Herawati Sudoyo, Membumikan Genetika Manusia Indonesia

- Editor

Jumat, 28 Juni 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Sebagai ilmuwan, Herawati Supolo Sudoyo bukan tipe yang mengurung diri dalam menara gading. Profesor biologi molekuluer ini menjadi pembicara di berbagai forum ilmiah tingkat dunia. Namun, dia juga biasa memaparkan penelitiannya di cafe dengan peserta para sosialita dan anak muda gaul, forum guru kebangsaan, hingga ke murid-murid sekolah dasar.

KOMPAS/NIKSON SINAGA–Ketua Tim Unit Identifikasi DNA Forensik Lembaga Biologi Molekuler Einjkman Herawati Sudoyo menjadi pembicara dalam seminar tentang migrasi nenek moyang Indonesia di Universitas Negeri Medan, Sumatera Utara, Sabtu (27/4/2019). Sains genetika mengoreksi pembelajaran sejarah tentang migrasi nenek moyang.

Sebagai ilmuwan, Herawati Supolo Sudoyo bukan tipe yang mengurung diri dalam menara gading. Profesor biologi molekuluer ini menjadi pembicara di berbagai forum ilmiah tingkat dunia. Namun, dia juga biasa memaparkan penelitiannya di cafe dengan peserta para sosialita dan anak muda gaul, forum guru kebangsaan, hingga ke murid-murid sekolah dasar.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Perempuan kelahiran Pare, Jawa Timur ini awalnya masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia sebagai pelarian, setelah patah arang karena terlambat mendaftar di Teknik Arsitektur Institut Teknologi Bandung. Namun, dia justru menemukan panggilannya untuk mendalami ilmu pengetahuan dasar.

Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran pada tahun 1977, Herawati memilih menjadi pengajar di almamaternya, dibandingkan menjadi dokter klinis sebagaimana kebanyakan teman kuliahnya. Pilihan itu mendorongnya melanjutkan studi doktoral di Universitas Monash, Australia pada 1985 di bidang biologi molekuler. Bidang ilmu ini saat itu berkembang sangat cepat dan menjadi pondasi bagi berbagai kajian terapan di bidang kedokteran, pertanian, maupun industri bioteknologi.

Ia kemudian terpilih sebagai salah satu dari empat orang dari Asia untuk bergabung dalam proyek penelitian baru tentang mitokondria manusia yang tengah dibangun Universitas Monash. Proyek ini dipimpin oleh Profesor Sangkot Marzuki, ilmuwan Indonesia yang telah 20 tahun menjadi pengajar di Bagian Biokimia dan Biologi Molekul Universitas Monash.

Ketika pada tahun 1992, Sangkot Marzuki dipanggil pulang ke Indonesia oleh Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie untuk menghidupkan kembali Lembaga Eijkman yang mati suri, Herawati yang baru saja menyelesaikan studi doktoralnya diajak bergabung untuk merintis kajian biologi molekuler di Indonesia. Lembaga Eijkman sebelumnya dirintis dokter dan peraih nobel asal Belanda, Christiaan Eijkman sejak 1886.

Keanekaragaman genetika
Di Lembaga Eijkman, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Herawati kemudian membentuk kelompok ilmiah dan laboratorium sendiri hingga menjadi cikal bakal bagi terbentuknya Pusat Genom Indonesia pada 2018. Genom merupakan keseluruhan informasi genetik yang dimiliki oleh tiap sel atau organisme, dalam hal ini populasi di Indonesia.

Pusat Genom Indonesia ini diawali ketertarikan Herawati untuk memahami hubungan antara keanekaragaman genetika manusia dengan penyakit. Asumsinya, tiap etnis memiliki kerentanan dan juga daya tahan terhadap penyakit tertentu. Dengan memetakan struktur genetika populasi, maka kita bisa memberikan pengobatan presisi.

Masalahnya, data genetika manusia Indonesia saat itu masih kosong. Maka, Herawati dan para peneliti Eijkman melakukan perjalanan panjang ke pelosok Nusantara untuk mengumpulkan data genetis populasi di Indonesia.

“Di awal pendirian, Eijkman mendapat banyak dukungan dari pemerintah sehingga leluasa bergerak. Peralatan kita saat itu setara dengan laboratorium di Universitas Monash, bahkan kita lebih bagus. Saat itu kita juga banyak mengirim peneliti untuk belajar di luar negeri,” kata Herawati.

Namun, situasi kemudian berubah setelah tahun 1998. Krisis ekonomi politik yang melanda, membuat Eijkman tidak lagi menjadi prioritas. Dukungan dana penelitian sangat terbatas dan peralatan pun menua serta ketinggalan.

“Karena kita tidak mampu membiayai staf dan mendukung riset mereka, banyak peneliti kita yang sekolah di luar akhirnya tidak pulang. Sebagian sekarang sudah jadi profesor di luar negeri,” kata dia.

Bertahun-tahun Eijkman lebih mengandalkan kerja sama dengan lembaga sejenis di luar negeri. Pada tahun-tahun itu, Lembaga Eijkman lebih banyak dikenal di luar negeri dibandingkan di negeri sendiri. Hingga pada tahun 2004, nama Lembaga Eijkman mengemuka ketika mereka berhasil mengungkap identitas pelaku bom bunuh diri di depan Kedutaan Besar Australia di Jakarta hanya dalam 13 hari. Herawati dan tim berada di balik pengungkapan kasus ini dengan menggunakan dasar-dasar DNA forensik.

Pada 2008, Herawati mempublikasikan proses identifikasi kasus bom bunuh diri ini dalam jurnal ilmiah forensik terkemuka. Pada jurnal itulah untuk pertama kali, Hera, begitu dia biasa dipanggil, memperkenalkan Disaster Perpetrator Identification (DPI), istilah baru dalam dunia forensik. DPI melengkapi Disaster Victim Identification (DVI) istilah untuk identifikasi korban mati bencana massal yang memang telah biasa digunakan.

Pendekatan DPI dianggap penting karena kasus terorisme di Asia Tenggara memiliki perbedaan dari Timur Tengah di mana organisasi yang bertanggung jawab atas pemboman biasanya langsung membuat pernyataan. Sedangkan di Asia Tenggara para pelaku atau organisasi menyembunyikan keterkaitannya. Sehingga DPI mempunyai peran utama dalam pelacakan organisasi yang bertanggung jawab terhadap suatu bom bunuh diri.

Kasus penyingkapan kasus terorisme ini menjadi bukti keberhasilan penelitian dasar genetika untuk kepentingan nasional. Publikasi kasus bom bunuh diri ini hanya satu satu dari 85 karyanya yang dipublikasikan di jurnal internasional. Selain menjadi peneliti, Hera juga telah memegang jabatan struktural penting sebagai Deputi Direktur Eijkman. Belakangan dia juga menjabat sebagai Ketua Komisi Kedokteran Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI).

Dalam dunia internasional kemampuan Hera diakui melalui keanggotannya di Human Genome Organization (HUGO), Asia-Pacific International Molecular Biology Network (A-IMBN), Asia-Pacific Biosafety Association (APBA), HUGO PAN-Asia Single Nucleotide Polymorphism (SNP) Consortium, menjadi wakil Indonesia pada Study Group of Molecular Diabetology in Asia serta Regional East Asia Forensic DNA group. Ia juga merupakan wakil Indonesia dalam United Nations Biological Weapon Convention Expert Meeting (Geneva) tahun 2008, dan berbagai peran strategis lain.

Aktif ke daerah
Sekalipun demikian, sebagai peneliti, Hera masih sangat aktif ke daerah. Dia nyaris tak pernah absen dalam pengambilan sampel genetik di 130 etnis di Indonesia yang dilakukan Lembaga Eijkman dalam 15 tahun terakhir.

Berbagai medan dan pengalaman telah dilalui, mulai diamuk ombak musim angin barat saat menyeberang dengan kapal ke Pulau Enggano, hingga diguyur hujan deras ketika seharian naik sampan pedalaman Mentawai, hingga naik ojek di pedalaman Sulawesi Tengah. Dia hanya sempat jeda ke lapangan ketika menjalani operasi dua lututnya dua tahun lalu. Namun, begitu sembuh, nenek dua cucu ini kembali ikut dalam setiap pengambilan sampel.

“Hasil penelitian genetika ini turut meluruskan isu terkait pribumi dan non pribumi yang kerap dipolitisasi,” kata dia.

Sebagai ahli genetika dia menemukan bukti-bukti bahwa populasi manusia Indonesia sebenarnya terdiri dari bauran beragam kelompok migran di masa lalu, sehingga klaim pribumi tidak lagi memiliki dasar ilmiah. Data-data genetik yang didapat ini tidak hanya untuk studi ilmiah, namun juga aktif disampaikan Hera ke publik dalam berbagai forum, termasuk juga ke media massa.

Selama hampir empat tahun terakhir, Kompas telah mengikuti perjalanan Hera dan tim Eijkman ke berbagai daerah, dan membantu memberi dasar saintifik untuk mengontruksi mengenai asal-usul manusia Indonesia dan kaitannya dengan berbagai persoalan, mulai dari kesehatan, pangan, hingga identitas kesukuan….

Oleh AHMAD ARIF

Sumber: Kompas, 28 Juni 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 19 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB