CATATAN IPTEK
Selama bertahun-tahun, kita meyakini bahwa kolesterol itu berbahaya dan harus dihindari. Namun, belakangan, Komite Penasihat Penyusunan Panduan Pola Makan untuk Warga Amerika Serikat tahun 2015-2020 mengindikasikan konsumsi kolesterol tidak lagi perlu dikhawatirkan.
Kolesterol adalah zat lemak yang terdapat di setiap sel tubuh dan berperan penting antara lain pada pencernaan makanan, fungsi saraf, produksi hormon seperti estrogen, testosteron, dan kortikosteroid.
Dalam darah, kolesterol bergabung dengan protein (lipoprotein). Yang pertama, lipoprotein densitas tinggi (HDL) membawa kolesterol keluar dari sel menuju hati untuk dihancurkan dan dikeluarkan dari tubuh. Karena itu, disebut kolesterol baik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Adapun yang kedua, lipoprotein densitas rendah (LDL) yang membawa kolesterol ke sel yang membutuhkan. Jika terlalu banyak, kolesterol itu akan menempel di dinding pembuluh darah. Karena itu, disebut kolesterol buruk. Jika tumpukan kolesterol di dinding pembuluh darah rontok dan menyumbat pembuluh darah, akan terjadi serangan jantung maupun stroke.
Sejumlah peneliti Amerika Serikat (AS) menyatakan, hasil riset menunjukkan kadar kolesterol dalam darah bukan ditentukan oleh asupan makanan, melainkan oleh faktor genetik. Sekitar 85 persen kolesterol dalam tubuh diproduksi oleh hati. Sisanya baru dari makanan. Karena itu, telur yang selama ini dihindari karena dipercaya mengandung kolesterol tinggi kini dianjurkan untuk dikonsumsi mengingat kadar gizi lain seperti protein, kolin, lutein, cukup tinggi.
Menurut Direktur Pusat Penelitian Pencegahan Universitas Yale David Katz serta Steven Nissen, peneliti dan Ketua Bagian Kardiovaskular Klinik Cleveland, yang harus diwaspadai justru lemak trans yang bisa meningkatkan risiko gangguan jantung.
Sebaliknya, laman Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris menyatakan, laporan tentang tidak adanya kaitan antara kolesterol buruk dan gangguan jantung perlu disikapi hati-hati. NHS membahas kajian para peneliti dari AS, Jepang, Swedia, Inggris, Irlandia, dan Italia yang dipublikasikan di BMJ Open.
Menurut NHS, kajian itu untuk mengumpulkan bukti dari sejumlah riset apakah kolesterol LDL terkait dengan kematian pada orang-orang berusia lebih dari 60 tahun. Dari 28 penelitian yang dikaji, 12 penelitian menunjukkan tak ada kaitan antara kolesterol LDL dan kematian. Sementara 16 penelitian lain memperlihatkan kadar kolesterol LDL rendah justru meningkatkan risiko kematian. Hal tersebut berlawanan dengan yang diyakini selama ini.
NHS berpendapat, ada keterbatasan dari kajian itu, yakni pengumpulan data tidak mengikutsertakan penelitian yang relevan, misalnya kadar lemak darah lain (kolesterol total dan kolesterol HDL). Juga faktor kesehatan dan gaya hidup yang memengaruhi hasil penelitian, misalnya orang yang bersangkutan mulai menggunakan statin (obat penurun kolesterol) yang berpengaruh pada penurunan risiko gangguan jantung. Karena itu, NHS menilai kajian tersebut belum menunjukkan bukti kuat bahwa kolesterol LDL baik untuk kesehatan jantung.
NHS tetap menyarankan, perlunya menerapkan pola makan seimbang, banyak sayur, buah, kacang-kacangan, biji-bijian utuh, ikan berlemak seperti salmon, tuna, makerel, berolahraga teratur, tidak minum alkohol, dan tidak merokok. Zat kimia pada rokok yang disebut akrolein menghambat kolesterol HDL sehingga meningkatkan timbunan plak di dinding pembuluh darah.
Panduan Pola Makan untuk Warga Amerika Serikat tahun 2015-2020 merekomendasikan pembatasan konsumsi lemak jenuh, lemak trans, gula, dan garam. Lemak jenuh antara lain terdapat pada mentega, daging berlemak, kulit ayam, keju. Adapun lemak trans ada di margarin, donat, kue, biskuit, makanan yang dipanggang dan digoreng. Itu berarti, sumber kolesterol tetap dibatasi.–ATIKA WALUJANI MOEDJIONO
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2018