TULISAN M. Sholahuddin di Jawa Pos (17/3) berjudul Berbohong dengan Statistik perlu dibahas lebih lanjut. Bukan hanya untuk memberikan sisi lain dari pihak penggiat statistik, tetapi juga pembelajaran kepada masyarakat luas bahwa ada yang lebih penting untuk diperhatikan dalam membaca laporan penelitian, selain angka-angka statistik.
Dalam Survei Indonesia
Secara garis besar, statistik terbagi menjadi dua kelompok, yaitu deskriptif dan inferensial. Statistik deskriptif ialah prosedur statistik untuk merangkum, mengorganisasi, dan menyederhanakan data. Statistik ini sifatnya hanya menyajikan data sampel yang diambil dari populasi. Data tersebut lantas disajikan dalam bentuk grafik, diagram, atau angka-angka tabulasi.
Dalam menganalisis data statistik deskriptif, peneliti bisa menyajikan dalam bentuk tabel frekuensi, analisis kecenderungan sentral yang meliputi nilai rerata, nilai yang paling sering keluar, dan nilai tengah (median). Data deskriptif juga disajikan dalam bentuk standar deviasi, koefisien variasi, persentil, kemiringan, dan kurtosis. Survei politik di Indonesia umumnya menggunakan jenis statistik deskriptif dengan analisis kecenderungan sentral.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kedua, ialah inferensial, yaitu statistik yang digunakan untuk pengambilan keputusan. Statistik inferensial lebih tepat digunakan memprediksi suara populasi dengan menggunakan data sampel. Sehingga statistik inferensial bisa digunakan untuk generalisasi data penelitian, misalnya pengujian hipotesis. Tulisan ini tidak akan membahas lebih jauh mengenai jenis statistik itu karena jarang dipakai dalam survei politik di Indonesia.
Kembali ke statistik deskriptif. Karena hanya menyajikan data deskriptif dan dianalisis menggunakan kecenderungan sentral, tidak selayaknya hasil survei tersebut dijadikan gambaran untuk membaca populasi. Data dari statistik deskriptif harus dilihat murni hanya sebagai refleksi dari sampel, bukan populasi. Kalaupun ingin “memaksakan diri” membaca hasil statistik deskriptif sebagai cerminan populasi, harus ada kata “kecenderungan”. Alih-alih mengatakan, “partai A mendapat 23% dalam pemilu yang akan datang”, lebih tepat ditulis, “terdapat kecenderungan partai A mendapat 23% suara”.
Selanjutnya, karena hanya mencerminkan sampel, ada hal yang lebih penting untuk diperhatikan selain hasil penelitian, yaitu metodologi yang dipakai untuk menghasilkan angka-angka statistik tersebut. Metode itu bukan hanya cara pengambilan sampel (apakah random atau nonrandom), melainkan juga struktur sampel itu sendiri (misalnya demografis, geografis, atau psikografis), waktu pengambilan data, metode survei (wawancara langsung, telepon, internet), dan faktor-faktor lain.
Metode penelitian yang berbeda tentu akan menghasilkan laporan yang berbeda pula. Karena itu, tidak tepat jika kita membandingkan laporan penelitian dari satu institusi dengan istitusi lain karena memang bukan apple to apple. Mungkin hal ini bisa menjawab “keheranan” Sholahuddin yang sering mendapati hasil survei yang berbeda antara satu institusi dan institusi yang lain.
Misalnya, hasil survei lembaga X menyatakan bahwa calon Presiden SBY memiliki elektibilitas 51%, sementara MSP 37%. Di saat yang sama, lembaga survei Y merilis hasil yang bertolak belakang, di mana meletakkan angka elektibilitas MSP mengungguli SBY. Mana yang benar? Bisa jadi, kedua-duanya benar karena metodologi yang dipakai berbeda. Karena itu, masyarakat jangan terburu-buru memberikan label “aneh” kepada kedua hasil survei tersebut.
Juga harus dipahami bahwa pengambilan sampel dalam dunia statistik tidak pernah ada yang presisi merefleksikan populasi. Memang, peneliti yang baik pasti berusaha mendapatkan susunan sampel yang merefleksikan populasi dengan melakukan metodologi sampling yang sesuai. Hanya, segala usaha mendapatkan sampel yang sesuai dengan populasi pasti memiliki kekurangan. Jika ada survei yang secara tepat mampu merefleksikan populasi, bisa dipastikan itu hanya sebuah kebetulan.
Karena itu, setiap penelitian pasti memiliki standard error yang menampung kemungkinan kesalahan dalam penelitian, salah satunya dalam pengambilan sampel. Masyarakat harus mencermati nilai standard error sebuah penelitian. Untuk penelitian sosial, standard error biasanya 5% atau 10%. Semakin kecil standard error, maka hasil penelitian tersebut semakin mendekati ketepatan.
Harus Diperbaiki
Lantas, siapa yang harus memperbaiki diri jika terdapat pembohongan yang menggunakan statistik? Menurut penulis, kesalahan bukan sepenuhnya menjadi milik penyelenggara survei. Masyarakat juga harus lebih kritis dalam membaca laporan penelitian yang melibatkan statistik.
Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah, masyarakat lebih banyak tergetar saat membaca angka-angka statistik yang menimbulkan sensasi. Perilaku tersebut didukung oleh masih banyaknya media massa yang lebih suka melakukan blow-up hasil survei tanpa mengajak masyarakat berpikiran kritis tentang metodologi penelitian di balik hasil tersebut. Padahal, setiap penyelenggara survei yang kredibel pasti menyertakan metodologi yang mereka gunakan.
Seperti halnya pekerja profesional lainnya, penyelenggara survei yang memanipulasi data demi kepentingan sesaat akan terhukum dengan semakin melemahnya kredibilitas. Pada akhirnya, hukum pasar akan berbicara. Penyelenggara survei semacam ini tidak akan bertahan lama. Stakeholder akan berangsur-angsur pergi meninggalkan penyelenggara survei tersebut mati sendirian.
Amak Muhamad Yaqoub, pengajar statistik di Sekolah Bisnis dan Manajemen Insitut Teknologi Bandung
Sumber: Jawa Pos, 21 Maret 2009