Evolusi ekologi media yang ditandai dengan transisi masyarakat dari pengguna media lama (old media) menjadi pengakses media baru (new media) menuntut adaptasi dan intervensi. Karena dunia media secara keseluruhan adalah sebuah struktur yang berlapis (multilayer structures), adaptasi dan intervensi mesti dilakukan pada level yang berbeda pula. Pada level internal media, para pengelola media mesti menyesuaikan diri dengan perubahan perilaku bermedia masyarakat.
Seperti dinyatakan para pakar, media jurnalistik akan senantiasa relevan dengan perkembangan zaman. Namun, para pengelolanya mesti melakukan penyesuaian-penyesuaian yang berfokus pada: (1) bagaimana melayani masyarakat yang semakin terpola untuk mengakses informasi secara digital; (2) bagaimana merumuskan relevansi media ketika problem masyarakat bukan lagi kekurangan informasi, melainkan kelimpahruahan informasi; (3) bagaimana bersaing dengan media baru (media sosial, mesin pencari, e-dagang, agregator berita, news filtering services) yang hadir dengan mode komunikasi baru yang sangat memikat masyarakat.
Timpangnya iklim persaingan
Internet adalah segala sesuatu dan segala sesuatu adalah internet (internet of everythings). Inilah yang sedang kita hadapi saat ini. Determinisme teknologi yang ekstrem sedang terjadi di mana inovasi teknologi informasi yang terus-menerus diperkenalkan secara cepat mengubah banyak hal dalam kehidupan masyarakat: konsumsi media, mode interaksi sosial, bentuk partisipasi politik, gaya hidup, dan lain-lain. Dalam konteks inilah teori agenda-setting yang menempatkan media massa sebagai penentu utama agenda-agenda publik perlu ditinjau ulang. Masyarakat kini telah memiliki banyak pilihan sumber informasi dan tak lagi tergantung pada asupan informasi dari media massa. Inilah tantangan nyata yang mesti dihadapi pengelola media massa konvensional saat ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sungguhpun telah melakukan penyesuaian diri pada aras tersebut, belum tentu media konvensional akan berhasil mempertahankan diri. Ada masalah struktural yang juga mesti diselesaikan pada level yang lain. Perubahan lanskap komunikasi-informasi secara menyeluruh menciptakan iklim persaingan media yang timpang. Google, Facebook, Twitter, Baidu, Yahoo, dan lain-lain sesungguhnya adalah perusahaan media. Bisnis mereka juga berbasis pada proses komodifikasi informasi.
Seperti media konvensional, mereka juga hidup dari pendapatan iklan. Teknologi yang digunakan dan model hubungan dengan khalayak yang dikembangkan memang berbeda. Namun, secara ontologis, posisi media baru itu adalah sama dengan media konvensional: dualitas antara institusi sosial yang melayani masyarakat dengan informasi-komunikasi sekaligus institusi bisnis yang motif utamanya adalah keuntungan ekonomi.
Namun, dalam praktiknya sejauh ini, media-media baru itu belum sepenuhnya diperlakukan sebagai subyek hukum perusahaan media. Mereka masih enggan untuk membayar pajak atas pendapatan iklan yang mereka peroleh. Bandingkan dengan pajak yang mesti dibayar perusahaan media konvensional untuk setiap transaksi iklan yang diperoleh! Perusahaan-perusahaan media sosial juga belum sepenuhnya bertanggung jawab atas informasi yang mereka sebarkan ke masyarakat. Hoaks sejauh ini masih dianggap sebagai sepenuhnya urusan pengguna media sosial yang membuat hoaks. Padahal, perusahaan media sosial paling berperan dalam penyebaran hoaks, bahkan mengambil keuntungan darinya.
Semakin kontroversial hoaks, semakin ramai perdebatan di media sosial, semakin besar data perilaku pengguna internet yang dikelola perusahaan media sosial. Hal ini kemudian berkorelasi dengan kenaikan harga saham perusahaan media sosial berikut potensi pendapatan iklannya.
Namun, ketika muncul kasus hoaks seperti kasus Buni Yani atau Saracen, ada impunitas untuk perusahaan media sosial yang sesungguhnya berperan dalam kasus tersebut. Mari kita bandingkan dengan tanggung jawab surat kabar, media televisi dan radio atas informasi yang mereka publikasikan! Untuk setiap informasi yang dianggap merugikan pihak tertentu, media konvensional dapat dituntut memuat hak jawab, diadukan ke Dewan Pers atau Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), bahkan menghadapi tuntutan hukum.
Kita sedang menghadapi media-media baru dengan pengaruh yang luar biasa besar, termasuk terhadap daya hidup media-media lama. Namun, media-media baru ini belum mengalami pelembagaan sedemikian rupa.
Secara faktual, perusahaan media sosial dan mesin pencari telah beroperasi melayani masyarakat dengan informasi dan komunikasi. Mereka juga telah menjalankan proses komodifikasi informasi dengan pendapatan iklan yang semakin hari semakin besar volumenya. Namun, secara hukum dan normatif sesungguhnya posisi mereka belum jelas.
Apakah mereka merupakan perusahaan media? Apakah mereka bergerak di ruang publik atau ruang privat? Apakah mereka beroperasi pada aras komunikasi massa atau komunikasi interpersonal? Apakah mereka mesti menaati standar norma dan hukum tertentu? Jika ya, standar mana yang digunakan? Jika muncul masalah, bagaimana mekanisme penyelesaiannya?
Mendesak, pelembagaan media baru
Dalam konteks inilah tercipta adalah iklim persaingan media yang timpang. Di satu sisi, media-media lama harus bergerak dengan berbagai aturan, batasan dan larangan seperti termaktub dalam UU Pers, UU Penyiaran, UU Perpajakan, UU Perseroan Terbatas, Kode Etik Jurnalistik, P3SPS, Pedoman Pemberitaan Media Siber, dan lain-lain.
Meskipun dalam praktiknya sering dilanggar, keberadaan aturan-aturan ini menunjukkan adanya pelembagaan. Di sisi lain, media-media baru seperti beroperasi tanpa aturan dan batasan yang baku. Mereka belum mengalami pelembagaan, tetapi telah sedemikian jauh beroperasi.
Media-media baru memang tidak sama persis dengan media lama sehingga pengaturannya tidak dapat disamakan sepenuhnya. Namun, pengaturan atau pelembagaan tetap diperlukan karena aktivitas bisnis dan sosial mereka berurusan langsung dengan kepentingan publik. Lebih dari itu, media-media baru sesungguhnya tidak sepenuhnya berbeda dengan media lama, khususnya bahwa mereka juga bersandar pada proses komodifikasi informasi.
Pelembagaan atas media-media baru ini sangat mendesak untuk dilakukan. Motif utamanya bukan menghalangi praktik bisnis raksasa digital, seperti Google, Amazon, Facebook, Yahoo, melainkan meletakkan mereka dalam kerangka sistem hukum media nasional. Tujuannya adalah mengupayakan iklim persaingan yang sehat dan seimbang di bidang media dan informasi.
Dengan demikian, jika ada media massa yang terpaksa berhenti beroperasi, semata-mata karena kegagalan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan keadaan, bukan karena dibiarkan tersisih dalam iklim persaingan media yang timpang. Di sini intervensi negara dibutuhkan untuk menciptakan iklim usaha media dan informasi yang kondusif bagi perkembangan industri media nasional.
Tren di sejumlah negara menunjukkan, pemerintah bersifat ”protektif” terhadap industri media nasional menghadapi raksasa-raksasa digital di atas. Bukan dengan mengusir atau mempersulit mereka, melainkan sekali lagi dengan membuat mereka terintegrasi dalam sistem komunikasi nasional yang secara terbatas berpihak pada industri media nasional.
Pertimbangan lain, institusi pers atau media jurnalistik sangat menentukan kualitas demokrasi suatu bangsa. Posisinya tidak sepenuhnya dapat digantikan dengan media baru. Media sosial tidak menyubstitusi media jurnalistik.
Media sosial menawarkan sesuatu yang baru yang memperkuat proses demokratisasi, tetapi dalam banyak kasus juga kontraproduktif bagi prinsip ruang publik yang beradab. Tanpa mengesampingkan potensi deliberatif media sosial, keberadaan media jurnalistik mesti dipertahankan dalam kerangka kepentingan nasional menjaga iklim demokrasi yang sehat.
Agus Sudibyo Direktur Indonesia New Media Wacth
Sumber: Kompas, 23 Januari 2018