Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat Didorong
Dalam kurun 25 tahun, Pulau Sumatera kehilangan lebih dari 9 juta hektar hutan akibat alih fungsi lahan. Kehilangan yang masif ini menjadi pemicu tumbuhnya konflik lahan dan sosial yang hampir seluruhnya tak terlesaikan.
Berdasarkan data citra satelit Lansat TM 8 yang diolah Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, hutan Pulau Sumatera menyusut dari 20 juta hektar menjadi hanya 11 juta hektar saat ini. Alih fungsi hutan bahkan masih berlanjut. Jika tanpa penanganan cepat, kehilangan seluruh hutan Sumatera akan terjadi 25 tahun ke depan.
Ketua Dewan Pengawas KKI Warsi, Nur Kholis, mengatakan, lahan kritis atau areal terbuka di Sumatera naik 556 persen, luas perkebunan meningkat 141 persen, dan hutan tanaman industri meningkat 381 persen. Kehilangan hutan yang masif ini berdampak buruk terhadap kehidupan masyarakat sekitar hutan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Kehidupan mereka marjinal dari sumber pangan dan ketersediaan air bersih dalam hutan. Akibatnya perekonomian mereka ikut hancur,” ujarnya, Kamis (20/7), di Jambi.
Kondisi itu memicu konflik lahan yang tidak kunjung terurai. Di Jambi, pada 2013-2016 terjadi 72 kasus konflik antara masyarakat dan perusahaan pemegang konsesi. “Konflik-konflik lahan ini melibatkan perusahaan besar hutan tanaman industri dan perkebunan sawit,” ujarnya.
Konflik juga terjadi di antara kelompok masyarakat. Tercatat selama 1997-2011 ada 14 warga komunitas Orang Rimba tewas akibat bentrok dengan masyarakat desa. Dampak lainnya adalah kerusakan ekologi dan hilangnya plasma nutfah dan cadangan biodiversitas penting yang memicu bencana ekologis. Selama 2010-2016, sebanyak 111 warga tewas akibat banjir dan longsor yang dipicu kerusakan hutan.
Berbagai bencana tersebut, kata Nur Kholis, menjadi peringatan akan terjadinya ketimpangan dalam pelestarian alam. “Perlu segera pemulihan hutan agar rangkaian bencana tak berlanjut,” katanya.
Berbasis masyarakat
Nur Kholis mengatakan, pihaknya mendorong penyelesaian konflik melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat, misalnya dalam skema hutan adat, hutan desa, hutan nagari, hutan kemasyarakatan, dan hutan tanaman rakyat.
Namun, dari target 4,3 juta hektar untuk perhutanan sosial Pulau Sumatera, Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sumatera Ratna Hendratmoko menyatakan, realisasinya baru mencapai 470.000 hektar atau 10 persen. Sebagian besar areal itu berada di kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Adapun di areal konsesi tanaman industri, realisasi belum mencapai 1 persen. “Ini menandakan partisipasi dunia usaha kehutanan masih rendah,” katanya.
Menurut Hendratmoko, sinergitas diharapkan berjalan antarlembaga terkait, baik di pemerintahan maupun swasta. Hal ini agar program tidak sebatas pada pemberian hak kelola hutan bagi masyarakat. Hal lebih penting lagi adalah memberi manfaat ekonomi atas hasil-hasil kehutanan bagi masyarakat sekitar.
Dia mencontohkan, banyak produk nonkayu bisa dimanfaatkan berupa getah jelutung, rotan, kopi, ataupun madu. Namun, yang masih menjadi tantangan adalah mengolahnya menjadi bernilai tambah dan memasarkan produk-produk tersebut secara luas. “Masyarakat sering mengeluh ke mana mereka bisa menjual hasil panen,” ujarnya.
Di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Putera Parthama mengakui, di masa lalu pemerintah abai dalam pengelolaan hutan di tingkat tapak. Pembentukan unit pengelolaan hutan, yaitu kesatuan pengelola hutan (KPH), yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, juga lambat implementasinya.
Sejak beberapa tahun terakhir, akses masyarakat dalam pengelolaan hutan dibuka dengan memperkuat KPH sebagai andalan utama unit pengelolaan hutan di tingkat tapak. Masyarakat di sekitar hutan difasilitasi melalui KPH untuk mengoptimalkan semua potensi hutan.(ITA/RUL/SON)
——-
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 21 Juli 2017, di halaman 14 dengan judul “Kehilangan Hutan Memicu Konflik”.