Kubah lava baru di puncak Gunung Merapi terus bertumbuh. Hingga Rabu (22/8/2018), pertumbuhan kubah lava gunung di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah itu 4.600 meter kubik per hari, tiga kali lipat lebih dibandingkan hari sebelumnya.
Data Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), volume kubah lava baru di Gunung Merapi pada Rabu (22/8) mencapai 18.000 meter kubik. Volume itu meningkat dibandingkan Selasa lalu yang baru mencapai 14.000 meter kubik.
Selain volume, laju pertumbuhan kubah lava di Merapi juga meningkat. Data BPPTKG, pertumbuhan kubah lava Merapi pada Sabtu (18/8) sekitar 1.000 meter kubik per hari, lalu meningkat menjadi 1.500 meter kubik per hari pada Selasa lalu, dan kembali menjadi 4.600 meter kubik per hari pada Rabu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
KOMPAS/HARIS FIRDAUS–Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Hanik Humaida menunjukkan foto kubah lava baru yang terbentuk di puncak Gunung Merapi, Sabtu (18/8/2018) sore di kantor BPPTKG, Yogyakarta. Berdasarkan pemantauan BPPTKG, telah terbentuk kubah lava baru di puncak Merapi dengan panjang 55 meter, lebar 25 meter, dan tinggi 5 meter.
Kepala BPPTKG Hanik Humaida menjelaskan, peningkatan laju pertumbuhan kubah lava itu menunjukkan ada suplai magma dari dalam tubuh Merapi dengan volume lebih besar. Suplai magma itu naik ke permukaan sehingga menambah volume kubah. ”Berarti suplai dari dalam lebih besar,” kata Hanik, kemarin, di Yogyakarta.
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO–Warga mengambil air di Dusun Setabelan, Desa Tlogolele, Selo, Boyolali, yang berjarak sekitar 3,5 Kilometer dari puncak Gunung Merapi, Rabu (22/8/2018). Kubah lava Merapi saat ini telah mencapai sedikitnya 14.000 meter kubik dengan pertumbuhan per hari sekitar 1.500 meter kubik. Status gunung tersebut masih Waspada (level II) dengan zona bahaya sejauh tiga kilometer dari puncak Merapi.
Diberitakan sebelumnya, kubah lava baru terbentuk di puncak Gunung Merapi sejak Sabtu (11/8). Kemunculannya menandakan magma dari tubuh Merapi telah sampai permukaan sehingga fase erupsi magmatik gunung api itu telah dimulai. Namun, erupsi magmatik itu cenderung bersifat efusif atau tanpa disertai ledakan, beda dengan erupsi Merapi 2010 yang bersifat eksplosif (Kompas, 19/8/2018).
Meski tren meningkat, kata Hanik, laju pertumbuhan kubah lava baru itu masih lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan kubah lava pada erupsi sebelumnya. Data BPPTKG pada erupsi 1992-2006, rata-rata pertumbuhan kubah lava Merapi mencapai 20.000 meter kubik per hari.
Volume kubah lava Merapi saat ini juga masih lebih kecil dibandingkan volume kubah lava erupsi 2006. Sesuai tulisan ”Overview of the 2006 Eruption of Mt Merapi” karya Antonius Ratdomopurbo dan sejumlah peneliti lain di Journal of Volcanology and Geothermal Research edisi Juli 2013, volume maksimal kubah lava Merapi tahun 2006 adalah 4,1 juta meter kubik.
Masih stabil
Hanik menambahkan, kondisi kubah lava di Merapi saat ini masih stabil karena lokasinya di tengah kawah di puncak Merapi. Selain itu, volume kubah lava baru itu juga jauh lebih kecil dibandingkan kapasitas kawah puncak Merapi yang saat ini mencapai 10 juta meter kubik.
ARSIP BPPTKG, YOGYAKARTA–Data pertumbuhan kubah lava di puncak Merapi.
Atas kondisi itu, BPPTKG menilai belum ada potensi keruntuhan kubah lava yang bisa menyebabkan awan panas. BPPTKG belum menaikkan status Merapi. Sejak 21 Mei 2018, status Merapi masih Waspada (Level II). Zona bahaya 3 kilometer dari puncak.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY Biwara Yuswantana mengatakan, berdasar informasi dari BPPTKG, pertumbuhan kubah lava baru di Merapi belum mengancam keselamatan warga. Meski begitu, masyarakat diminta tetap waspada dan selalu mengikuti perkembangan.
Meski dinilai belum mengancam, warga lereng Merapi bagian Jateng mulai cemas. Informasi mereka dapat dari media sosial.
Yusuf Herlambang, Kepala Desa Kemiren, Srumbung, Kabupaten Magelang, mengatakan, pertumbuhan kubah lava sejak minggu lalu menggugah kesadaran warga. Sebelumnya mereka santai karena mengira kondisi Gunung Merapi normal lagi. Namun, seminggu ini warga Desa Kemiren mulai khawatir erupsi.
”Ronda setiap malam kini sekaligus mengamati Gunung Merapi dari kejauhan,” ujarnya.
KOMPAS/ARBAIN RAMBEY–Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, dalam beberapa hari terakhir menyemburkan material vulkanik berupa pasir dan bebatuan pijar rata-rata setiap 15 menit. Foto diambil Rabu (22/8) dinihari dari Pulau Rakata.
Anak Krakatau
Dari Bandar Lampung, Kamis kemarin, aktivitas Gunung Anak Krakatau (GAK) dilaporkan masih fluktuatif. Letusan dan gempa masih terjadi dengan durasi berbeda setiap hari. Risiko bahaya tetap perlu diantisipasi.
Data Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian ESDM, Kamis pukul 12.00-18.00, terjadi 20 kali letusan. Tiga kali embusan berdurasi 36-41 detik. Adapun gempa vulkanik dangkal enam kali selama 5-10 detik.
Meski begitu, status GAK masih Waspada dengan radius bahaya dua kilometer dari puncak.
Terkait aktivitas GAK, Camat Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Sabtudin mengatakan, sejak Juni lalu warga tak terganggu, termasuk di Desa Tejang, Pulau Sebesi. Pulau berpenghuni 3.000 jiwa itu terdekat dengan GAK.
Sementara itu, sekitar 200 peserta Festival Krakatau 2018 dijadwalkan akan melakukan kunjungan ke kawasan GAK, Sabtu (25/8/2018). Kegiatan edukasi dan penelitian itu menjadi salah satu agenda dalam Festival Krakatau. Peserta tur tidak akan melakukan pendakian, tapi hanya turun ke daratan Pulau Krakatau dan beraktivitas di pinggir pantai.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Lampung Budiharto, dalam acara pembukaan Festival Krakatau, beberapa waktu lalu, mengatakan, kegiatan tur ke GAK akan dilakukan dengan mempertimbangkan aktivitas gunung api tersebut. Jika kondisi GAK dinilai berbahaya, panitia tidak akan memaksakan melakukan kunjungan karena dapat mengancam keselamatan peserta.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO–Sejumlah pengunjung memadati Pantai Mutun, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Minggu (23/8/2015). Pesta pantai di Pantai Mutun menjadi penanda dimulainya rangkaian Festival Krakatau yang menjadi festival pariwisata tahunan Provinsi Lampung.
Kunjungan ke GAK itu menjadi bagian dari kegiatan observasi dan penelitian yang akan dibahas dalam seminar mengenai GAK. Pemprov Lampung akan mengundang para ahli vulkanologi dan geologi untuk memaparkan GAK. Festival Krakatau juga diisi sejumlah kegiatan, antara lain pergelaran seni budaya, parade lagu dan tari kreasi, pameran busana, dan festival kuliner.
Dentuman lebih lama
Dari Serang, Banten, dilaporkan, aktivitas Gunung Anak Krakatau masih tinggi dengan durasi dentuman lebih lama. Dentuman akibat letusan itu terdengar hingga Kabupaten Serang. Selain letusan, terjadi tremor, hembusan asap, dan gempa vulkanik.
Petugas Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau Windi Cahya Untung di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Kamis (23/8/2018), mengatakan, tingginya aktivitas Anak Krakatau ditunjukkan dengan letusan gunung tersebut. Pada Rabu terjadi 128 kali letusan Anak Krakatau.
Jumlah itu menurun dibandingkan Sabtu (18/8/2018) atau 578 letusan dan Minggu (19/8/2018) atau 248 letusan. Meski demikian, aktivitas gunung itu masih termasuk tinggi. “Jumlah letusan memang turun tapi getaran akibat letusan lebih lama dan kuat. Dentuman kian terasa,” ujar Windi.
KOMPAS/DWI BAYU RADIUS–Petugas Pos Pengamatan Gunung Anak Krakatau memberi tanda pada seismogram di Desa Pasauran, Kecamatan Cinangka, Kabupaten Serang, Banten, Senin (20/8/2018). Aktivitas Anak Krakatau meningkat berdasarkan jumlah letusannya.
Sejak awal pekan ini, durasi setiap dentuman sekitar 10-15 detik. Durasi itu jauh lebih lama dibandingkan sebelumnya atau hanya 2-4 detik. Selain itu, aktivitas Anak Krakatau yang tinggi diketahui dengan tremor, hembusan asap, dan gempa vulkanik.
“Dentuman lebih jelas terdengar pada malam hari, biasanya sesudah maghrib. Ketika siang hari, kendaraan bermotor menyebabkan kebisingan,” ujarnya. Windi mengatakan, pada siang hari, pandangan ke arah Anak Krakatau juga sering terhalang kabut.–HARIS FIRDAUS / REGINA RUKMORINI / VINA OKTAVIA / DWI BAYU RADIUS
Sumber: Kompas, 24 Agustus 2018