Teknologi informasi dan komunikasi perlu dikuasai siswa di tengah pesatnya perkembangan teknologi. Karena itu, pemerintah kembali memunculkan mata pelajaran Informatika.
Penguasaan teknologi informasi dan komunikasi jadi keharusan bagi semua siswa untuk meningkatkan daya saing. Karena itu, setelah menghapus mata pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi jenjang SMP dan SMA/SMK pada Kurikulum 2013, pemerintah memunculkan kembali pelajaran ini jadi mata pelajaran Informatika, tetapi bersifat pilihan.
Sekretaris Jenderal Ikatan Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi Persatuan Guru Republik Indonesia Wijaya Kusumah, di Jakarta, Senin (6/8/2018), menyambut baik putusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengembalikan mata pelajaran TIK yang diadakan sejak Kurikulum 2006 jadi mata pelajaran Informatika.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Penguasaan TIK jadi keharusan bagi semua siswa. Jika tidak dipelajari sebagai ilmu, sulit bagi siswa mendapat kompetensi penting ini. ”Saat mata pelajaran TIK sekadar jadi bimbingan TIK, siswa Indonesia kehilangan kesempatan menguasai perkembangan TIK,” kata Wijaya.
Para guru TIK yang berjumlah sekitar 44.000 orang tak jelas nasibnya dengan pemberlakuan bimbingan TIK di Kurikulum 2013. Banyak guru diberhentikan karena tak ada jam mengajar dan dialihkan jadi guru prakarya.
KOMPAS/ESTER LINCE NAPITUPULU–Sejumlah siswa di Jakarta mencoba pembelajaran digital di Smart Learning Center Persatuan Guru Republik Indonesia, beberapa waktu lalu. Penguatan kompetensi TIK siswa Indonesia diberikan lewat mata pelajaran informatika, yang sifatnya masih pilihan.
”Kami berjuang agar mata pelajaran Informatika yang ditetapkan sebagai pilihan bisa jadi wajib. Anak-anak Indonesia harus punya kesempatan sama untuk mengikuti perkembangan TIK yang pesat melalui pembelajaran di kelas,” kata Wijaya, guru TIK di SMP Labschool Jakarta.
Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemdikbud Awaluddin Tjalla mengatakan, mata pelajaran Informatika bisa diajarkan di jenjang SD, SMP, dan SMA sederajat. Sifatnya pilihan bagi sekolah yang siap. ”Bisa mulai di semester genap nanti, terutama kelas awal, di kelas VII SMP dan X SMA,” katanya.
Saat ini pemerintah menyiapkan regulasi dan perangkat implementasinya. ”Perlu persiapan matang dan hati-hati dengan pertimbangan kondisi satuan pendidikan (guru dan sarana prasarana),” kata Awaluddin.
P
elajaran unggulan
Pengamat Pendidikan Indra Charismiadji mengatakan saat ini di dunia berkembang Computer Science / Computer Programming / Coding, tergantung dari negara yang memberi istilah, sebagai mata pelajaran baru. Semakin banyak negara yang memasukkan mata pelajaran baru ini kedalam kurikulum nasionalnya sebagai mata pelajaran unggulan dalam mempersiapkan siswa menghadapi revolusi industri 4.0.
Menurut Indra, sejarah munculnya mata pelajaran ini di dunia pendidikan internasional diawali dari kebutuhan akan HOTS (Higher Order Thinking Skills) atau penalaran tingkat tinggi yang jadi tren sejak akhir tahun 90an. Apalagi tahun 2002 lahirlah konsep Kecakapan Abad ke-21 sebagai kecakapan wajib dimiliki bagi mereka yang ingin berkarir baik di abad 21. Kecakapan abad 21 ini juga dikenal dengan istilah 4C yakni Critical Thinking and Doing (Berpikir dan Bertindak Kritis), Creativity (Kreatif), Communication (Komunikasi), dan Collaboration (Kolaborasi).
Meski bahan ajar lebih banyak berkutat dalam pemrograman komputer, tujuan utama mata pelajaran ini bukan menjadikan siswa jadi programmer. Namun terbuka peluang mereka yang memiliki minat dan bakat bidang pemrograman. Tujuan utama mata pelajaran ini adalah HOTS di tingkat menciptakan, Kecakapan Abad ke-21, dan Kemampuan memecahkan masalah yang sekarang disebut berpikir komputasi.
Tiap negara, lanjut Indra, memiliki cara sendiri dalam mengimplementasikan mata pelajaran ini. Secara nasional, Inggris adalah negara pertama di tahun 2014 memasukkan mata pelajaran baru ini ke dalam kurikulum nasionalnya dengan nama Computer Programming, menggantikan mata pelajaranTIK yang dianggap usang dan tidak sesuai lagi dengan zamannya. Sementara Australia memakai istilah coding, dan menggantikan mata pelajaran sejarah dan geografi.
Di Amerika Serikat menggunakan istilah Computer Science melalui program Computer Science for All di tahun 2016. Negara-negara Uni Eropa menggunakan istilah coding dan menggunakan jam matematika serta sains dalam implementasinya.
Adapun Finlandia mewajibkan coding diambil para siswa. Namun, Finlandia menggunakan konsep 100 petsen e-Learning, di mana siswa belajar mandiri menggunakan materi online dan dilakukan di luar jam sekolah.
Anak muda berpendidikan
Guru Besar Emeritus Sosiologi Pedesaan dari Erasmus University Rotterdam, dalam konferensi internasional yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, di Sleman, kemarin, menyatakan, teori sumber daya manusia tak berlaku lagi. Teori itu menyebut seseorang berpendidikan baik mendapat jaminan atas pekerjaan.
Kini terjadi surplus anak muda berpendidikan. Sementara teknologi berkembang cepat sehingga ada pergeseran kebutuhan oleh tenaga kerja. ”Hilangnya jumlah pekerjaan terjadi amat cepat. Ini jadi gejala permanen. Tidak hanya di negara berkembang, tetapi juga negara maju,” kata White.
Menurut Badan Pusat Statistik, hingga Februari 2018, penyerapan tenaga kerja masih didominasi penduduk berpendidikan rendah, dari SMP ke bawah, dengan jumlah 75,99 juta orang. Pendudukan berpendidikan tinggi menjadi yang terendah, yaitu hanya 15,21 juta orang. Rinciannya, sebanyak 3,50 juta orang berpendidikan Diploma, sedangkan 11,71 juta orang berpendidikan universitas.
Sekretaris PSKK UGM Pande Made Kutanegara menyatakan, perubahan yang begitu cepat itu memberikan dampak yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat. Kajian-kajian dari universitas mengenai teori pembangunan itu harus dilihat kembali. “Harus dicari teori-teori pembangunan yang baru dan menjawab soal nyata di masyarakat. Bisa membaca dan menganalisis lebih jauh kondisi ini,” ujarnya.
Made menambahkan, pemerintah harus berpikir keras merespons perubahan yang amat cepat, termasuk bidang teknologi. Tidak hanya terkait konteks kebijakan tetapi juga dalam melihat masalah sosial, ekonomi, dan budaya. Anak muda pun hendaknya dilibatkan mengingat mereka merupakan subyek dari pembangunant tersebut.
“Hal yang sangat praktis dalam konteks kebijakan. Seharusnya, itu memungkinkan untuk memberikan ruang yang besar kepada generasi muda. Pemerintah harus menyusun kebijakan yang benar-benar memprediksikan perkembangan situasi sosial-ekonomi ke depan,” kata Made.
Sementara Direktur Perencanaan Kependudukan dan Perlindungan Sosial, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Maliki tak memungkiri, kekhawatiran yang mucul di tengah masyarakat adalah hilangnya pekerjaan akibat cepatnya perkembangan teknologi.
“Hal yang harus dipikirkan adalah cara mengantisipasinya. Caranya adalah meningkatkan adaptasi para tenaga kerja sehingga bisa menjawab tantangan itu. Khususnya dengan memperbanyak penguasaan teknologi. Mulai dari komputer, gadget, dan sebagainya,” kata Maliki.
Pemerintah memproyeksikan agar masyarakat, khususnya angkatan kerja menguasai penggunaan teknologi dan informasi, pada 2045. Hal itu dianggapnya sebagai sebuah lompatan yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
“Cikal bakalnya sudah dimulai, termasuk ada pembangunan atau reformasi masif lembaga pelatihan yang ada saat ini. Selain itu, Kemristekdikti juga melakukan hal progresif dengan selalu menghubungkan penelitian dan industri,” ucapnya.–ESTER LINCE NAPITUPULU/NINO CITRA ANUGRAHANTO
Sumber: Kompas, 7 Agustus 2018