Dalam buku berjudul Marx in the Age of Digital Capitalism (2016), Vincent Mosco mengidentifikasi dua cara pandang tentang ranah digital. Pertama, melihat ranah digital sebagai ruang publik demokratis dan kedua sebagai obyek pengelolaan.
Pada cara pandang pertama, semua orang bebas mengakses informasi dan menyampaikan pendapat. Dalam ruang publik digital ini, pelibatan negara bersifat minimal: mewujudkan akses informasi bagi semua orang dan meminimalkan hambatan.
Pandangan kedua melihat ranah digital sebagai obyek pengelolaan dan pengaturanperusahaan teknologi informasi dan lembaga intelijen negara. Kekuatan modal menjadi penentu semua proses produksi, distribusi, dan pertukaran informasi digital. Ketika perusahaan digital bekerja sama dengan agen-agen negara demi legitimasi dan dukungan politik, bertemulah kekuatan bermotif bisnis dan kekuatan politik yang bermotif pengawasan dan pengendalian (surveillance).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Pandangan demokratis tentang ranah digital menurut Mosco lebih dominan pada tahun-tahun awal pengembangan internet. Saat itu, internet lebih banyak didekati sebagai persoalan kemajuan ilmu pengetahuan dan kebebasan berpendapat. Para pengusaha, perguruan tinggi, dan pemerintah bekerja-sama menciptakan sistem jaringan informasi terbuka dan terdesentralisasi. Setiap warga didorong menjadi subyek aktif, partisipatif, dan terhubung satu sama lain.
Keadaan berubah awal dekade 2000-an. Perusahaan digital bersemangatmenggarap potensi ekonomi dari tren digitalisasi. Negara, khususnya Amerika Serikat, juga semakin menyadari jaringan internet strategis untuk membangun jaringan pengawasan berskala global. Sejak saat itulah, penetrasi perusahaan digital, seperti Google, Microsoft, Amazon, dan Facebook, semakin terintegrasi dalam strategi geopolitik Amerika Serikat.
Dalam konteks inilah pakar media, seperti Vincent Mosco, Robert McChesney, dan Dan Schiller, meletakkan internet dalam kerangka hubungan kekuasaan secara lebih luas. Internet dan sejumlah derivasinya: mesin pencari, media sosial, atau e-commerce tak hanya fenomena teknologi informasi atau kebebasan berpendapat, tetapi juga fenomena ekonomi-politik yang berdampak pada tatanan sosial global. Mereka skeptis lanskap internet transnasional mendukung pelembagaan demokrasi dan deliberasi, yang ada kapitalisme baru yang lebih destruktif terhadap demokrasi.
Dualitas ranah digital
Dualitas ruang kehidupan (lebenwelth) dan sistem seperti didedahkan Jurgen Habermasdalam buku The Theory of Communicative Action memberikan titik tolak untuk menjembatani dua sudut padang di atas. Di satu sisi, ranah digital adalah sebentuk ruang kehidupan tempat setiap orang dapat menyampaikan dan menyerap pendapat serta pikiran secara bebas. Internet adalah ruang mediasi bagi keanekaan nilai, pandangan hidup, dan orientasi kebutuhan dalam masyarakat, sekaligus struktur intermedier perwujudan hak-hak politik warga negara secara komunikatif.
Media sosial adalah tempat bersemainya cakrawala kesadaran, pemikiran, dan nilai yang menyambungkan realitas penyelenggaraan kekuasaan dengan realitas simbolis masyarakat.
Di sisi lain, internet juga beroperasi berdasarkan pertimbangan bisnis. Investasi untuk membangun infrastruktur internet sangat besar sehingga besar pula ekspektasi bisnis perusahaan digital seperti Google, Amazon, Facebook, dan Microsoft. Perusahaan ini dibangun terutama bukan karena idealisme kebebasan berinternet, melainkan komersialisasi dan komodifikasi. Tak mengherankan jika rasionalitas instrumental menjadi dominan: bagaimana memanfaatkan pengguna internet untuk keuntungan.
Tantangannya kemudian adalah bagaimana mewujudkan dualitas sistem dan dunia kehidupan seperti yang dibayangkan Habermas. Bahwa ranah digital adalah ranah komunikasi sekaligus ranah ekonomi. Bahwa internet adalah ruang dialektika proses interaksi sosial dan proses komodifikasi informasi.
UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 sebenarnya telah merumuskan bahwa pers adalah institusi sosial sekaligus institusi ekonomi. Namun, norma ini hanya berlaku untuk media cetak, radio dan televisi, serta jurnalistik daring. Untuk media baru, seperti mesin pencari, media sosial, dan agregator berita, belum ada.
Dualitas internet sebagai wahana komunikasi dan sistem bisnis, sebagai ruang interaksi sosial sekaligus ruang komodifikasi informasi penting ditegaskan sebagai titik tolak untuk memahami fenomena digitalisasi. Kita sedang menghadapi kecenderungan penempatan ranah digital semata-mata sebagai wahana komunikasi dan interaksi sosial. Kata sosial dalam media sosial begitu hegemonik sehingga banyak orang tidak menyadari media sosial sebenarnya merupakan sarana bagi perusahaan digital untuk mengeruk keuntungan.
Kecenderungan reduksi internet menimbulkan sejumlah implikasi. Pertama, berbagai upaya untuk mengatur tata kelola internet nasional dan internasional ditentang oleh perusahaan raksasa digital dan negara penyokongnya. Banyak aktivis dan akademisi terperangkap dalam propaganda itu dan turut menentang pengaturan internet oleh pemerintah atau lembaga internasional, seperti International Telecommunications Union.
Kedua, ranah digital seakan dibiarkan tak terjangkau oleh hukum nasional ataupun internasional. Bukan hanya hukum media, melainkan juga hukum pajak, hukum teknologi, dan hukum persaingan usaha. Akibatnya, sulit mengoreksi dominasi raksasa digital seperti Amazon, Google, Facebook, Microsoft untuk mengatasi berbagai dampaknya, yakni ketimpangan ekonomi, penghindaran pajak, dan pengangguran.
Imun tanggung jawab
Ketiga, ketika media sosial hanya dilihat sebagai ruang interaksi sosial, perusahaan yang mengoperasikan media sosial seperti imun dari tanggung jawab. Jika ada hoaks yang menggemparkan, masalahnya direduksi jadi sekadar konflik pembuat hoaks dengan korban hoaks. Padahal, ada perusahaan media sosial yang memfasilitasi persebaran hoaks, bahkan mencari untung.
Paralel dengan hal ini, seperti dijelaskan Mosco, Pemerintah AS dan perusahaan digital menempatkankasus peretasan, seperti yang dilakukan Edward Snowden, semata-mata sebagai tindakan kriminal pelanggaran privasi atau kerahasiaan dokumen. Padahal ada dua perkara di sini. Pertama, ketidakmampuan perusahaan digital melindungi data pengguna internet yang telah mereka kumpulkan dan monetisasi. Kedua, tindakan peretasan oleh individu atau kelompok. Namun, yang dianggap kriminal hanya yang kedua. Padahal, secara kausalitas, masalah kedua tidak akan terjadi jika masalah pertama tidak ada. Perusahaan digital mengumpulkan data perilaku pengguna internet dan memanfaatkannya untuk keuntungan ekonomi.
Namun, ketika tidak mampu menjaga keselamatan data perilaku dan menyebabkan kerugian bagi pengguna internet, perusahaan tak merasa bertanggung jawab. Peretasan atas kerahasiaan data dianggap bukan tanggung jawab perusahaan digital, melainkan semata-mata tanggung jawab sang peretas.
AGUS SUDIBYO, Direktur Indonesia New Media Watch
—————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 20 Juli 2017, di halaman 7 dengan judul “Internet, Demokrasi dan Komodifikasi”.