Lembaga data kualitas udara IQAir, dalam data harian sepanjang 16 Maret sampai 14 April 2020, mencatat rata-rata kualitas udara berbanding terbalik dengan kejernihan pemandangan yang disaksikan oleh warga Jakarta.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO–Kawasan Stadion Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Kamis (2/4/2020). Imbauan pemerintah untuk bekerja di rumah, belajar di rumah, beribadah di rumah, dan pembatasan sosial sebagai upaya pencegahan meluasnya penularan Covid-19 membuat lalu lintas kendaraan dan aktivitas lain yang mengeluarkan polutan menurun drastis. Perlambatan aktivitas ini berdampak pada penurunan polusi udara.
Hasil kajian terbaru Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) mengungkap imbas yang ternyata sangat bervariasi pada kualitas udara negara-negara Asia Tenggara selama periode karantina ataupun pembatasan sosial berskala besar atau PSBB akibat pandemi Covid-19. Di Jakarta yang menjalankan PSBB, polusi nitrogen dioksida turun, tetapi polutan PM2,5 tetap relatif tinggi dibandingkan dengan standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Kuala Lumpur (Malaysia), Manila (Filipina), dan Bangkok (Thailand), kadar gas nitrogen dioksida (NO2) pun berkurang. Ini diduga akibat sumber utama senyawa polutan ini yang berasal dari kegaitan transportasi dan manufaktur mengalami penurunan. Level NO2 di Kuala Lumpur didapati menurun sekitar 60 persen dibandingkan dengan tahun 2019.
Jakarta, yang menurut catatan CREA memiliki tingkat polusi udara paling berbahaya di kawasan Asia Tenggara, tercatat mengalami penurunan NO2 sekitar 40 persen dibandingkan dengan tahun lalu. Namun sayangnya, sebaran PM 2,5 tetap konsisten dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kondisi ini mengonfirmasi penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa kualitas udara ambien Jakarta sangat dipengaruhi oleh polutan yang berasal dari wilayah tetangga, terutama pembangkit listrik dengan batubara. Daerah yang mirip dengan Jakarta adalah Hanoi dan Ho Chi Minh di Vietnam yang penurunan konsentrasi NO2 tidak dibarengi dengan pengurangan polutan konsentrasi partikulat (PM2,5) yang juga dipastikan berasal dari pembakaran batubara dan industri di sekitar kota.
”Penelitian kami menunjukkan bahwa polusi udara perkotaan merupakan akumulasi dari berbagai sumber. Mulai dari kendaraan dan lalu lintas, kegiatan industri, hingga pembangkit listrik tenaga batubara yang sangat berpolusi. Sederhananya, mengendalikan tingkat polusi dari semua sumber ini sama dengan lebih sedikit polusi yang dihirup. Pada akhirnya, lebih sedikit polusi berarti paru-paru lebih sehat dan lebih sedikit tekanan pada layanan kesehatan di masa kritis ini,” tutur Isabella Suarez, analis CREA, dalam siaran pers, Jumat (8/5/2020).
Hasil riset ini hampir sama dengan analisis Greenpeace Indonesia yang secara organisasi tak terlibat dalam riset CREA. Juru bicara iklim dan energi Greenpeace Indonesia, Bondan Andriyanu, menuturkan, sejak dua tahun lalu, pihaknya menunjukkan Jakarta dikelilingi oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Pembakaran batubara pada PLTU menyebabkan emisi polusi udara, termasuk PM2,5.
Saat pandemi dan PSSB, di kala terjadi penurunan aktivitas transportasi dan industri, ternyata masih ditemukan kadar PM2,5 yang tinggi. Kadar PM2,5 menurut standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah sebesar 25 mikrogram per meter kubik. Indonesia memiliki standar nasional yang lebih longgar, yaitu 65 mikorgram per meter kubik.
Ia pun mengkritisi faktor PM2,5 yang belum dimasukkan sebagai standar pengukuran indeks standar pencemar udara (ISPU) meski pemerintah menyatakan memiliki alat tersebut. Karena itu, ia menggunakan data pengukuran udara yang dilakukan Kedutaan Besar Amerika Selatan di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan.
Hasilnya, menurut dia, data hingga 26 April 2020 menunjukkan hari dengan kualitas udara tidak sehat di Jakarta Selatan pada 2020 sebesar 16 hari lebih tinggi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya saat tidak ada PSBB. Namun, apabila standar tersebut menggunakan ukuran standar Indonesia yang telah usang (ditetapkan sejak tahun 1997), maka kualitas udara harian Jakarta ”baik-baik” saja.
PRESENTASI GREENPEACE INDONESIA—PM2,5 di Jakarta Pusat yang didapat dari alat pemantau udara di Kedutaan Besar AS pada periode 1 Januari – 22 April 2020. Ini disajikan Bondan Andriyanu, juru bicara kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia dalam diskusi virtual 30 April 2020.
Langit biru dan cerah
Lembaga data kualitas udara IQAir, dalam data harian sepanjang 16 Maret sampai 14 April 2020, mencatat rata-rata kualitas udara berbanding terbalik dengan kejernihan pemandangan yang disaksikan oleh warga Jakarta pada foto-foto yang sempat viral. Foto Jakarta dengan latar belakang Gunung Gede Pangrango yang terletak sejauh 100 kilometer menunjukkan langit biru dan cerah.
Namun, data yang terekam dalam IQAir merinci hari-hari tersebut tidak menandakan Jakarta bebas dari polusi. Indeks kualitas udara rata-rata Jakarta dalam kurun waktu 30 hari tersebut secara rinci mencatat 15 hari dengan status sedang, yaitu aman untuk orang dewasa yang sehat, tetapi kurang aman bagi anak-anak dan ibu hamil; 13 hari dengan status tidak sehat untuk kelompok sensitif, yaitu anak-anak, ibu hamil, lansia, dan juga orang-orang dengan masalah sistem pernapasan atau kardiovaskular; 1 hari dengan indeks kualitas udara tidak sehat, yakni pada 28 Maret 2020, dan mengharuskan orang dewasa mengenakan masker saat beraktivitas di luar rumah; dan 1 hari dengan kualitas udara sehat, yakni pada 7 April 2020.
PRESENTASI GREENPEACE INDONESIA–Perbandingan jumlah hari dan kualitas udara di Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan pada periode 1 Januari-26 April di tahun 2016-2020. Ini disajikan Bondan Andriyanu, juru bicara kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia, dalam diskusi virtual 30 April 2020.
Oleh ICHWAN SUSANTO
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 9 Mei 2020