Ketika nama “Maung” disebut, kebanyakan orang langsung membayangkan mobil tangguh yang melibas jalanan berbatu atau medan berlumpur. Namun sesungguhnya, Maung adalah lebih dari sekadar kendaraan. Ia adalah lambang kebangkitan industri pertahanan Indonesia, wujud nyata kemandirian teknologi, serta simbol keberanian bangsa untuk berdiri tegak di tengah pusaran industri global yang didominasi kekuatan besar.
Lahir dari tangan-tangan terampil anak negeri di PT Pindad, Maung merupakan produk strategis nasional yang menyatukan teknologi, semangat nasionalisme, dan arah baru pendidikan teknik Indonesia. Dari konsep awalnya sebagai kendaraan taktis militer, Maung kini berkembang menjadi ikon otomotif yang menyentuh berbagai dimensi: ekonomi, politik, pendidikan, bahkan budaya populer.
Dari Gagasan Prabowo, Lahir Arsitektur Teknologi Baru
Gagasan tentang Maung bermula dari visi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. Ia menyadari bahwa ketergantungan Indonesia terhadap kendaraan impor di sektor pertahanan dan pemerintahan harus diakhiri. Untuk itu, ia membutuhkan kendaraan taktis yang tangguh, adaptif, dan tentu saja: buatan dalam negeri. Maka, proyek Maung dimulai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tetapi kendaraan nasional bukan hanya soal desain keren dan cat loreng. Ia membutuhkan arsitek teknologi, dan di sinilah muncul sosok penting: Prof. Dr. Sigit Puji Santosa. Lulusan ITB yang kemudian meraih gelar master dan doktor di Massachusetts Institute of Technology (MIT) ini memiliki pengalaman lebih dari satu dekade di General Motors, termasuk proyek Corvette dan Cadillac.
Prabowo, melalui jejaring kementerian dan dunia akademik, berhasil menggandeng Sigit ke Pindad. Bukan sekadar penempatan, melainkan penugasan strategis. Sigit dipercaya sebagai Direktur Teknologi dan Pengembangan Pindad, dan langsung terlibat mengembangkan varian Maung untuk Presiden—yang kemudian dikenal sebagai Maung Garuda Limousine.
Teknologi dan Desain: Modular, Efisien, dan Berdaya Saing
Salah satu kekuatan utama Maung terletak pada pendekatannya yang modular. Ini berarti satu platform kendaraan bisa dimodifikasi menjadi berbagai varian: mulai dari versi militer ringan, sipil, kendaraan VVIP, hingga versi kendaraan listrik masa depan. Pendekatan ini mempercepat produksi, menurunkan biaya pengembangan, dan memungkinkan skalabilitas pasar.
Mesin Maung saat ini masih menggunakan basis Toyota 2GD-FTV 2.4L diesel, namun seluruh sistem integrasi, perakitan, dan pengembangan bodi—termasuk struktur keamanan—dikerjakan oleh tim Pindad. Tenaganya mencapai 136-149 hp, dengan torsi hingga 400 Nm dan jangkauan 800 km per tangki. Dalam versi Garuda Limousine, ditambahkan perlindungan antipeluru dan sistem keselamatan berlapis.
Sigit dan timnya juga memperkenalkan varian Maung EV: MV3 Pandu. Varian ini menggunakan motor listrik torsi tinggi dan baterai LFP (Lithium Iron Phosphate), yang tidak hanya aman tetapi juga tahan lama dan cocok untuk medan tropis Indonesia. Dengan langkah ini, Pindad menegaskan kesiapan Indonesia untuk masuk ke industri mobil listrik global.
Edukasi dan Transfer Ilmu: Dari Pabrik ke Kampus
Yang jarang disorot publik adalah peran Maung sebagai jembatan antara industri dan pendidikan. Sejak awal pengembangannya, Pindad bekerja sama dengan berbagai perguruan tinggi seperti ITB, UGM, ITS, dan Politeknik Negeri. Mahasiswa teknik terlibat dalam proyek-proyek desain komponen, simulasi struktur, hingga uji coba lapangan.
Sigit sendiri dikenal aktif mendorong program magang dan riset terapan di lingkungan Pindad. Ia ingin agar Maung menjadi “laboratorium berjalan” bagi anak-anak muda Indonesia. Dalam beberapa wawancara, ia bahkan menyebut pentingnya membangun ekosistem teknik otomotif yang tidak hanya memproduksi insinyur, tetapi juga inovator.
Model keterlibatan ini menjadi contoh ideal pendidikan vokasi berbasis industri: mahasiswa tak hanya belajar teori, tapi langsung mencicipi tantangan dunia kerja dan inovasi nyata.
Kemandirian Teknologi dan Dampaknya pada Ekonomi Lokal
Maung bukan sekadar simbol kedaulatan di atas kertas. Dalam prakteknya, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) kendaraan ini mencapai lebih dari 70 persen. Komponen bodi, panel interior, sistem kelistrikan, dan sebagian besar sasis dibuat oleh UMKM dan mitra industri lokal.
Ratusan tenaga kerja terserap dalam proses produksi, belum termasuk efek domino terhadap industri bahan baku seperti baja, karet, tekstil teknis, dan komponen elektronik. Selain menyerap tenaga kerja, Maung mendorong pertumbuhan ekosistem industri dalam negeri. Bahkan, beberapa perusahaan pemasok kini mulai mengembangkan teknologi baru demi memenuhi spesifikasi Pindad.
Dari sisi bisnis, harga satu unit Maung varian sipil berkisar Rp600 jutaan. Dengan permintaan dari TNI, Polri, kementerian, hingga potensi ekspor ke negara-negara Asia dan Afrika, Maung berpotensi menjadi produk otomotif ekspor unggulan Indonesia.
Politik, Nasionalisme, dan Diplomasi Teknologi
Keputusan Presiden RI untuk menggunakan Maung Garuda sebagai kendaraan resmi dalam pelantikan 2024 bukan hanya manuver simbolik. Ini adalah pernyataan politik yang kuat: bahwa Indonesia mampu membuat kendaraan setara dengan standar dunia untuk pemimpin tertingginya.
Penggunaan Maung di berbagai acara kenegaraan juga menjadi bentuk diplomasi teknologi. Saat varian Maung digunakan untuk mengantar Paus Fransiskus dalam kunjungan ke GBK, publik internasional mulai menoleh. Pindad tak hanya dikenal sebagai produsen senjata, tetapi juga produsen mobil dengan kapabilitas tinggi.
Dalam konteks geopolitik, Maung bisa menjadi alat diplomasi lunak Indonesia. Negara-negara berkembang yang membutuhkan kendaraan militer atau multifungsi terjangkau bisa menjadi pasar strategis. Ini membuka peluang Indonesia menjadi penyedia teknologi pertahanan bagi kawasan Global South.
Menyentuh Budaya Populer: Dari Offroad hingga Iklan
Kini, Maung mulai merambah ruang budaya. Komunitas otomotif, khususnya offroader dan pencinta kendaraan militer, mulai mengadopsi Maung sebagai kendaraan modifikasi. Beberapa iklan dan acara TV nasional juga menampilkan Maung sebagai kendaraan yang keren, gagah, dan nasionalis.
Narasi ini memperkuat brand positioning Maung sebagai “mobil nasional” yang tidak hanya kuat, tapi juga membanggakan. Pindad sendiri mulai membuka diri terhadap varian sipil yang lebih ringan dan terjangkau untuk publik luas.
Penutup: Dari Maung ke Mimpi Besar Teknologi Indonesia
Maung adalah pelajaran tentang bagaimana visi besar bisa terwujud jika didukung SDM unggul, keberanian politik, dan ekosistem industri yang saling menopang. Dari tangan Prabowo yang memiliki visi strategis, hingga eksekusi teknologi oleh Sigit dan tim, lahirlah sebuah kendaraan yang bukan hanya mengangkut manusia, tetapi juga mengangkut harapan.
Jika hari ini kita sudah bisa membuat Maung, maka bukan tidak mungkin esok kita bisa membuat seluruh rantai teknologi otomotif sendiri. Di balik kokangnya roda Maung, mengaum semangat bangsa yang ingin merdeka secara teknologi, ekonomi, dan intelektual.
Dan seperti harimau yang namanya disematkan padanya, Maung tak akan mundur. Ia siap melompat lebih jauh—menuju Indonesia yang sepenuhnya mandiri dan berdaulat.