Kehidupan di Lingkungan Ekstrem

- Editor

Minggu, 22 Juli 2001

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Manusia dan hampir seluruh mamalia hampir mustahil bisa hidup di dalam lingkungan dengan kondisi sangat ekstrem. Sebutlah suhu yang teramat dingin atau teramat panas. Namun ada makhluk-makhluk berukuran mikro yang justru menyenangi hidup di lingkungan sangat panas atau sangat dingin seperti di atas. Mikroba-mikroba ini justru tidak dapat berkembang di lingkungan di mana sebagian besar makhluk hidup lain dapat hidup dengan nyaman di dalamnya.

Mikroba-mikroba ini biasa disebut “extremophile”. “Extremo” berarti sangat berlebihan (ekstrem), “phile” berarti menyukai. Jadi extremophile adalah mikroba yang menyukai lingkungan habitat ekstrem untuk kelangsungan hidupnya.

Makhluk hidup jenis ini, walaupun menurut dugaan banyak ilmuwan telah hidup di bumi jauh lebih tua daripada makhluk hidup lainnya, tetapi baru diketahui keberadaannya sekitar tahun 1980-an.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Penelitian terhadap extremophile meningkat pesat sejak ditemukan mikroba yang dapat hidup mendekati suhu air mendidih oleh ilmuwan bernama Stetter dari Jerman. Sejak itu, penelitian untuk mengisolasi mikroba ini bagai menjadi boom di kalangan negara-negara maju seperti Jerman, Amerika, dan Jepang.

Keberagaman dan kehebatan karakter yang terdapat dalam extremophile sangat memikat hati para ilmuwan. Ada extremophile yang menyukai lingkungan yang bersuhu sangat tinggi mendekati suhu didih (90 derajat Celcius). Bahkan hasil penemuan akhir-akhir ini menunjukkan ada mikroba yang bisa hidup di suhu 130 derajat Celcius.

Extremophile yang menyenangi lingkungan sangat panas ini biasa disebut hyperthermophile. Penemuan hyperthermophile yang bisa hidup pada suhu di atas 100 deerajat Celcius membawa spekulasi kepada kemungkinan adanya mikroba yang bisa hidup pada suhu lebih tinggi di atasnya, misalnya 200 derajat Celcius.

Sampai suhu berapa kemungkinan kehidupan itu ada? Tak ada yang bisa menjawab. Para ilmuwan berpendapat, bahwa hampir tidak mungkin ada kehidupan di atas suhu 300 derajat Celcius. Suhu ini adalah suhu batas di mana ikatan antar molekul dalam senyawa bisa bertahan. Lebih daripada itu tak akan mungkin terbentuk senyawa, karena setiap unsur menjadi sendiri-sendiri di atas suhu ini.

Extremophile yang lain ada yang bisa hidup pada suhu mendekati titik beku air. Bahkan sel mereka masih bisa membelah pada suhu di bawah nol, suhu di mana mikroba lain berhenti membelah diri. Ada juga yang menyukai lingkungan yang lebih asam dari cuka berkonsentrasi 100 persen, lingkungan yang membuat logam bisa berkarat dalam waktu singkat. Namun ada juga yang kebalikannya, yaitu hidup di lingkungan yang luar biasa basa atau lingkungan yang tinggi kadar garamnya. Ada pula yang bisa hidup di bawah lingkungan dengan tekanan 4 kali tekanan atmosfir.

Kebanyakan extremophile benar-benar menyenangi lingkungan yang kadang-kadang merupakan gabungan kondisi mematikan. Banyak dari extremophile yang hidup di suhu mendekati titik didih ditambah asam, atau bersuhu tinggi di tambah tekanan sangat tinggi, atau suhu tinggi ditambah tanpa oksigen.

Suatu kondisi yang mematikan bagi makhluk hidup lain, justru menyenangkan bagi extremophile. Di mana extremophile dapat ditemukan? Tentu saja di lingkungan yang memenuhi kondisi-kondisi di atas. Penemuan pertama extremophile adalah di daerah vulkanik yang penuh dengan mata air panas.

Penemuan itu membawa para ilmuwan untuk mengeksplorasi lingkungan yang lebih dahsyat daripada itu, misalnya lingkungan vulkanik yang penuh dengan asam belerang. Atau lingkungan vulkanik di bawah laut dalam, atau puncak gunung tinggi yang selalu bersuhu di bawah nol. Ternyata memang ada kehidupan di tengah asap belerang yang mengepul, serta ada kehidupan di antara panasnya kawah vulkanik dan dahsyatnya tekanan air di bawah laut.

Maka muncul hipotesa menarik tentang kehidupan di planet lain selain bumi. Tidak mustahil ada kehidupan di planet Mars, yang minim oksigen dan air itu. Sebab ternyata, di tempat-tempat yang beberapa puluh tahun lalu dipikirkan sebagai tempat yang mustahil untuk kehidupan ternyata ditemukan mikroba!

Eksplorasi ke lingkungan dahsyat seperti ini membutuhkan teknologi canggih yang biayanya sangat mahal, sehingga eksplorasi mikroba jenis ini hanya bisa dilakukan oleh negara berteknologi maju dan bermodal besar seperti Amerika atau pun Jepang.

Negara-negara maju ini mempertaruhkan modal dan teknologi bukan tanpa harapan. Harapan besar tertumpu pada produk biomaterial yang dihasilkan oleh extremophile ini, yaitu enzim.

Enzim adalah protein yang berfungsi sebagai biokatalis yang terdapat di dalam setiap sel makhluk hidup. Dengan keberadaan enzim di dalam sel tubuh inilah, setiap reaksi kimia untuk menjaga kelangsungan hidup makhluk hidup terjadi. Karena extremophile menyenangi lingkungan ekstrim, maka enzim yang terdapat dalam tubuhnya biasanya menyenangi lingkungan ekstrim pula.

Sebagai contoh, hyperthermophile mempunyai enzim yang sangat stabil dan hanya dapat bereaksi pada suhu tinggi. Enzim seperti ini sangat ideal untuk proses reaksi dalam industri. Karena dalam masalah efektifitas, tak ada katalis yang mengungguli enzim. Enzim yang tidak rusak ketika bereaksi dan tahan lama dalam suhu tinggi menjadi impian para industrialis di bidang industri makanan atau minuman. Impian ini nampaknya menjadi kenyataan dengan ditemukannya extremophile ini.

Pembacaan genom dari extremophile juga menjadi salah satu projek besar di negara maju seperti Jepang. Harapan mereka, dengan dibacanya seluruh genom mikroba ini, maka pembudidayaan enzim yang terdapat di dalamnya dapat lebih mudah dan murah. Mereka bisa melakukan kloning pada makhluk hidup lain yang lebih moderat dan mudah kultivasinya seperti bakteri E. coli dengan berdasarkan informasi dari pembacaan genom tersebut. Secara biaya, tentu saja ini lebih murah, dibandingkan dengan kultivasi extremophile dalam skala besar yang memerlukan energi besar dan peralatan khusus karena keekstrimannya. Bagaimana prospek di Indonesia?

Indonesia adalah negara kepulauan dengan banyak laut dalam, gunung berapi dengan mata air panas, dan vulkanik di daerah laut. Oleh karena itu bisa dikatakan Indonesia adalah daerah potensial untuk habitat extremophile ini.

Di tengah persaingan negara maju untuk menambang mikroba yang bernilai industri sangat besar ini, Indonesia bisa jadi adalah pusat perhatian negara-negara maju yang ingin menambang mikroba ini dengan penawaran kerja sama. Indonesia membutuhkan kerjasama, karena penelitian dan isolasi terhadap mikroba ini memang membutuhkan teknologi tinggi dan biaya mahal.

Extremophile adalah salah satu sumber keragaman hayati yang sama pentingnya dengan tanaman atau hewan-hewan di hutan-hutan kita. Perlu kiranya undang-undang yang jelas untuk mengatur tentang hal ini agar Indonesia dan para penelitinya dapat menikmati hasil kerja sama dengan lebih adil.

Is Helianti, peneliti post doktoral dalam bidang biotek pada Japan Advanced Institute of Science and Technology (JAIST), dan juga peneliti ISTECS-Japan.

Sumber: Kompas, Minggu, 22 Juli 2001

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Menghapus Joki Scopus
Kubah Masjid dari Ferosemen
Anggrek Baru Ditemukan di Pulau Waigeo, Raja Ampat
Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu
Misteri “Java Man”
Keragaman Makhluk Eksotis Wallacea
Empat Tahap Transformasi
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
Berita ini 4 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 20 Agustus 2023 - 09:08 WIB

Menghapus Joki Scopus

Senin, 15 Mei 2023 - 11:28 WIB

Kubah Masjid dari Ferosemen

Rabu, 28 Desember 2022 - 16:36 WIB

Anggrek Baru Ditemukan di Pulau Waigeo, Raja Ampat

Jumat, 2 Desember 2022 - 15:13 WIB

Paradigma Baru Pengendalian Hama Terpadu

Jumat, 2 Desember 2022 - 14:59 WIB

Misteri “Java Man”

Selasa, 14 Juni 2022 - 21:20 WIB

Keragaman Makhluk Eksotis Wallacea

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:15 WIB

Empat Tahap Transformasi

Kamis, 19 Mei 2022 - 23:13 WIB

Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom

Berita Terbaru

Tim Gamaforce Universitas Gadjah Mada menerbangkan karya mereka yang memenangi Kontes Robot Terbang Indonesia di Lapangan Pancasila UGM, Yogyakarta, Jumat (7/12/2018). Tim yang terdiri dari mahasiswa UGM dari berbagai jurusan itu dibentuk tahun 2013 dan menjadi wadah pengembangan kemampuan para anggotanya dalam pengembangan teknologi robot terbang.

KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO (DRA)
07-12-2018

Berita

Empat Bidang Ilmu FEB UGM Masuk Peringkat 178-250 Dunia

Rabu, 24 Apr 2024 - 16:13 WIB