Bermula dari ketertarikan tentang pemanfaatan media sosial sebagai salah satu media dakwah Islam di Indonesia pada tahun 2000, ia kemudian banyak melakukan pengamatan dan penelitian tentang jaringan Hadramaut di Indonesia. Dia adalah Dr Martin Slama (41), antropolog sosial lulusan Universitas Vienna, Austria, yang fasih berbahasa Indonesia.
Martin menyebutkan bahwa sebagian besar orang keturunan Arab di Indonesia berasal dari Hadramaut (Yaman). Ia menyebutkan bahwa di zaman kolonial, selain Pulau Jawa, Indonesia Timur juga menjadi tujuan bermigrasi orang Hadramaut. Sekarang, sudah tidak ada lagi orang Hadramaut asli di Indonesia. Itu sebabnya, Martin menyebutnya sebagai orang-orang keturunan Hadramaut karena alami yang terjadi: pernikahan antara orang Hadramaut dan masyarakat setempat.
Orang-orang Hadramaut ini menyebar melalui tiga cara, yaitu jaringan vertikal dengan masyarakat setempat, jaringan lateral yang dilakukan dengan sesama orang Hadramaut yang tinggal di daerah asalnya, dan transnasional dengan orang Hadramaut yang tinggal di wilayah-wilayah lain.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pada akhir abad ke-19, ketika Terusan Suez dibuka, arus migrasi dari Hadramaut meningkat. Apalagi, saat itu teknologi perkapalan makin maju dengan ditemukannya kapal uap. Kemudian orang Hadramaut dan keturunannya membentuk jaringan berdasarkan kekerabatan, perdagangan, dan agama. Mereka sedikit banyak mewarnai masyarakat Indonesia.
Media sosial
Di Indonesia, masyarakatnya religius, tapi cukup terbuka dengan perkembangan internet dan media sosial.
”Orang Indonesia, dan sejumlah komunitas, banyak yang memanfaatkan Facebook untuk menyampaikan pesan agama. Mereka bahkan memanfaatkan smartphone-nya untuk menyimpan foto kakek-kakek mereka,” ujarnya dalam diskusi di Centre for Dialogue and Cooperation among Civilization Jakarta, Kamis (8/1).
Bahkan, tidak sedikit yang menampilkan foto mereka saat berada di pemakaman leluhurnya. ”Ini bisa menjadi gambaran mereka tetap menghormati leluhur mereka,” ujarnya.
Perkembangan media sosial tampaknya punya pengaruh pada kehidupan keagamaan Islam di Indonesia. Perkembangan itu sulit untuk bisa dibilang buruk ketika tidak sedikit komunitas keagamaan ataupun kalangan ulama yang memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan pesan-pesan keilahian.
Martin Slama ketika berbicara dalam diskusi itu banyak memaparkan tentang pemanfaatan media sosial untuk kegiatan dakwah. Bahkan, menurut dia, banyak ajakan untuk berbuat kebaikan yang disampaikan melalui media sosial.
Seperti yang dilakukan komunitas One Day One Juz (ODOJ) yang mengajak masyarakat membaca Al Quran sehari satu juz.
Model komunikasi seperti ini bisa menjadi identitas baru dalam cara menyampaikan pesan keagamaan, kabar gembira, dan ajakan untuk melakukan perubahan serta perbuatan baik.
”Tidak sedikit majelis taklim yang memanfaatkan media sosial untuk mengajak anggotanya mengenal lebih jauh tentang ajaran Islam. Selain itu, ada juga semacam konsultasi atau tanya jawab tentang berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat. Memang kebanyakan ibu-ibu yang menanyakan tentang berbagai masalah keluarga yang sedang dihadapinya,” ujar Martin yang disertasinya berjudul ”Internet Chatting in Indonesia: A Social/Anthropology Study of Young Internet Users in Multiple Modernity”.
Lantas bagaimana dengan konstruksi otoritas keagamaan yang sudah ada ketika media sosial menjadi rujukan banyak umat untuk bertanya, dan ingin mendapatkan jawaban yang lebih cepat. Martin memperkirakan, ustaz yang ingin mendapatkan pengikut setia harus mau lebih bersusah payah menjawab secara pribadi melalui media sosial.
”Sang ustaz harus mau berdialog dengan menjawab pertanyaan, dan membuat ajakan dengan bahasa yang santun dan gampang dimengerti,” ujar Martin yang menikahi seorang perempuan Indonesia asal Yogyakarta.
Lantas dalam bentuk apa ajaran Islam disampaikan di ruang sosial baru tersebut, dan siapa yang paling siap menghuni ruang tersebut. Apakah kita bisa bicara mengenai dakwah dan pendakwah baru yang barangkali mengubah peta Islam Indonesia. Apakah bentuk keagamaan baru ini akan menggeser peran otoritas keagamaan? Ini menjadi sederet pertanyaan yang memang masih membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Martin mengungkapkan, apa yang dilakukan komunitas ODOJ amat menarik untuk diikuti mengingat orang- orang yang terlibat di dalamnya menyambut antusias.
”Bagi saya, yang menarik, bagaimana orang mau turut serta bergabung secara sukarela dan mau diingatkan tentang bacaan Al Quran yang sedang mereka lakukan,” ujar Martin yang dikaruniai seorang anak ini.
Martin mengungkapkan, dalam media sosial di Indonesia banyak memuat hal yang bersifat pribadi. Pria yang gemar berbatik ini mendapat kesan bahwa masyarakat Indonesia lebih senang memperlihatkan hal-hal yang bersifat pribadi di media sosial.
Ia mencontohkan, foto-foto keluarga, kakek-kakek yang dihormati di keluarga, ataupun tokoh-tokoh agama di sebuah daerah banyak diunggah di media sosial. Bahkan, kegiatan keagamaan yang personal pun juga banyak dimuat di media sosial.
”Ada yang beralasan bahwa mereka sengaja mengunggah foto kakek buyut mereka agar bisa selalu melihat di smartphone mereka. Selama ini, mereka memasang foto yang sudah dibingkai di ruang tamu rumah mereka,” ujar antropolog yang amat menyukai gudegini.
—————————————————————————
Dr Martin Slama
? Lahir: Vienna, Austria, 19 Oktober 1973
? Menikah dan punya satu anak
? Pendidikan/kegiatan:
– PhD, Departemen Sosial dan Antropologi Budaya, Universitas Vienna (2006)
– Visiting Fellow, Departemen Antropologi, Universitas Nasional Australia (ANU) (2011-2012)
– Anggota Dewan Editor, Jurnal Antropologi Indonesia, Departemen Antropologi, Universitas Indonesia (2010-2013)
– Peneliti, Unit Penelitian Antropologi Sosial, Akademi Sains Austria (2007-2009)
– Peneliti tamu, Pusat Studi Agama dan Budaya, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (2007-2008)
– Peneliti tamu, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2004-2005)
– Meneliti tentang Hadramaut di tingkat elite nasional dan lokal (2010-2012)
– Meneliti tentang jaringan Hadramaut Indonesia Timur (2007-2009)
– Meneliti tentang Komunitas Hadramaut di Indonesia (2003-2006)
– Meneliti tentang Generasi Muda Pengguna Internet Indonesia (2000-2001)
Oleh: Imam Prihadiyoko
Sumber: Kompas, 29 Januari 2015