Maret lalu ITB genap berusia 32 tahun. Barangkali tak ada yang tahu. Menurut rencana semula gedung berarsitektur unik ini akan dibangun di Jakarta. Sayang, kurang terjaga utuh upaya pelestariannya. Meski perdebatan tentang ciri dan gaya bagunan institut tanpa papan nama ini terus mengundang kontroversi.
Rasanya tidak akan ada yang membantah, Institut Teknologi Bandung (ITB) adalah nama yang tidak asing lagi bagi telinga manusia Indonesia. Inilah salah satu perguruan tinggi tertua yang dimiliki bangsa Indonesia, sekaligus merupakan lembaga pendidikan tinggi teknik yang pertama kali berdiri di bumi Nusantara.
Namun, barangkali tidak banyak orang tahu, perguruan tinggi sains teknologi seni terkemuka ini agak “sulit” dicari. Letak ITB di tengah Kota Bandung, pada sepenggal ruas jalan bemama Ganesha. Jalan sepanjang sekitar 300m ini termasuk teduh, karena dihiasi kerimbunan pohon mahoni pada kedua sisinya. Tapi, bagi orang yang baru pertama kali melewati Jl. Ganesha dan enggan bertanya, jangan berharap menemukan kampus ITB dengan mudah.
Jangan berharap akan melihat papan nama terpancang di muka gerbangnya, sebagaimana lazimnya perguruan tinggi lain. Sebab, tidak pernah ada papan nama mentereng di muka kampus yang menyebutkan bahwa di lahan yang masih memiliki cukup keteduhan dan kehijauan itulah berdin kampus ITB. Yang ada hanyalah sebentuk gerbang dengan portal yang dijaga beberapa orang satpam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Mereka yang baru pertama kali berkunjung ke kampus itu, akan diyakinkan jika sudah tiba di lapangan sepak bola yang terletak di dalam kompleks kampus, sekitar 100 m dari gerbang. Di tepi lapangan itulah terpancang sebentuk tugu batu berwarna coklat genteng, dengan kalimat;
Piagam. Pada hari Senin tanggal dua bulan Maret tahun seribu sembilan ratus lima puluh sembilan, Paduka Jang Mulia Presiden Republik Indonesia Hadji Doktor Insinjur Achmad Soekarno telah meresmikan institut teknologi di kota Bandung. Berkenaan dengan peristiwa tersebut maka piagam ini ditandatangani. Presiden Republik Indonesia, Soekarno.
Berpatokan pada tanggal yang tertera di tugu batu itu, maka tanggal 2 Maret lalu ITB genap berusia 32 tahun. Terbilang cukup matang, untuk mengemban tugasnya sebagai ujung tombak pengembangan pendidikan tinggi sains, teknologi dan seni di tanah air. Mesikpun sebenarnya riwayat ITB sendiri jauh lebih panjang dari sekadar angka-angka yang tertulis di tugu batu itu.
Sejak 1920
Kelahiran ITB sebagai sebuah sekolah tinggi teknik pertama di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari campur tangan pemerintah kolonial Belanda ketika itu. Dilandasi berbagai kepentingannya sebagai penjajah, mereka berniat mendirikan lembaga pendidikan tinggi tekriik (Technische Hogeschool/TH) yang diresmikan tanggal 3 Juli 1920. TH inilah cikal bakal ITB, meski dalam perjalanannya kemudian terdapat perbedaan cukup mendasar antara landasan filosofis kelahiran TH dengan konsepsi diresmikan ITB tahun 1959.
Menurut catatan yang ada, rencana pendirian TH sudah muncul tahun 1910. Atas inisiatif kaum Indo Eropa di Hindia Belanda (Indonesia), berdirilah perkumpulan Indische Universiteitsvereniging (Perkumpulan Universitas Hindia), dengan tujuan di antaranya mewujudkan pendirian universitas di Indonesia. Namun, tahun tahun itu pemerintah kolonial masih menganggap Indonesia belum matang untuk memiliki perguruan tnggi. Pendapat ini didasarkan atas penelitian komisi khusus yang dibentuk pemerintah kolonial tahun 1913 dan 1915. Karena itu, bagi lulusan HBS di Indonesia yang hendak melanjutkan studinya, disarankan belajar di TH yang ada di Delft (Belanda).
Akan tetapi, berkecamuknya Perang Dunia I, menghambat penduduk pribumi yang akan melanjutkan studi ke Eropa. Sebagai jalan keluarnya, pemerintah kolonial kemudian menyelenggarakan kursus beberapa mata kuliah tingkat persiapan. Sementara itu ide untuk mewujudkan perguruan tinggi di Indonesia muncul kembali. Di Belanda, segera dibentuk panitia persiapan untuk mewujudkan pendirian universitas ini. Panitia diketuai J.E Iizerman, seorang Belanda yang memiliki pengetahuan luas tentang masyarakat Indonesia, berkat pengalamannya bertugas di jawatan perkeretaapian di Indonesia. Sebagai konseptor perencana ditunjuk Prof. Ir. J. Klopper, guru besar ilmu pasti terapan dan mekanika di TH Delft. Sedangkan persiapan pembangunan gedung, dipercayakan kepada K.A.R Bosscha, saudagar perkebunan di Malabar, Pangalengan (Bandung Selatan).
Ijzerinan dan Klopper tiba di Indonesia tanggal 19 April 1919. Saat itu masih belum diperoleh kepastian mengenai lokasi berdirinya TH. Ada beberapa kota yang jadi incaran, yakni Solo, Yogya, Jakarta, dan Bandung. Semula, pilihan lebih berat ke Jakarta. Namun, walikota Bandung saat itu, B.Coops, menyatakan kesanggupannya agar TH didirikan di Bandung saja. Bahkan dengan tegas menyebutkan lokasi tanah untuk TH ini, yakni pada sebuah dataran tinggi berhawa sejuk di Bandung bagian utara. Dari tempat ini, dapat terlihat Gunung Tangkuban Perahu di kejauhan. Luas lahan yang disediakan 30 ha, terletak di antara Sungai Cikapundung dan Dago. Karena janji janji walikota Bandung ini pula, gubernur jenderal saat itu P. Graaf van Limburg Stirum langsung setuju TH didirikan di Bandung.
Tanggal 4 Juli 1919 di atas lahan yang masih berupa tegalan dan hanya bisa dicapai melalui pematang sawah yang sempit, ditanamlah empat pohon beringin sebagai tanda dimulainya pembangunan kompleks TH. Ir. Maclaine Pont sebagai arsitek yang dipilih bertugas merancang dan menyiapkan bangunan kampus TH. Setahun berikutnya, pada hari Sabtu, 3 Juli 1920, Gubemur Jenderal van Limburg Stirum meresmikan berdinnya Technische Hogeschool te Bandoeng.
Perkuliahan langsung dimulai seminggu setelah peresmian, dengan hanya satu fakultas, yakni Fakultas Bangunan, Jalan, dan Air yang diikuti 22 mahasiswa angkatan pertama. Wisuda lulusan pertama dilaksanakan tanggal 1Juli 1924, dengan jumlah lulusan 12 orang insinyur, seorang di antaranya wanita. Sebenamya, dalam angkatan pertama TH ada dua orang mahasiswa Indonesia. Namun, keduanya tidak berhasil menyelesaikan studi. Yang seorang mengundurkan diri di tahun pertama, dan seorang lagi menghentikan studinya setelah berlangsung tiga tahun. Baru pada masa wisuda ketiga, 3 Juli 1926, untuk pertama kalinya TH meluluskan empat mahasiswa Indonesia. Mereka adalah R. Soekarno. (presiden pertama RI, M. Anwari, J.A.H. Ondang, dan M. Soetodjo.
Arsitektur unik, futuristik
Selain tidak punya papan nama, keunikan lain dari kampus ITB adalah bentuk arsitektur bangunan gedung cikal bakalnya. Ir. Maclaine Pont berhasil menampilkan suatu bentuk bangunan yang hingga kini diakui berciri arsitektur unik, punya kekhasan dan karakteristik tertentu. Arsitektur gedung kampus ITB juga dinilai mampu menampilkan ciri ciri asitektur Indonesia modern, yakni perpaduan yang serasi antara konsep-konsep arsitektur modern, dengan jiwa dan roh tradisi Indonesia.
Keunikan ini (yang terdapat pada bangunan aula barat dan aula timur), sudah tampak dari bentuk atapnya. Konon bentuk seperti itu merupakan modernisasi rumah adat Sunda yang disebut Julang Ngapak, dengan bentukan atap yang dinamai Cagak Gunting. Menurut Haryoto Kunto, planolog lulusan ITB yang kini dikenal sebagai kuncen Kota Bandung dalam bukunya Wajah Bandoeng Tempo Doeloe, ada yang mengatakan bentuk atap bangunan itu diambil dan gaya atap rumah adat Minangkabau. Bahkan ada pula yang berpendapat bentuk atap TH itu diambil dari bentukan rumah adat Batak, sebagaimana dikatakan almarhum Prof. Ir. van Romondt.
Dari berbagai pendapat itu, barangkali komentar Djauhari Sumitardja dinilai paling mendekati. Dalam bukunya Kompendium Sejarah Arsitektur, dia menyebutkan atap bangunan TH itu bergaya Sunda Besar. Ini juga disetujui Ir.Yuswadi Saliya M.Arch. pengamat arsitektur kebudayaan, yang juga dosen di Jurusan Arsitektur ITB jika dilihat sekilas, memang tampak seperti atap rumah Minangkabau, karena ada bentukan gonjongnya. Namun, kalau diteliti lebih jauh, ada perbedaan, yakni dalam pola bentuk atapnya. Barangkali, yang benar bentuk atap bangunan kampus ITB itu memang bergaya Sunda Besar, yakni perpaduan dari berbagai unsur yang terdapat di kebudayaan Sunda Besar, yakni wilayah yang mencakup Sumatra, Jawa, Kalimantan dan Sulawesi,” jelas Yuswadi.
Bentuk atap sepert itu, juga masih bisa ditemukan di daerah Jawa Barat, yakni pada perkampungan kuno di Desa Talagabodas, Wanaraja (Garut). “Tapi, berbagai pendapat ini memang masih saling debat,” ujamya pula.
Yang pasti, konstuksi bangunan cikal bakal kampus ITB itu sudah terbilang modern. Konstruksinya sudah menggunakan bentukan busur (arch) dengan kayu lapis yang dirangkap (laminated wood). Juga sudah menggunakan bentukan relung . Kayu yang digunakan adalah jenis lokal, dilapis lapis, direkat, dan dijepit, lalu dibuat busur. Bentukan seperti ini terbilang rumit dalam pembuatannya, sehingga menurut Yuswadi, perencanaan yang di buat Maclaine Pont sudah mendahului zamannya sekitar 20 tahun. “Saat itu, di Eropa para ahli bangunan baru mencoba coba bentukan konstruksi seperti yang dibuat Maclaine Pont. Dia memang sangat modern, radikal dan berani,” kata Yuswadi
Karena kemodernan bentuk konstruksi bangunannya, mantan PM Inggris Ny. Margaret Thatcher sempat terkagum kagum ketika mengunjungi ITB beberapa tahun silam. Menurut mantan PM Inggris itu, konstruksi bangunan cikal bakal ITB mirip gaya arsitektur Tudor (nama sebuah bekas kerajaan di wilayah Inggris).
Menurut catatan Yuswadi Saliya, Maclaine Pont adalah seorang arsitek berdarah Belanda kelahiran Jatinegara Jakarta). Setelah menimba ilmu arsitekturnya di Belanda, dia kembali ke Indonesia dan mengabdikan ilmunya untuk pengembangan arsitektur. Dia juga merupakan salah seorang arsitek ternama dan mazhab Indo Europeeshen Architectuur Stijl, yang berkeinginan memadukan gaya seni arsitektur bangunan tradimonal Nusantara, dengan keterampilan teknik konstruksi Barat. Salah satu contoh karya mashab ini adalah bangunan Gedung Sate di Bandung yang dijadikan kantor gubemur Jabar, dirancang oleh arsitek J. Gerber.
Masih cukup banyak karya arsitektur peninggalan Maclaine Pont, yang hampir semuanya memperlihatkan niatnya yang besar untuk memadukan gaya arsitektur modern dengan tradisional Indonesia. Beberapa peninggalannya antara lain ada di Tegal, yang saat ini menurut Yuswadi dijadikan kantor Perusahaan Umum Kereta Api. Juga sebuah bangunan gereja di Pasuruan Gawa Timur, yang menurut Yuswadi juga sudah terlihat sangat modern, namun digabungkan Pont dengan bentukan candi. Pont tampaknya memang gemar mencari yang unik unik. Bahkan segala rahasia keunikan bentuk arsitektur bangunan cikal bakal kampus ITB itu pun, konon telah disimpan oleh arsiteknya di dalam sebuah peti besi yang ditanam di bawah salah satu pilar bangunan induk. Dalam peti itu termuat antara lain berbagai catatan yang melandasi konsep perancangan kampus ITB, sketsa sketsa, rencana, dan denah awal kampus itu.
Sayang sekali, segala keunikan cikal bakal bangunan kampus ITB itu, terlihat kurang terjaga utuh kelestariannya. Dalam arti, berbagai gedung dan bangunan yang tumbuh kemudian, sama sekali terkesan “lepas” dari akar bangunan induknya. Karenanya, secara keseluruhan perkembangan bangunan di ITB jadi terlihat kalang kabut. “Mau diapakan lagi? Perkembangan memang berlangsung bertahap, sehingga tidak sempat direncanakan menyeluruh sejak awal. Mungkin hanya Universitas Indonesia yang beruntung, bisa merencanakan pembangunan kampusnya di Depok itu sejak awal. Kampus-kampus lain memang terpaksa melakukan tambal sulam.” (Arya Gunawan)
Intisari April 1991