Kemacetan lalu lintas yang terjadi akibat kepadatan lalu lintas sudah menjadi hal lumrah yang kita lihat khususnya di kota-kota besar. Hal ini mencerminkan tidak adanya keseimbangan pertumbuhan kendaraan yang sebesar 5 persen pertahun dengan pertambahan panjang jalan yang hanya 0,2 persen pertahun.
Oleh sebab itu untuk mengatasinya dicoba diatasi dengan membangun jalan yang diangkat ke atas (jalan layang). Jalan layang sendiri sebenarnya adalah suatu konstruksi jalan yang elevasinya tidak pada permukaan tanah panjang, biasanya bebas hambatan dan tidak bersimpangan dengan jalan lain, fungsinya untuk menambah kapasitas jalan yang sudah ada. Di sisi lain, ada jalan layang yang dibuat khusus bersimpangan dengan jalan lain sehingga persimpangannya tidak sebidang, yang lazim disebut interchange.
Upaya ini tiada lain untuk menyediakan sarana jaringan yang memadai sehingga layanan suatu kota yang merupakan suatu pusat jasa aktivitas masyarakat untuk mendukung dan sekaligus melancarkan keamanan, kenyamanan dan kemudahan dari aktivitas masyarakat tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam rekayasa lalu lintas (traffic engineering) kita kenal beberapa metode untuk mengurangi konflik arus lalu lintas dari suatu jalan yang bersimpangan. Tiga metode yang paling umum adalah pengaturan arus lalu lintas dengan lampu lalu lintas, pengaturan arus lalu lantas dengan prasarana simpang bundar (round about), dan pengaturan bebas hambatan dengan konstruksi Interchange.
Paling cocok
Dalam seminar nasional yang diselenggarakan Fakultas Teknik UNS pertengahan Pebruari 1990 yang lalu Ir Idwan Santoso Msc, DIC, PhD dan Ir Pamudji Widodo Notodisurjo, M. Sc yang keduanya adalah staf pengajar ITB, menjelaskan bahwa metode yang terakhir adalah yang terbaik, terutama jika ditinjau dari pengurangan tundaan (delay) yang akan terjadi akibat konflik lalu lintas. Jika dibandingkan secara kuantitatif ketiga metode di atas, diketahui bahwa kapasitas pelayanan interchange adalah yang terbesar. Sebagai gambarannya jika dimisalkan bahwa kapasitas pelayanan interchange adalah 1, maka kapasitas pelayanan dari jalan simpang yang diatur dengan lampu lalu lintas adalah sekitar 0,4-0,5 dan dengan round about sekitar 0,6 – 0,7 dengan catatan kondisi pola lalu lintasnya ideal.
Lebih lanjut, Idwan Santoso dan Pamudji Widodo mengungkapkan bahwa sarana interchange baru terasa optimal secara sistem jika penanganannya terkoordinasi untuk seluruh jaringan jalan utama, bukan hanya disatu tempat atau dua tempat saja. Hal ini berarti sistem jaringan jalan perlu di tata dulu hirarkinya agar penempatan konstruksi interchange dapat lebih efektif. Untuk itu diperlukan adanya studi yang menyeluruh untuk semua jaringan jalan yang ada, mengingat adanya interaksi yang erat antara keadaan volume lalu lintas di satu ruas jalan dengan perubahan kapasitas di ruas jalan lain. Sebagai contohnya dapat dilihat gambar 1. dimana konstruksi interchange dibuat disimpul-simpul jalan antara jalan-jalan utama radial dan jalan lingkar utama (ring road).
Pada dasarnya kemacetan lalu lintas adalah terjadinya ketidak seimbangan antara jumlah kendaraan yang memakai jaringan jalan (demand) yang melebihi kapasitas tampung dari jaringan yang bersangkutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin macet lalu lintas semakin besar pula kerugian yang akan dialami oleh pemakai jalan. Kerugian yang paling nyata adalah: bertambahnya tundaan atau terbuangnya waktu sia-sia, pemakaian konsumsi energi yang tidak efektif dan bertambahnya tingkat pencemaran udara.
Kemudian sampai sejauh manakah pengadaan jalan layang akan mencapai sasaran. Untuk itu ada baiknya kita tinjau sedikit konsepsi dasar hubungan antara tingkat kemacetan dan volume lalu lintas. Menurut Manheim (1979) untuk suatu kapasitas jaringan jalan tertentu hubungan antara volume lalu lintas dan tingkat kemacetan dapat digambarkan sebagai kurva 1 gambar 2. Dari gambar terlihat bahwa tingkat kemacetan akan bertambah dengan naiknya volume lalu lintas pada sistem jaringan jalan. Tingkat kemacetan itu akan sangat terasa jika volume lalu lintas (demand) sudah hampir sama atau sama dengan kapasitas jalan yang tersedia (supply).
Jika kita misalkan penanganan kemacetan dilakukan dari segi pengontrolan supply, maka dapat dikatakan bahwa dengan anggapan pola aktivitas sosial ekonomi tidak berubah, bertambahnya kapasitas jaringan jalan akan menyebabkan berkurangnya tingkat kemacetan. Kalau misalnya volume lalu lintas pada keadaan awal adalah v1 , dan tingkat kemacetan pada keadaan itu adalah t1 , maka dengan bertambahnya kapasitas (lihat kurva 2) jaringan jalan tingkat kemacetannya akan berkurang sebesar segitiga t akan sangat tergantung pada besarnya perubahan kapasitas jaringan jalan. Makin besar pertambahan kapasitas jaringan jalan berarti bertambah besar pula pengurangan tingkat kemacetan.
Keadaan di atas hanya berlaku jika aktivitas sosial ekonomi tidak akan berubah dengan bertambahnya kapasitas atau berkurangnya kemacetan, betul betul berlaku. Tapi selama ini kenyataannya bahwa aktivitas sosial ekonomi masyarakat cenderung berubah dengan berubahnya tingkat kemacetan. Tingkat kemacetan yang rendah cenderung mendorong orang untuk menggunakan kendaraan pribadi yang pada gilirannya menambah volume lalu lintas. Dari gambar 2 dapat dikatakan bahwa pada kenyataannya dengan penambahan kapasitas jaringan jalan yang baru itu, tingkat kemacetannya menjadi t3, bukan t2 seperti yang diperkirakan semula. Hal ini disebabkan dengan bertambahnya kapasitas jaringan jalan bertambah pula volume lalu lintas menjadi v2. Jadi bahwa penanganan kemacetan dari segi penambahan tingkat supply akan menghasilkan manfaat yang sangat marginal dibandingkan dengan yang dibayangkan banyak orang.
Kesimpulan
Untuk mengatasi masalah kemacetan lalu lintas dapat dilakukan dari beberapa pendekatan, yaitu dari segi pengontrolan tingkat demand ataupun tingkat supply. Salah satu altenatif pengontrolan dari segi supply adalah dengan pembangunan jalan layang. Pembangunan jalan layang akan bermanfaat secara optimal jika penanganannya tidak bersifat lokal tapi menyeluruh. Secara kuantitatif kapasitas pelayanan interchange adalah yang terbesar.
Dwi Wanto, mahasiswa Teknik Sipil UNS
Sumber: Suara Merdeka, 19 Mei 1990