Dalam artikelnya, “Mengkhawatirkan Masa Depan“ (Kompas, 9.3.2014), M. Abduhzen mengatakan bahwa “Ketika belajar sains … murid dituntun berpikir (dengan) pola induktif, sementara saat (sic) mendalami matematika … dibawa ke alam berpikir deduktif. ” Kalau benar seperti itu yang terjadi dalam PBM (proses belajar-mengajar) di sekolah-sekolah [dan di PT (Perguruan Tinggi)], perlu dilakukan perbaikan, misalnya melalui penataran guru dan penulisan buku-teks.
Di sisi logika, dalam PBM sains induksi memang perlu, tetapi demikian pula deduksi. Bahkan analogi juga! Induksi bertolak dari kasus-kasus khusus yang jumlahnya memadai, menuju ke simpulan yang umum. Sebaliknya, deduksi berangkat dari teori atau asas yang umum menukik ke konklusi yang berlaku secara khusus di tempat, waktu, dan situasi tertentu.
Analogi didasarkan pada pembandingan antara dua gejala, peristiwa, atau peri-keadaan yang berbeda, tetapi mirip. Satu dari kedua peristiwa itu sudah kita akrabi, sedang yang satu lagi masih asing bagi kita. Lalu kita cari kebersesuaian satu lawan satu (one-to-one correspondence) antara sifat-sifat di peristiwa yang satu dan di peristiwa yang satunya lagi. Relasi antar sifat-sifat di peristiwa yang kedua kita anggap sama dengan relasi antar sifat-sifat yang bersesuaian yang ada di peristiwa pertama. Dengan begitu kita mengetahui peristiwa yang kedua.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga Macam
Ada analogi antisipatif, analogi retrosipatif, dan analogi sesegi-ragam. Dalam analogi antisipatif kita menarik simpulan tentang peristiwa di segi ragam (modal aspect) yang lebih kompleks berdasarkan analoginya dengan peristiwa yang sudah kita ketahui, di segi ragam di bawahnya. Sebaliknya, dalam analogi retrosipatif kita menoleh ke belakang, ke segi ragam yang lebih sederhana, untuk mengetahui peristiwa yang sedang kita telaah. Analogi sesegi-ragam membandingkan dua peristiwa yang serupa yang sama-sama berada di segi ragam tertentu.
Misalnya untuk memahami arus elektrik kita dapat menarik analoginya dengan arus air. Ini analogi sesegi-ragam, sebab kedua peristiwa itu (arus elektrik dan arus air) berada di segi-ragam yang sama, yakni segi ragam fisis. Muatan elektrik kita padankan dengan air, arus elektrik dengan debit air, dan tegangan (voltage) dengan tekanan air. Kita akrab dengan aliran air, yang dapat kita lihat dan dapat kita rasakan seberapa deras arusnya. Berbeda dengan aliran muatan elektrik. Aliran ini tidak dapat kita lihat, dan kalau untuk merasakannya aliran itu kita sentuh, kita akan tersengat, dan sengatan (setruman) itu bisa fatal.
Retrosipasi dan Antisipasi
Teori Relativitas Umum berada di segi ragam fisis. Ketika Einstein membangunnya, ia melakukan retrosipasi ke segi ragam keruangan (spatial) yang dua tingkat di bawahnya, dengan menggarapnya sebagai persoalan geometri Riemann. Ia diilhami oleh Hermann Minkowski, dosennya di ETH (Sekolah Tinggi Teknik Swiss), Zuerich, yang mendeskripsikan Teori Relativitas Khusus Einstein dengan geometri Euklidesan (Euclidean geometry), yakni ruang-waktu caturnatra (four-dimensional space-time) yang disebut dunia Minkowski (Minkowski world).
Kita tahu bahwa sistem mekanis akan berada dalam keseimbangan yang mantap (in stable equilibrium) kalau titik beratnya di bawah, tetapi keseimbangannya akan goyah atau labil (unstable) jika titik beratnya di atas, seperti telur di ujung tanduk. Dengan pengetahuan ini kita dapat memperkirakan apa yang akan terjadi jika perhatian pemerintah (penguasa) dicurahkan pada mayoritas rakyat di lapisan bawah masyarakat, dan apa pula yang akan terjadi jika pemerintah hanya memperhatikan kepentingan minoritas elite di lapisan atas masyarakat. Itulah antisipasi, atau analogi antisipatif, sebab sistem mekanis itu berada dalam segi ragam fisis, sedangkan sistem pemerintahan berada dalam segi ragam yang tiga tingkat lebih tinggi/kompleks.
Deduksi dalam Sains
Karl R. Popper adalah filsuf ilmu (philosopher of science) yang lebih berbasis sains daripada matematika. Albert Einstein jelaslah seorang fisikawan, jadi penelitiannya di bidang sains. Ia bahkan tidak suka matematika, meskipun terpaksa memakainya dan mempelajarinya dari Marcel Grossmann dan David Hilbert. Grossmann ialah teman sekelas Einstein, yang jago matematika, sedang Hilbert adalah ahli matematika yang, seperti Einstein, juga meneliti gravitasi.
Tetapi keduanya (Popper dan Einstein) menyepelekan induksi. Popper menyatakan bahwa teori dalam sains dibangun melalui “proses psikologis” yang berintikan serangkaian konjektur (conjectures) dan refutasinya. Sejalan dengan Popper, Einstein menafikan adanya lintasan logis (logical path) yang menuju ke asas semesta. Prinsip universal itu (yang menurut mereka yang “pro” induksi dicapai melalui logika induktif) kata Einstein hanya dapat dicapai dengan mencurahkan kecintaan yang sangat mendalam kepada objek penelitian. Itulah yang disebutnya “Einfuehlung“, semacam empati atau tepa-salira yang dapat menghasilkan bersitan intuisi.
Dalam PBM sains, deduksi dapat diajarkan misalnya untuk membuktikan kemuhalan (kemustahilan) swacala abadi (perpetuum mobile atau perpetual motion), baik yang jenis pertama (yang berkaitan dengan hukum termodinamika I), maupun yang jenis kedua (yang terkait dengan hukum termodinamika II). Dengan bertolak dari argumen lawan (counter argument), dilakukan deduksi yang berujung pada konklusi yang absurd; dengan kata lain, yang muhal (mustahil). Itulah yang di dalam logika dinamakan “reductio ad absurdum“ atau “reductio ad impossibile“.
Deduksi juga dapat dipakai untuk menunjukkan muhalnya efek fotoelektrik jika elektron yang sedianya akan diemisikan dari permukaan logam yang disinari ialah elektron bebas. Dengan logika deduktif dapat dibuktikan bahwa hanya asas kekekalan tenaga (prinsip konservasi energi), atau asas kekekalan pusa (prinsip konservasi momentum) saja, yang dipenuhi, dan tidak kedua-duanya. Konklusi deduktifnya ialah bahwa efek fotoelektrik itu mustahil terjadi.
Anamnesis Dokter
Abduhzen juga mengatakan bahwa “murid (seharusnya) diceburkan ke dalam aliran ide-ide Sokrates … (sehingga) peran guru seperti bidan yang menolong proses persalinan” Pada hemat saya, “metode penemuan” (the discovery method), yang juga disebut “metode bertanya” (the inquiry method) lebih serupa dengan anamnesis yang dilakukan dokter terhadap pasiennya di kamar periksa. Dengan serangkai pertanyaan yang disebut pertanyaan-pertanyaan Sokrates (Socratic questions) murid digiring untuk menemukan sendiri apa yang dicarinya. Cara itu dipakai Sokrates pada seorang bocah, anak keluarga budak, sehingga bocah yang tidak bersekolah itu mampu membuktikan sendiri dalil Pythagoras. Pembuktian dalil Pythagoras oleh bocah anak budak itu, yang diperagakan Sokrates di depan Meno dan dilaporkan dalam publikasi Plato, hanya berlaku untuk segitiga siku-siku samakaki, dan tidak untuk sebarang segitiga siku-siku.
Prof. Liek Wilardjo; Fisikawan, Guru Besar Fakultas Teknik Elektronika dan Komputer (FTEK) UKSW Salatiga.
Sumber: Kompas Siang, 21 Mei 2014