Rantai Kehidupan

- Editor

Rabu, 26 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hari Bumi 2017 bertemakan “Melek Lingkungan dan Iklim”. Dampak perubahan iklim pada umumnya dipahami sebagai dampak yang baru akan kita alami 50-100 tahun ke depan. Sungguh pemahaman yang amat keliru. Dampak itu telah terjadi sekarang dan di sejumlah tempat.

Penelitian mutakhir oleh Michela Pacifici dari Sapienza University of Rome, Roma, Italia, dan kawan-kawan, yang dipublikasikan 13 Februari lalu di jurnal Nature Climate Change, menemukan sekitar 410 spesies mamalia (47 persen dari 873 spesies) dan sekitar 300 spesies burung (24,3 persen dari 1.272 spesies) dalam daftar terancam punah, Daftar Merah (Red List) International Union for Conservation of Nature (IUCN), secara langsung terkena dampak perubahan iklim. Angka ini jauh lebih tinggi dari pernyataan semula, sekitar 7 persen mamalia dan 4 persen dari burung pada Daftar Merah yang terdampak perubahan iklim.

Dampak diamati dari perubahan fisik dan intrinsik, seperti bobot dan ukuran tubuh, serta perubahan ruang hidup mereka terkait temperatur dan kondisi geografis. Dalam 50 tahun terakhir laju peningkatan suhu atmosfer sekitar 0,13 derajat celsius, nyaris dua kali laju pada 50 tahun sebelumnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Direktur Science and Research Initiative at the Wildlife Conservation Society, James Watson, penulis rekanan pada laporan itu, menilai, selama ini penelitian terkait perubahan iklim belum ada yang benar-benar mampu membukakan fakta tentang dampaknya pada spesies. Penelitian itu dilakukan dengan menganalisis 70 penelitian pada 120 spesies mamalia, termasuk gorila dan gajah, serta 66 penelitian pada 569 spesies burung. Dilakukan pengukuran pada parameter-parameter seperti jumlah populasi, jarak jangkau geografis, tingkat reproduksi, massa tubuh, dan tingkat kemampuan untuk menyintas (survival rate).

Dampak berantai
Mamalia bisa lebih rentan karena jenis makanan amat spesifik. Peningkatan suhu dan turunnya curah hujan menyebabkan menghilangnya spesies tumbuhan tertentu. Hal itu menyebabkan dampak berantai. Maka, kehancuran ekosistem hutan tropis bisa mengancam kelangsungan hidup orangutan yang pangannya bergantung pada tumbuhan di hutan tropis.

Burung dengan jarak jangkau geografis rendah akan lebih rentan. Demikian pula gorila yang hanya hidup di dataran tinggi. Akibat perubahan iklim, ruang hidup mereka menyempit karena perubahan ekosistem akibat peningkatan suhu akan mengubah habitat mereka.

Penelitian tersebut memberikan alarm pada kehidupan keseluruhan makhluk hidup di bumi. Bumi seisinya-baca: makhluk hidup di dalamnya pun termasuk-adalah bagian dari kosmos. Prinsip dalam entitas kosmos atau alam adalah saling berhubungan (interconnectedness) dan saling tergantung (interdependence). Saling mendukung satu dan yang lain.

Lebah, kelelawar, orangutan, dan gajah, misalnya, adalah penjaga keanekaragaman hayati dengan menjadi agen penyerbukan dan penyebaran biji. Maka, punahnya gajah, misalnya, akan mengubah wajah hutan tropis. Juga kehancuran pegunungan kapur (karst), misalnya, berdampak lenyapnya kehidupan lain. Kehancuran karst di Parung, Kabupaten Bogor, menyebabkan hilangnya durian Parung karena kelelawar menghilang akibat habitatnya rusak. Di sisi lain, ekosistem yang sehat dengan beragam tumbuhan dan makhluk hidup berfungsi membersihkan udara, menyerap gas karbon, dan menciptakan lingkungan yang sehat bagi makhluk hidup, termasuk manusia.

Kita pada umumnya luput melihat dampak perubahan iklim pada rantai kehidupan. Alam memiliki hukumnya sendiri dan sistem yang bekerja di dalamnya membentuk suatu untaian rantai kehidupan. Maka, ketika satu mata rantai kehidupan hancur atau hilang, maka putuslah untaian rantai kehidupan (kita)..

Oleh: BRIGITTA ISWORO LAKSMI

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 26 April 2017, di halaman 14 dengan judul “Rantai Kehidupan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Berita ini 8 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Senin, 7 Juli 2025 - 08:07 WIB

Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Berita Terbaru

fiksi

Pohon yang Menolak Berbunga

Sabtu, 12 Jul 2025 - 06:37 WIB

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB