997 bersama-istrinya ini pun, di kalangan ilmuwan setingkatnya terkenal sebagai tokoh “keras kepala”.
Dan sebagai orang Jawa yang menyebut dirinya “jawa kowek”, dengan dingin, Pak Koen sadar tak sadar kalau namanya itu identik dengan ilmu antropologi. Ingat Koentjaraningrat, ingat antropologi. Guru besar yang tekun dan telaten luar biasa ini. telah berhasil meletakkan fondasi displin antropologi.
Kehadirannya di dunia ini, sudah terbukti berguna dan berhasil. Selain bukunya yang masih tetap dibaca sebagai bahan kajian. sosok Pak Koen yang meninggal sekitar 40 hari lalu, masih melekat dalam ingatan. Koentjaraningrat pernah ada, masih ada, dan tetap ada (bd)
Sumber: Kompas Jum’at, 30 April 1999