Pemilihan umum demokratis untuk memilih anggota DPR/DPRD, presiden, dan pilkada, yang ditandai oleh pentingnya suara pemilih, merupakan gejala baru di Tanah Air, termasuk bagi ilmuwan atau pengamat sosial-politik. Karena baru, para ilmuwan politik kita tidak mudah melakukan penyesuaian lantaran melahirkan ilmuwan bukan pekerjaan kebut semalam. Butuh waktu.
Selama ini ilmu sosial kita di kampus-kampus sangat lama didominasi pendekatan kualitatif dengan berbagai perspektifnya. Awal Orde Baru, ilmu politik kita didominasi perspektif modernisasi varian kualitatif seperti yang ditularkan oleh Samuel Huntington cs. Masa pertengahan Orba hingga tumbangnya rezim itu banyak diwarnai oleh pendekatan kualitatif dari varian “kiri”, seperti teori dependensia, sistem dunia, maupun pendekatan kelas sosial atau pendekatan negara (state centered approach) ala Skocpol atau Peter Evan, misalnya.
Kecenderungan pendekatan kualitatif dari perspektif “kanan” maupun “kiri” tersebut bukan karena mahasiswa dan sarjana ilmu sosial kita tidak mengikuti perkembangan ilmu sosial di dunia, melainkan lebih karena konteks sosial-politik Orba yang membuat kecenderungan tersebut lebih relevan dan lebih mungkin dipraktekkan. Pada zaman Orba, pemilihan umum tidak penting dilihat dari sudut pandang pemilih.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pemilu Orde Baru hanya pemilu seolah-olah. Sebab, pemilu dilaksanakan tanpa kebebasan politik. Tidak ada persaingan bebas yang berarti antara partai, kelompok kepentingan, maupun warga. Pemilu hanya tameng untuk membenarkan Orba. Mengamati tingkah laku politik warga, politikus, kelompok-kelompok sosial, dan partai politik menjadi tidak penting. Yang lebih relevan adalah mengamati elite, khususnya eksekutif, dan tentara, serta kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dengan segala implikasinya terhadap partai, kelompok sosial, dan warga negara.
Pada masa Orba, mengamati pemilu tidak penting karena tanpa diamati pun hasil pemilu sudah dapat diketahui hasilnya, yakni Golongan Karya (Golkar). Kalau mengingat masa itu, rasanya sulit memaafkan Golkar. Tapi kita sekarang sudah menganut demokrasi, dan siapa pun boleh ikut bersaing di arena politik baru ini, termasuk yang dulu penentang demokrasi. Di situlah kebesaran demokrasi.
Lebih dari itu, pada masa Orba tidak mungkin peneliti politik bertanya kepada warga negara biasa tentang aspirasi politik mereka; tidak mungkin bertanya kepada seorang ibu rumah tangga di sebuah desa di pedalaman Kalimantan, misalnya, partai apa yang akan dipilihnya bila pemilu diadakan; tidak mungkin bertanya apakah puas atau tidak puas terhadap kerja Presiden Soeharto, dan seterusnya. Jangankan bertanya seperti itu, masuk ke desa saja untuk tujuan menggali aspirasi politik rakyat sulit diizinkan oleh aparat desa, Babinsa, atau Koramil.
Konteks politik Orba semacam itu telah memberangus kebebasan meneliti, dan telah membuat perilaku memilih rakyat sebagai subyek penelitian terbengkalai. Karena itu, kalaupun di kampus-kampus mahasiswa ilmu politik diberi mata kuliah analisis politik kuantitatif, praktis ilmu tersebut tidak diterapkan. Padahal, untuk menjadi ilmuwan sosial yang tangguh, seorang ilmuwan tidak hanya luas wawasan teoretisnya, tapi juga kaya pengalaman penelitian empirisnya.
Pemilu 1999
Ketika memasuki politik demokrasi dan pemilu bebas pada 1999, hampir tidak ada pengamat atau ilmuwan yang punya peralatan memadai untuk memahami dan menjelaskan gejala pemilu demokratis. Peralatan itu terutama analisis kuantitatif terhadap sikap dan perilaku politik pemilih dengan data yang digali lewat survei opini publik. Ilmuwan politik ketika itu menjadi gagap. Banyak bicara atau berkomentar di media dengan perasaan, kira-kira, atau paling banter dengan hipotesis, tanpa ukuran dan data yang jelas.
Para pengamat waktu itu meyakini bahwa PAN akan menang besar hanya karena didukung oleh banyak intelektual dan dipimpin oleh tokoh reformasi Amien Rais. Bahkan Indonesianis sekelas Ben Anderson, bapaknya ilmuwan politik kualitatif Indonesia, meyakini bahwa Golkar akan habis di Pemilu 1999. Ilmuwan politik sulit dibedakan waktu itu dengan penulis cerpen, atau pembaca puisi. Indah dan enak didengar atau dibaca, tapi tanpa atau miskin fakta. Puisi memang bukan tentang kebenaran, melainkan keindahan.
Menjelang Pemilu 1999, memang sudah ada lembaga penelitian sosial yang telah memulai survei sikap dan perilaku politik pemilih, LP3ES, tapi skopnya masih terbatas dan dilakukan oleh orang-orang yang tidak dilatih khusus dalam ilmu politik kuantitatif ini. Hanya keterampilan statistik dan metodologinya yang memadai, tapi substansinya belum. Lembaga ini memang bukan fakultas ilmu sosial, dan karena itu keliru kalau berharap ada pasokan teori dan substansi dari situ.
Kehadiran survei-survei IFES pada Pemilu 1999 memperbaiki keadaan ini. Tapi dari sisi substansi dan teori, IFES juga masih terbatas karena orang-orang di belakangnya memang bukan peneliti atau ilmuwan sosial, tapi lebih sebagai aktivis demokrasi.
Tradisi keilmuan tentang perilaku memilih warga negara yang merupakan komponen pokok dalam pemilu demokratis mulai mendapatkan perhatian yang cukup memadai lewat penelitian tentang perilaku memilih nasional beberapa hari setelah Pemilu 1999 (post-election survey). Ini merupakan proyek riset Ohio-State University yang bekerja sama dengan Laboratorium Ilmu Politik Universitas Indonesia. Hasil studi ini, setelah dikembangkan dengan beberapa studi berikutnya, muncul di Comparative Political Studies. Ini merupakan publikasi pertama tentang pemilih Indonesia di jurnal akademik internasional dari ilmuwan politik dalam maupun luar negeri yang mendalami politik Indonesia.
Dari situlah, teori, metodologi, dan analisis tentang pemilu dikembangkan, khususnya oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), yang berdiri pada 2003. LSI kemudian beranak-pinak menjadi Lingkaran Survei Indonesia, Indobarometer, dan beberapa yang lain.
Dari lingkungan inilah tradisi analisis kuantitatif tentang pemilihan umum dimulai dan dikembangkan. Kampus-kampus sudah mulai dengan pendekatan ini, tapi masih sangat lambat. LIPI, yang merupakan lembaga penelitian terbesar di Tanah Air untuk ilmu sosial, juga masih belum berdiri di depan. Belum ada program khusus tentang studi pemilih Indonesia oleh universitas dengan biaya yang cukup dari negara. Di Amerika, program studi pemilu ini yang berpusat di University of Michigan dibiayai oleh negara, walaupun pada masa awalnya dibantu juga oleh pihak swasta.
Survei pesanan
Ilmuwan sosial kita yang berbasis di kampus masih asing terhadap studi kuantitatif atas pemilih Indonesia. Padahal merekalah yang diharapkan memberikan analisis dan pandangan-pandangan tentang pemilih dan hasil pemilu. Karena ekspektasi yang begitu besar kepada mereka, mereka dipaksa bicara juga, dan masih banyak di antara mereka yang bersandar pada perasaan, bukan data penelitian empiris dan analisis kuantitatif atas perilaku memilih rakyat. Kalaupun ada yang melakukan penelitian, sejauh ini masih berada pada tingkat coba-coba sehingga belum memenuhi standard yang diharapkan.
Sementara itu, kebutuhan akan hasil studi kuantitatif atas perilaku memilih rakyat semakin besar, terutama dari partai politik. Bersamaan dengan itu, muncul anggapan yang salah bahwa hasil studi empiris atas sikap dan perilaku pemilih dapat digunakan untuk kampanye atau memobilisasi massa pemilih. Bukan dijadikan sebagai bahan masukan untuk program kerja partai. Maka muncullah perusahaan-perusahaan survei “yang hasilnya bisa diatur oleh klien” atau survei pesanan. Pelaku survei ini umumnya bukan ilmuwan sosial dengan kualifikasi dan keahlian formal di bidang perilaku politik, dan sering tidak punya kaitan dengan dunia akademik atau kampus. Selama ada pasarnya, dan selama ilmuwan politik dan kampus-kampus masih asing dan gagap dengan studi empiris perilaku memilih rakyat, perusahaan-perusahaan survei pesanan ini akan tetap hidup.
Saiful Mujani, Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI)/Dosen Ilmu Politik UIN Jakarta
Sumber: Koran Tempo, 17 Juni 2009