Sudah diatur dengan jelas dalam berbagai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Gelar profesor dari kampus Indonesia pada dasarnya berkaitan dengan status dan karier dosen. Hal itu dijelaskan Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember (FH UNEJ), Bayu Dwi Anggono.
“Itu berbeda dengan gelar akademik doktor misalnya. Profesor itu gelar jabatan selama menjadi dosen yang aktif mengajar di kampus. Harus punya kampus homebase,” katanya kepada Hukumonline.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Regulasi Indonesia mengenal tiga kategori gelar profesor yang berasal dari perguruan tinggi. Semua merujuk pada UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), UU No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UU Guru dan Dosen), dan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi). Pengaturan lebih lanjut ditemukan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan-RB) serta Peraturan Menteri Pendidikan.
Berikut ini tiga salah kaprah soal gelar profesor dari kampus-kampus Indonesia yang Hukumonline himpun.
1. Tidak sama dengan gelar studi akademik
Pasal 1 angka 3 UU Guru dan Dosen mengatur Guru besar atau profesor yang selanjutnya disebut profesor adalah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.
Pasal 48 ayat 2 UU Guru dan Dosen mengatur lebih spesifik bahwa Jenjang jabatan akademik dosen tetap terdiri atas asisten ahli, lektor, lektor kepala, dan profesor. Rumusan yang persis sama juga diatur dalam Pasal 72 ayat 1 UU Pendidikan Tinggi.
Lalu, Permenpan-RB No.17 Tahun 2013 jo.No.46 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya jo. Permenpan-RB No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional. Isinya menegaskan bahwa jabatan fungsional dosen dan jabatan akademik dosen adalah hal yang sama.
Jadi, penjelasan Bayu terbukti bahwa profesor bukan gelar hasil capaian studi akademik. Gelar profesor adalah bagian dari jenjang karier dosen selama masih aktif mengajar. Secara jelas bisa dipahami bahwa gelar profesor adalah gelar jabatan.
2. Tidak bisa dipakai selamanya
UU Sisdiknas menegaskan bahwa profesor adalah sebutan untuk pejabat fungsional dosen yang masih mengajar di lingkungan perguruan tinggi. Pasal 23 ayat 2 dengan jelas mengatur Sebutan guru besar atau profesor hanya dipergunakan selama yang bersangkutan masih aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi.
Pengaturan ini sangat jelas bahwa gelar profesor tidak bisa dipakai selamanya. Semakin jelas jika merujuk adanya ketentuan masa jabatan yang melekat pada jabatan profesor. Bahkan, Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No.38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi (Permenristekdikti Profesor Kehormatan) mengatur soal periode standar jabatan profesor kehormatan. Pasal 6 Permenristekdikti Profesor Kehormatan mengatur masa jabatannya paling singkat 3 tahun dan paling lama 5 tahun. Profesor kehormatan masih menjabat hanya jika masa jabatannya diperpanjang oleh kampus yang memberikan jabatan itu.
3. Tidak sama kompetensinya
Ada syarat yang berbeda dalam pengangkatan profesor, profesor emeritus, dan profesor kehormatan oleh kampus. Hal itu berpengaruh pada kompetensi keilmuan serta kompetensi bertindak yang dimiliki.
Pasal 48 ayat 3 UU Guru dan Dosen menyebut syarat bahwa profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor. Pasal 72 ayat 3 UU Pendidikan Tinggi menjelaskan beberapa syarat umum lebih lanjut untuk menjabat profesor. Pertama, harus memiliki pengalaman kerja sepuluh tahun sebagai dosen tetap. Kedua, memiliki publikasi ilmiah. Ketiga, berpendidikan doktor atau yang sederajat. Keempat, memenuhi persyaratan lainnya yang diatur dalam peraturan teknis.
Syarat lainnya diatur oleh Permenpan-RB No.17 Tahun 2013 jo.No.46 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya jo. Permenpan-RB No. 1 Tahun 2023 tentang Jabatan Fungsional serta Peraturan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. 4/VIII/PB/2014 No. 24 Tahun 2014. Syarat itu antara lain harus berpangkat Pembina Utama Madya IV/d atau Pembina Utama IV/e, sudah berijazah doktor paling singkat tiga tahun, dan memiliki karya ilmiah yang dipublikasikan pada jurnal internasional bereputasi. Pengecualian syarat dimungkinkan bagi dosen yang berprestasi luar biasa.
Syarat-syarat itu otomatis telah dipenuhi oleh profesor emeritus. Hal itu karena profesor emeritus pada dasarnya profesor yang sudah pensiun, tapi dipekerjakan kembali. Pasal 3 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No.9 Tahun 2008 tentang Perpanjangan Batas Usia Pensiun Pegawai Negeri Sipil yang Menduduki Jabatan Guru Besar/Profesor dan Pengangkatan Guru Besar/Profesor Emeritus mengatur pengangkatan ini hanya bisa paling lama lima tahun. Namun, lampiran Peraturan Menteri ini membatasi profesor emeritus tidak bisa diangkat sebagai unsur Pimpinan Perguruan Tinggi pada Perguruan Tinggi yang belum berbadan hukum milik negara serta unsur Pimpinan Perguruan Tinggi, anggota senat akademik, anggota dewan audit, atau anggota majelis wali amanat yang mewakili Perguruan Tinggi pada Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara.
Tampak bahwa pengangkatan profesor dan profesor emeritus punya syarat yang berat. Berbeda dengan profesor kehormatan yang tidak dibatasi syarat minimal usia atau masa pembuktian atas kiprahnya terhadap dunia akademik. Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi No.38 Tahun 2021 tentang Pengangkatan Profesor Kehormatan pada Perguruan Tinggi membuka kemungkinan profesor kehormatan bukan doktor bahkan tidak berpendidikan sarjana sama sekali.
Profesor kehormatan hanya harus lolos seleksi punya kompetensi luar biasa dan/atau prestasi eksplisit dan/atau pengetahuan tacit luar biasa. Selain itu, ia harus memiliki pengalaman yang relevan dengan prestasi luar biasa yang mendapat pengakuan nasional dan/atau internasional. Kompetensi itu dianggap setara dengan jenjang 9 pada Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia.
Hal paling berbeda adalah hanya profesor yang berhak membimbing calon doktor berdasarkan Pasal 49 ayat 1 UU Guru dan Dosen serta penjelasan Pasal 9 ayat 2 UU Pendidikan Tinggi. Sedangkan baik profesor emeritus maupun profesor kehormatan tidak punya kompetensi membimbing penulisan disertasi calon doktor.
Oleh: Normand Edwin Elnizar
Sumber: hukumonline.com, 9 Maret 2023