Kajian Genetika untuk Kehidupan

- Editor

Senin, 3 April 2017

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Orang Sehat Terpapar Virus Zika
Konferensi Internasional Eijkman ke-6 di Jakarta menegaskan pentingnya kajian genetika dalam kehidupan. Selain untuk mengetahui asal-usul dan sejarah migrasi manusia, studi genetika jadi ujung tombak bidang kesehatan, termasuk mengatasi penyakit yang dipicu virus baru.

Pertemuan ilmiah yang digelar sejak Selasa (1/8) hingga Kamis (3/8) itu diikuti 332 peserta yang mewakili 64 institusi nasional dan 20 institusi dari 11 negara lainnya. Ada tujuh tema yang dibahas, meliputi malaria, keamanan kesehatan global dan resistensi mikroba, virus hepatitis, migrasi manusia dan kerentanan penyakit, penyakit infeksi baru, penyakit genetik, dan respons inang terhadap agen penyakit.

Mengawali konferensi hari kedua, Rabu, di Jakarta, Claudio Tiribelli dari Italia Liver Foundation, Italia, memaparkan kaitan infeksi virus hepatitis B dan C dengan asam ribonukleat (ARNs) yang belum terkodifikasi.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Deputi Direktur Penelitian Translasional, Lembaga Biologi Molekular Eijkman, Prof David Handojo Muljono memaparkan fakta masih ada infeksi hepatitis B pada anak berusia di bawah lima tahun. Karena itu, pemerintah perlu mengubah strategi imunisasi untuk memutus rantai infeksi virus hepatitis.

Sejauh ini Indonesia bergeser dari negara dengan endemisitas hepatitis B tinggi ke endemisitas sedang (intermediate). Hal itu seiring dengan angka HBsAg menurun dari 9,4 persen tahun 2007 menjadi 7,1 persen tahun 2013.

Namun, infeksi hepatitis B pada balita masih terjadi. David menduga itu disebabkan cakupan imunisasi hepatitis B rendah di banyak provinsi atau penularan dari ibu ke janin yang dikandungnya. “Sekitar 150.000 ibu hamil tiap tahun berpotensi menularkan virus hepatitis B kepada bayinya,” ujarnya.

Penyakit tular vektor
Sementara Ann Powers, Kepala Divisi Penyakit Tular Vektor, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention/CDC), Amerika Serikat, memaparkan, tak ada satu negara di dunia bebas dari risiko wabah penyakit yang ditularkan vektor. Sejumlah penyakit tular vektor yang menjadi masalah kesehatan dunia antara lain demam dengue, chikungunya, malaria, zika, dan demam kuning (yellow fever).

Di tengah tak tersedianya vaksin bagi semua penyakit itu, pengendalian vektor krusial dilakukan, tapi itu kerap dilupakan. Kendala lain adalah surveilans dan diagnosis lemah serta kemampuan personel terbatas.

Di sesi lain, Kepala Laboratorium Dengue, Lembaga Biologi Molekular Eijkman, Tedjo Sasmono menduga virus zika sudah bersirkulasi di Indonesia sejak 1-2 dekade terakhir. Namun, sejauh ini tak ada kasus infeksi zika dilaporkan di fasilitas kesehatan.

Direktur Lembaga Biologi Molekular Eijkman Prof Amin Soebandrio menjelaskan, hasil riset tentang zika oleh Eijkman yang masih amat awal menunjukkan ada seroprevalens positif zika pada serum darah orang sehat. Artinya, beberapa orang sehat yang diperiksa dalam riset itu ada indikasi awal kontak dengan virus zika.

“Ini tidak menunjukkan adanya kasus karena yang diperiksa adalah orang sehat. Hasil yang sangat awal ini hanya menunjukkan adanya reaksi positif dari serum dari darah orang sehat yang diperiksa memakai metode tertentu. Riset tersebut masih berlangsung,” kata Amin.

Rekonstruksi migrasi
Pada kesempatan sama, Raymond Tobler dari Australian Research Center for Indigenous (ARC), Universitas Adelaide, Australia, merekonstruksi penghunian dan migrasi orang Aborigin-Australia sejak 50.000 tahun lalu. “Dengan kajian genetika, kami berhasil merekonstruksi asal-usul dan migrasi orang aborigin di Australia ketika tradisi lisan dan tulisan gagal mencatatnya,” ujarnya.

Dengan kajian itu, Raymond menyimpulkan, DNA berhasil merekam sejarah keluarga dan mengorelasikan genetika dengan informasi geografi. “Perubahan dalam DNA bisa dilacak melalui waktu dan ruang. Ada kaitan genetika dan geografi,” katanya.

Meski berhasil merekonstruksi penghunian aborigin di Australia, alur migrasinya dari Afrika hingga tiba di benua itu masih belum bisa dipastikan, terutama ketika melintasi wilayah Indonesia.

“Untuk kajian ke depan, amat penting adanya data-data dari Indonesia,” kata Raymond.(AIK/ADH)
————————
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2017, di halaman 12 dengan judul “Kajian Genetika untuk Kehidupan”.

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah
Mikroalga: Si Hijau Kecil yang Bisa Jadi Bahan Bakar Masa Depan?
Wuling: Gebrakan Mobil China yang Serius Menggoda Pasar Indonesia
Berita ini 3 kali dibaca

Informasi terkait

Minggu, 6 Juli 2025 - 15:55 WIB

Dari Quick Count ke Quick Lie: Kronik Naik Turun Ilmu Polling di Indonesia

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Rabu, 2 Juli 2025 - 18:46 WIB

Petungkriyono: Napas Terakhir Owa Jawa dan Perlawanan Sunyi dari Hutan yang Tersisa

Jumat, 27 Juni 2025 - 08:07 WIB

Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes

Jumat, 27 Juni 2025 - 05:33 WIB

Kalender Hijriyah Global: Mimpi Kesatuan, Realitas yang Masih Membelah

Berita Terbaru

Fiksi Ilmiah

Bersilang Nama di Delhi

Minggu, 6 Jul 2025 - 14:15 WIB

Artikel

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Sabtu, 5 Jul 2025 - 07:58 WIB