CATATAN IPTEK
Temuan lebah raksasa Maluku Utara seperti dilaporkan fotografer Amerika Clay Bolt di laman GWC.
Penemuan kembali lebah raksasa Wallace (Megachile pluto) di pedalaman Maluku Utara telah memberi angin segar bagi upaya pelestarian alam dan keberagaman hayati. Namun, temuan ini juga menjadi ironi. Selain dilakukan oleh peneliti asing dengan tanpa izin penelitian, hal ini juga tanpa pelibatan ilmuwan Indonesia.
Pencarian di mesin google pada Selasa (5/2) menunjukkan adanya 70.100 informasi terkait penemuan lebah raksasa yang baru dirilis sepekan lalu ini, yang menunjukkan besarnya perhatian dunia tentangnya. Empat peneliti asing dari berbagai institusi, yang menemukan kembali lebah ini diwacakan sejumlah media telah melakukan misi mulia: mencari dan mendokumentasikan binatang yang oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List sebagai vulnerable atau rentan ini.
Lebah terbesar di dunia dengan bentangan sayap bisa mencapai enam centimeter ini pertama kali ditemukan botanis Inggris, Alfred Russel Wallace di Pulau Bacan, Maluku Utara pada tahun 1859. Lebah yang oleh masyarakat Maluku Utara disebut sebagai Raja Ofu ini lalu dinyatakan sebagai yang terbesar di dunia (Michener (1965) dan diduga telah punah (Wells, 1983). Hingga akhirnya, entomolog Adam Catton Messermelaporkan keberadan lebah ini di tiga pulau Maluku Utara pada Journal of The Kansas Entomological Societytahun 1984.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Spesimen
Sejak publikasi Messer ini, lebah ini tak pernah dilaporkan lagi keberadaannya. Hingga saat ini, sosok M pluto hanya dikenal dari dua spesimen yang disimpan di Inggris dan Amerika. Satu spesimen dikoleksi Wallace, sekitar 150 tahun lalu dan satu lagi oleh Messer 40 tahun lalu—Indonesia pun tak punya spesimennya!
Lembaga perlindungan satwa liar global, Global Wildlife Conservation (GWC) yang berbasis di Amerikamemasukkan Megachile pluto sebagai salah satu dari 25 spesies yang hilang dan masuk daftar prioritas pencarianmereka.
“Di tengah penurunan keberagaman serangga secara global, sangat menakjubkan menemukan spesies ikonik ini tetap ada di alam,” sebut Simon Robson, profesor emeritus dari Universitas Sydney, seperti dirilis dalam laman kampus di Australia ini.
Robson merupakan salah satu peneliti yang terlibat dalam pencarian lebah raksasa ini, bersama Glen Chilton dari Saint Mary’s University di Canada, Eli Wyman dari Princeton University, dan Clay Bolt, fotografer konservasi dari Montana. Disebutkan, tim ini didukung oleh GWC dalam Program Pencarian Spesies yang Hilang.
Dikonfirmasi melalui surat elektronik atau email terkait dugaan pelanggaran etik penelitian, Direktur Konservasi Spesies GWC Barmey Long menyebutkan, penelitian ini tidak terkait langsung dengan lembaga mereka, namun secara independen oleh Clay Bolt dan timnya. GWC hanya membatu menyebarkan informasi temuan ini.
Sebagaimana diberitakan Kompaspada Jumat (1/2), temuan lebah ini dipersoalkan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi karena tanpa izin dan tanpa menyertakan kolaborator lokal. Padahal, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2006, semua peneliti asing yang melaksanakan kegiatan penelitian di Indonesia harus mendapatkan izin resmi dari pemerintah Indonesia melalui Kemenristek Dikti. Izin riset untuk peneliti asing sebenarnya lazim diterapkan di negara-negara lain.
Clay Bolt mengakui, dia pergi ke Maluku Utara dengan visa turis untuk mencari lebah raksasa ini dan spesies lain yang dideskripsikan oleh Wallace. “Tujuan pribadi saya hanya untuk melihat bahwa lebah ini masih ada dan membantu orang untuk mempelajari tentangnya dan mempedulikan masa depannya,” ujar Bolt, juga melalui surat elektronik.
Menurut Kemenristek Dikti, Maluku Utara yang menjadi rumah lebah raksasa ini merupakan zona riset yang lebih diprioritaskan untuk peneliti Indonesia, sekalipun tidak menutup peluang kerja sama riset dengan peneliti luar negeri (Kompas, 1/2/2019). Masalahnya, hingga penemuan kembali lebah raksasa ini, belum ada peneliti Indonesia yang melakukan penelitian tentangnya. Alasannya klasik, dukungan pemerintah terhadap penelitian ini sangat terbatas.
Kontroversi temuan lebah raksasa di rimba-rimba terakhir negeri ini menjadi tantangan bagi peneliti Indonesia, untuk menjadi yang terdepan dalam menelisik dan mendokumentasikan kekayaan hayati kita. Dalam hal ini, dukungan dana riset dari pemerintah menjadi sangat penting, terutama untuk ilmu-ilmu dasar yang belakangan tersisihkan. Namun, lebih penting lagi, kini kita juga dituntut melakukan upaya yang serius untuk melindunginya, dan itu artinya menjaga habitat Raja Ofu..
Oleh AHMAD ARIF
Sumber: Kompas, 6 Maret 2019