Suatu hari nanti dalam kabin penumpang penerbangan pesawat badan lebar rute Jakarta-Amsterdam terdengar pengumuman dari kokpit. ”This is your pilot speaking…. Ucapan rutin itu adalah ”pilot”, bukan ”captain” . Akan hanya ada satu pilot dalam sebuah pesawat jet penumpang yang besar. Tidak lagi dua seperti yang telah kita nikmati sejak 36 tahun silam. Setidaknya, itu yang dibayangkan Boeing.
Para insinyur dalam industri pesawat terbang terbesar di dunia tersebut tidaklah cuma berangan-angan. One cockpit crew airliner adalah upaya nyata. Akhir Agustus, sebagaimana diwartakan media Inggris The Independent (TheIndependent.co.uk), Vice President Boeing HorizonX and NeXt Steve Nordlund mengatakan, para insinyurnya tengah mengerjakan teknologi yang memungkinkan satu bangku pilot di kokpit dihilangkan.
DOK BOEING–Pilot berlatih menerbangkan pesawat penumpang Boeing 787 di sebuah Longacres 787 Simulator. Boeing tengah mengembangkan teknologi pesawat dengan satu pilot.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Selama ini, Boeing (terutama divisi teknologi militernya) adalah industri yang sangat percaya terhadap masa depan teknologi yang bisa mengendalikan wahana terbang secara mandiri. Dan, menurut Nordlund, kemajuan autonomous technology tersebut berada dalam kecepatan yang bagus.
”Saya rasa, kita tidak akan melihat sebuah Boeing 737 yang nirawak dalam waktu dekat. Tapi, yang mungkin akan kita lihat adalah kokpit dengan peranti bantu yang lebih lengkap dan lebih otomatis, yang bisa mengubah jumlah awak di kokpit,” ujar Nordlund.
Studi dan pengembangan pesawat penumpang besar dengan satu awak kokpit tersebut tentu saja terkait dengan geliat industri penerbangan dunia sekarang dan masa depan. Boeing menganalisis, dunia memerlukan tidak kurang dari 39.620 pesawat jet komersial (penumpang dan kargo) yang baru sejak 2016 hingga 2035. Nilai totalnya 5,93 triliun dollar AS. Jika dikonversikan ke rupiah saat ini, menjadi lebih dari Rp 87.764 triliun.
Permintaan pesawat jet komersial 2016-2035
Jenis Contoh pesawat Jumlah
Large wide body Boeing 747-8, Airbus A380 530
Medium wide body Boeing 777, 787-10; Airbus 350-1000 3.470
Small wide body Boeing 767, 787-8,9; Airbus A330, 350-800,900 5.100
Single aisle Boeing 737; Airbus A318-321, 220; Comac C919 28.140
Regional jet Airbus A220; Embraer 170, 175; Sukhoi Superjet 100 2.380
Mitsubishi MRJ
Sumber: Boeing Current Market Outlook 2016-2035
Sejak Airbus menginisiasi ruang kendali dengan hanya dua awak lewat A300-B4 pesanan Garuda Indonesia pada 1982, pesawat-pesawat jet komersial produksi pabrikan lainnya pun segera menanggalkan sejumlah bangku dari kokpit. Yang tersisa dan langgeng hingga kini adalah dua kursi untuk pilot dan kopilot.
Dengan hanya tersisa dua awak amat terlatih itu pun, saat ini banyak negara di dunia kerap dihadapkan dengan persoalan sulitnya memenuhi jumlah kebutuhan penerbang. Memang sekali terbang, sebuah Airbus A330 Garuda Indonesia, contohnya, hanya perlu diawaki dua penerbang.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO–Direktur Utama Garuda Indonesia Airways Wiweko Supono mendaratkan pesawat Airbus A300 Garuda yang pertama tepat pukul 10.25, Rabu (20/1/1982) di Bandar Udara Halim Perdanakusuma, dari pabriknya di Toulouse, Perancis. Pesawat tersebut sekaligus merupakan yang pertama di dunia dilengkapi forward facing crew cockpit (FFCC) alias kokpitnya hanya dioperasikan dua pilot saja.
Namun, pesawat dalam sebuah maskapai penerbangan adalah sama dengan mesin dalam sebuah pabrik yang harus mampu dimanfaatkan memproduksi barang ekonomis secara optimal. Meski regulasi keselamatan dan kelaikan udara yang ketat membuat sebuah pesawat terbang tak mungkin dibuat terus-menerus menghidupkan mesin, tetap saja tuntutan sebuah maskapai dalam penggunaan sebuah pesawat penumpang jet teramat tinggi.
Itu membuat kebutuhan akan penerbang tetap tinggi. Dalam satu siklus pengoperasian, misalnya, sebuah pesawat jet komersial memerlukan hingga 6 set (12 orang) pilot. Alhasil di satu sisi, penerbangan komersial global selalu ”dahaga” akan pilot. Kantor berita AP, Maret lalu, misalnya, mewartakan tentang maskapai-maskapai penerbangan kecil di AS yang selalu kekurangan penerbang.
Maskapai regional yang melayani penerbangan jarak dekat di negeri itu—seperti di mana pun—adalah pemasok pilot bagi maskapai besar yang memiliki pesawat-pesawat lebih besar, lebih canggih. Dengan demikian, maskapai besar dengan pesawatnya yang seperti itu menuntut awak kokpit yang telah memiliki jam terbang lebih banyak, bahkan untuk menjadi seorang kopilot sekalipun.
Alhasil, pilot-pilot maskapai regional yang telah memperoleh jam terbang yang cukup berbondong-bondong eksodus ke maskapai besar yang lebih menjanjikan dalam semua aspek: pengalaman terbang, pesawat yang lebih canggih, gaji yang lebih besar, dan karier yang lebih tinggi. Eksodus tersebut tak diimbangi pasokan pilot-pilot muda lulusan sekolah penerbangan.
KOMPAS/IWAN SETIYAWAN–Sejumlah siswa calon penerbang menyiapkan pesawat latih jenis Cessna saat pembukaan Sekolah Pilot Merpati di Kompleks Bandara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Kelangkaan pilot seperti itu di banyak negara juga ditambah dengan sulitnya maskapai penerbangan memperoleh pilot dengan syarat memadai. Bisa jadi, hal itu disebabkan tak terbentuknya piramida penerbangan komersial: jumlah maskapai penerbangan perintis yang sedikit, sebaliknya maskapai besar berkembang pesat.
Dengan demikian, kebutuhan pilot di negara itu terus membengkak di satu sisi—terutama dari maskapai besar. Di sisi lain, banyak pilot muda yang baru lulus sulit memperoleh pekerjaan dan menganggur.
Apa pasal. Untuk langsung masuk ke maskapai dengan pesawat jet, syarat jam terbang masih jauh dari cukup—AS misalnya mensyaratkan 1.500 jam terbang minimal untuk memperoleh lisensi pesawat jet komersial.
Dengan kompleksnya persoalan yang menyebabkan kelangkaan pilot itu, Boeing menghitung, AS memerlukan 117.000 pilot baru hingga 2036. Adapun sejumlah analis memperkirakan, dunia akan kekurangan sekitar 200.000 pilot dalam satu dekade mendatang.
Tampaknya, sebuah pesawat terbang jet penumpang dengan hanya satu pilot dalam kokpit bisa menjadi jalan keluar: menyeimbangkan pertumbuhan kebutuhan akan pesawat jet komersial dengan suplai penerbang.
Dari dua kembali ke dua
Dalam sejarahnya, penerbangan komersial dan sipil lahir sebagai berkah perang. Menjadi fakta, kalangan militerlah yang pertama kali melihat manfaat sekaligus menggunakan pesawat terbang. Sebagai pengintai, lalu pengebom, dan berujung sebagai pesawat pencegat untuk menjatuhkan bom lawan sebelum mencapai garis pertahanan.
Pasca-Perang Dunia I, Eropa—terutama Inggris dan Perancis—kebanjiran pesawat berbadan besar yang ternyata dapat digunakan pula untuk mengangkut penumpang dalam jumlah yang relatif banyak.
AS tak punya surplus seperti itu. Namun pada 1919, kalangan sipil tetap bisa mengendus kegunaan pesawat-pesawat kecil militer: sebagai pengangkut surat dan paket pos.
Kemampuan pesawat di era itu memang sederhana. Jarak tempuhnya pendek. Mesin dan rancang bangunnya tak memungkinkan pesawat terbang tinggi. Penentuan arah dilakukan semata dengan mata telanjang: mengacu pada bentang alam tertentu sebagai patokan. Bentang alam dan garis cakrawala pula yang menjadi patokan untuk menentukan kedudukan pesawat: apakah menanjak, turun, atau miring.
DOK BOEING–Pada 1 Maret 1919, Bill Boeing (kanan, membawa kantong surat) dan Eddie Hubbard melakukan penerbangan pengiriman surat internasional pertama antara Seattle, AS ke Vancouver, Kanada, dengan pesawat Boeing Model C.
Di masa itu, sama sekali tak mungkin menerbangkan pesawat pada malam hari saat cuaca buruk berkabut atau gelap karena hujan badai. Dengan kesederhanaan peralatan navigasi, mesin, dan kemampuan tersebut, sebuah pesawat komersial cukup dan lazim dikendalikan oleh satu atau dua pilot saja.
Namun, transportasi udara punya potensi yang jauh lebih dahsyat dibandingkan kenyataan yang diterima saat itu. Maka—selain terus mempercanggih rancang bangun dan material pesawat—tenaga mesin pun ditingkatkan agar pesawat dapat terbang lebih tinggi dari awan pembawa hujan dan badai. Dengan demikian, jarak tempuh dapat diperpanjang.
Tenaga mesin piston pesawat akhirnya digenjot dengan kompresor yang meningkatkan kerapatan udara ke dalam kamar pembakaran. Namun, cara ini memerlukan sistem pendinginan mesin yang lebih mumpuni. Awak pesawat pun harus lebih banyak melakukan penyesuaian terbang, mengikuti kondisi mesin.
Untuk membantu tugas penerbang, dibuatlah sebuah instrumen untuk menyelaraskan kerja mesin, ignition analyzer. Ini tugas khusus yang tak mungkin dikerjakan sekaligus oleh pilot. Maka, kursi ketiga pun ditambahkan dalam kokpit untuk teknisi, flight engineer.
Dari segi navigasi, kemampuan pesawat terbang memperoleh lompatan besar ketika Emer Sperry memanfaatkan giroskop—cakram berputar yang mampu mempertahankan kedudukan dalam ruang tiga dimensi—sebagai instrumen penerbangan. Pada 1927, diperkenalkanlah perangkat artificial horizon (cakrawala buatan).
KOMPAS/NINOK LEKSONO–Kokpit A380 yang canggih membutuhkan keterampilan para pilot untuk mengoperasikannya dengan profesional. Tampak display artificial horizon di layar paling kiri.
Kasarnya, pada indikator alat itu terdapat garis yang selalu dalam posisi mendatar pada titik ketinggian tertentu. Sehingga, pilot dapat mengetahui apakah pesawat dalam posisi miring, menanjak, atau menghujam. Maka, modal untuk terbang malam dan cuaca buruk pun diperoleh.
Teknologi berdasarkan giroskop ini pula yang pada 1932, melahirkan automatic pilot: perangkat yang secara otomatis menstabilkan ketinggian pesawat pada sumbunya.
Sebelum Perang Dunia II, kemampuan terbang jarak jauh—bahkan di samudra luas yang tak memungkinkan kehadiran bentang alam sebagai patokan—tertolong oleh pemanfaatan teknologi radio. Pesawat dapat terbang malam tanpa patokan bentang alam berkat peranti automatic direction finder (ADF).
Perangkat ini menangkap gelombang elektromagnetik dari stasiun pemancar di darat lewat sebuah antena di pesawat. Jika bingkai antena searah dengan datangnya gelombang, sinyal yang diterima dalam pesawat akan sangat kuat. Sinyal itu semakin lemah dan hilang jika bingkai antena dalam posisi berlawanan.
Meski sangat membantu, pengoperasian ADF dan pengembangan setelahnya seperti LORAN (long range aid to navigation) memakan waktu dan perlu sering-sering dipantau. Harus ada awak khusus yang menanganinya. Lalu, kursi keempat dalam kokpit pun ditambahkan sebagai tempat duduk navigator.
Penerbangan jarak jauh dalam rute udara yang mulai ramai pun pada akhirnya ”memaksa” awak pesawat harus berkomunikasi dengan pihak luar. Pada perkembangan awalnya, mengoperasikan radio komunikasi bukan pekerjaan satu jari seperti kini kita memencet layar telepon seluler android.
DOK BOEING–Sebuah pesawat Boeing Model 247D terbang di atas Kota New York, AS, tahun 1930-an. Pesawat berbadan metal dengan dua mesin ini dianggap sebagai pesawat penumpang modern pertama.
Sistem analog dengan tabung katoda membuat pencarian sinyal yang tepat tak selalu diperoleh dengan mudah. Jika Anda setidaknya masih berusia remaja di era 1970-an, pastilah pernah mendengar siaran radio dengan memutar cakram pencari gelombang, sambil memperhatikan jarum petunjuk di badan radio tepat berada di angka gelombang radio yang dicari.
Meskipun ada indikator angka dan jarum seperti itu pun seringkali suara yang diperoleh tidak bening, atau bahkan sama sekali belum diperoleh. Apalagi ketika hari itu langit sedang mendung, atau hujan turun dengan lebatnya.
Urusan komunikasi radio yang memerlukan waktu dan upaya lebih itu pada akhirnya menuntut kehadiran spesialis. Maka, kokpit pun makin sesak dengan hadirnya operator radio.
Pasca-Perang Dunia II, pesawat terbang semakin mampu memenuhi tuntutan manusia: terbang jauh, tinggi, cepat, dan mengusung kargo atau penumpang dalam jumlah besar. Harga yang harus dibayar adalah semakin banyaknya awak kokpit: pilot, kopilot, flight engineer, navigator, dan operator radio. Pada pesawat pembom militer bahkan masih ditambah dengan juru bom.
Singkat kata, semakin jauh jarak penerbangan yang ditempuh atau semakin kompleks misi yang harus dijalani, jumlah awak kokpit yang diperlukan pun semakin banyak.
Kemajuan teknologi
Pada akhirnya, teknologi yang terus menerus semakin modern dan canggih tidak hanya membuat kemampuan pesawat terbang semakin andal. Teknologi pula yang membuat kerja awak kokpit semakin ringan.
Pada 1950, sistem VOR (VHF Omni-directional Radio Range) menghilangkan kebutuhan akan hadirnya seorang navigator dalam penerbangan lintas daratan. Berbeda dari ADF, stasiun pemancar VOR di darat memancarkan sinyal radio dengan arah 360 derajat. Dengan begitu, pesawat penerima sinyal dapat selalu menentukan posisinya, dalam posisi dan arah mana pun.
Kehadiran navigator semakin tak diperlukan ketika pada akhir 1960-an, lahir sistem navigasi inersial (INS). INS adalah instrumen yang mengandalkan sensor dan komputer yang memungkinkan penerbang mengetahui posisi pesawat berikut kecepatan dan arah. Perkembangan teknologi satelit untuk membantu penentuan posisi pesawat pun kian memudahkan pilot dalam bernavigasi.
KOMPAS/BAMBANG SP–Bangunan sederhana di Pelabuhan Udara Pangkal Pinang, Bangka yang bernilai sekitar Rp 30 juta ini, sepintas tidak begitu menarik perhatian. Tetapi di dalamnya tersimpan alat navigasi yang sangat penting bagi penerbangan. Dengan dua signal, alat yang berharga 120.000 dollar AS yang tersimpan di dalamnya dapat menuntun penerbangan yang menggunakan ruang angkasa di seputar Sumatera bagian selatan. Foto diambil Kamis, 6 Maret 1975.
Kemajuan teknologi digital pun pada akhirnya menghilangkan peran yang harus dijalankan oleh seorang operator radio. Pilot dan kopilotnya dapat langsung berkomunikasi dengan pesawat lain atau petugas dari bandara.
DOK BOEING–Generasi terbaru pesawat penumpang berbadan lebar, Boeing 777-9X.
Awak ketiga yang bertahan paling lama di kokpit adalah flight engineer. Sesungguhnya, peranti sensor pemantau kinerja mesin dan sistem pemecahan masalahnya sudah maju pada kurun 1970-an yang memungkinkan pesawat jet badan besar diawaki oleh dua pilot saja. Namun, keengganan industri pesawat terbang mengeksekusi two crew cockpit lebih disebabkan pada menghindari friksi dengan serikat pekerja.
Kini, teknologi pengendalian otomatis pesawat terbang telah demikian canggih. Pada praktiknya, kerja “berat” yang dilakukan pilot dan kopilot hanyalah ketika take off dan landing yang dilakukan bergantian. Sedemikian modern dan canggihnya teknologi mandiri dalam pengendalian pesawat sehingga, pesawat jet komersial besar dengan satu kursi pilot sesungguhnya tinggal menunggu waktu kelahirannya.
Namun persoalannya, apakah maskapai penerbangan akan menyambut gagasan itu seperti ketika Direktur Utama Garuda Wiweko Soepono dengan berani memelopori penggunaan pesawat dengan two-pilot crew pada Airbus A300-B4 pesanannya.
KOMPAS/DUDY SUDIBYO–Pesawat Airbus A300 Garuda Indonesia PK-GAI di Bandar Udara Cengkareng (kini Soekarno-Hatta), 9 April 1984.
Nordlund mengakui, pesawat komersial dengan single-pilot crew hanya dipasarkan jika maskapai penerbangan memiliki selera pada hal itu. Lebih jauh, selera maskapai penerbangan pun akan bergantung pada tingkat kenyamanan calon penumpang jika tahu, mereka akan terbang ribuan hingga puluhan ribu kilometer dalam pesawat berbadan jumbo yang diterbangkan hanya oleh seorang pilot.
Di samping itu, tingkat kenyamanan dan selera ini dikukuhkan oleh regulasi penerbangan. Regulasi penerbangan di eropa misalnya, mewajibkan pesawat penumpang lebih dari 19 kursi dikendalikan oleh dua pilot.
Oleh karena itu, Boeing agaknya tak ingin tergesa-gesa mempromosikan pekerjaan mereka. Seperti yang ditambahkan Nordlund, Boeing ingin lebih dulu merayu maskapai penerbangan kargo untuk menggunakan pesawat jet besar berpilot tunggal.
Rujukan
Boeing Current Market Outlook 2016-2035
Airplanes of The World, Douglas Rolfe; Simon & Schuster, New York.
YUNAS SANTHANI AZIS
Sumber: Kompas, 30 September 2018