Forest Watch Indonesia mengumumkan deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2013-2017 mencapai 5,7 juta hektar atau 1,46 juta hektar per tahun. Kondisi deforestasi ini berelasi dengan risiko bencana banjir pada masing-masing daerah.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Forest Watch Indonesia mengumumkan deforestasi hutan alam Indonesia pada periode 2013-2017 mencapai 5,7 juta ha atau 1,46 juta ha per tahun. Kondisi deforestasi ini berelasi dengan risiko bencana banjir pada masing-masing daerah. Angka hasil kajian Forest Watch Indonesia (FWI) ini jauh berbeda dengan data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut KLHK, deforestasi di Indonesia sebesar 0, 63 juta ha (2016), 0,48 juta ha (2017), dan 0,44 juta ha (2018). Ini dirilis FWI dalam kegiatan seminar yang diselenggarakan mereka, Senin (30/9/2019) di Jakarta.
Angka hasil kajian Forest Watch Indonesia (FWI) ini jauh berbeda dengan data resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Menurut KLHK, deforestasi di Indonesia sebesar 0,63 juta hektar atau ha (2016), 0,48 juta ha (2017), dan 0,44 juta ha (2018).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Direktur Eksekutif FWI Soelthon G Nanggara, Senin (30/9/2019), di Jakarta, mengatakan, perbedaan angka deforestasi ini diduga karena definisi deforestasi yang digunakan FWI dan KLHK berbeda. Adapun metodologi yang dipakai relatif sama, yaitu digitasi peta.
Perbedaan definisi deforestasi karena KLHK mendefinisikan hutan sebagai lahan yang luasnya minimal 0,25 ha dan ditumbuhi oleh pohon dengan persentase penutupan tajuk minimal 30 persen yang pada akhir pertumbuhan mencapai ketinggian minimal 5 meter.
Kondisi itu membuat daerah berhutan yang memiliki luas kurang dari 0,25 ha dan penutupan tajuk kurang dari 30 persen tak terklasifikasi sebagai hutan. Ketika area tersebut hilang/dihilangkan tak tercatat sebagai deforestasi.
Sementara FWI, kata Soelthon, mendefinisikan hutan sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pada pasal satu angka dua disebutkan ”hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Deforestasi Forest Watch Indonesia. Sumber: buku Lembar Fakta: Angka Deforestasi sebagai ”Alarm” Memburuknya Hutan Indonesia yang disusun Forest Watch Indonesia (FWI), 2019.
”Hutan seyogianya tidak hanya diartikan sebagai sekumpulan pepohonan, tetapi juga peran dan fungsinya sebagai salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan bahkan juga menjadi ruang hidup bagi seluruh makhluk hidup tidak terkecuali manusia,” katanya.
Sebagai contoh, FWI tak mengklasifikasikan usaha kehutanan berupa hutan tanaman sebagai hutan. Ini karena hutan tanaman tersebut hanya terdiri satu jenis tanaman atau monokultur sehingga lebih cocok disebut perkebunan, bukan hutan menurut UU No 41/1999.
Ia mengatakan definisi hutan versi pemerintah dimulai sejak tahun 2004 terkait skema mekanisme perdagangan karbon hingga kini. Pendefinisian ini membuat angka deforestasi menjadi ”bias”karena tak menunjukkan kondisi aktual di lapangan. Lebih lanjut, angka deforestasi tak dirasakan sebagai alarm terkait keadaan hutan.
Mufti Barri, pengkampanye FWI, mengatakan, deforestasi periode 2013-2017 ini malah lebih tinggi (1,4 juta ha per tahun) dari rerata periode 2009-2013 yaitu 1,1 juta ha per tahun. Lebih rinci, pada tahun 2017, deforestasi terluas terjadi di Kalimantan seluas 528.000 ha per tahun.
Adapun Sumatera yang rasio hutan sudah di bawah 30 persen masih menjadi pulau terdeforestasi terbesar kedua sebesar 251.000 ha. Di Sulawesi, deforestasi mencapai 247.000 ha, Papua 174.000 ha, dan Maluku 141.000 ha.
Dari deforestasi 1,4 juta ha per tahun tersebut, sejumlah 44 persen di antaranya terjadi di wilayah yang dibebani izin. Izin tersebut berupa penebangan hutan, hutan tanaman, pertambangan, dan perkebunan.
Manajer Program Kemitraan (Partnership for Governance Reform) Hasbi Berliani mengatakan, angka deforestasi selalu menjadi perdebatan karena metode perhitungan pemerintah berbeda dengan organisasi masyarakat sipil dan lembaga internasional.
Terkait hal itu, metode perhitungan deforestasi yang dimiliki pemerintah diharapkan bisa ditinjau dan dibahas bersama para pihak agar lebih inklusif. ”Jadi angka deforestasi lebih kredibel dan mendapatkan kepercayaan internasional,” katanya.
Terkait kajian FWI, pihak KLHK belum memberikan respons resmi. Pejabat KLHK yang dihubungi masih mempelajari kajian FWI tersebut.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO–Deforestasi, menurut versi pemerintah, seperti disusun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Sumber paparan KLHK pada 8 Mei 2019 di Jakarta.
Korelasi bencana
Soelthon mengatakan, hutan alam yang tak terganggu memiliki neraca hidrologi yang lebih baik dibandingkan hutan yang terganggu. Itu disebabkan morfologi tanah di kawasan hutan alam masih terjaga sehingga menyerap air dari curah hujan dalam jumlah besar.
Dengan teori ini, FWI menganalisis rasio tutupan hutan dengan menyandingkannya dengan data risiko banjir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Hasilnya sama, suatu wilayah yang memiliki rasio tutupan hutan rendah, wilayah tersebut memiliki tingkat potensi banjir tinggi. Demikian sebaliknya.
Contohnya, Pulau Jawa memiliki risiko banjir tinggi sebagai akibat akumulasi kehilangan hutan. Risiko berikutnya ada pada Sumatera serta Bali dan Nusa Tenggara, lalu Kalimantan dan Sulawesi, serta Maluku dan Papua.
Soelthon menambahkan, risiko banjir terus meningkat dan terakumulasi seiring makin masifnya investasi berbasis lahan yang mengurangi tutupan hutan di Maluku dan Papua. Bahkan, beberapa waktu lalu, bencana banjir dan longsor yang menewaskan sejumlah warga terjadi di Sentani, Jayapura, Papua, yang dugaan penyebabnya akibat tutupan hutan di Pegunungan Cycloop.–ICHWAN SUSANTO
Editor EVY RACHMAWATI
Sumber: Kompas, 1 Oktober 2019