Hendra Gunawan Menjaga Macan Tutul Jawa Tak Sampai Punah

- Editor

Jumat, 9 Agustus 2019

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

Hendra Gunawan tercatat menjadi satu-satunya ilmuwan di Indonesia yang menyandang gelar kehormatan profesor riset bidang konservasi macan tutul jawa. Pada pundak peneliti ahli utama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tersebut terpanggul tanggung jawab untuk menyelamatkan macan tutul jawa, predator satu-satunya tersisa di Pulau Jawa dari kepunahan.

Prof Hendra, demikian ia kini mencoba membiasakan diri untuk disapa oleh kolega dan sesama peneliti. Capaian tertinggi bagi peneliti utama tersebut didapatnya pada 22 Juli 2019 setelah dikukuhkan Majelis Pengukuhan Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

KOMPAS–Hendra Gunawan, Profesor Riset Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang Ketua Forum Konservasi Macan Tutul, difoto pada 30 Juli 2019 di Arboretrum Manggala Wanabakti Jakarta.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Hal ini tak didapatkan pria kelahiran Banjarnegara, Jawa Tengah, itu dengan mudah. ”Rumah saya ke SMP berjarak 14 kilometer, jalanan masih berlumpur. Kalau sudah dekat kota, sepeda saya cuci dulu biar tidak diejek anak kota,” kenang Hendra akan masa kecilnya.

Ditemui pada Selasa (30/7/2019), Hendra ditemani peneliti Kebun Raya Bogor LIPI, Sugiarti, seusai mengikuti rapat di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

Hendra mengatakan lahir dari keluarga petani penggarap miskin yang mengerjakan lahan di pinggir sungai dan pemakaman. Ya, di pemakaman atau kuburan tersebut bapaknya menanam singkong dan ubi jalar di bagian-bagian lahan yang kosong.

”Saya masih ingat betul bapak saya lagi nyangkul, saya dan adik saya main motor-motoran naik batu nisan. Pulangnya kami dipikul di keranjang,” kenangnya lagi.

Kemudian, bapaknya bersama warga di kampung ramai-ramai menggarap kawasan hutan yang dikelola Jawatan Perhutani atau Perhutani. Lantaran menggarap tanpa izin, bapak Hendra pernah ditangkap mandor perusahaan negara pengelola hutan produksi di Jawa tersebut.

Meski bapaknya ditangkap mandor, Hendra juga berteman dengan anak mandor Perhutani yang seumuran. Ketika sudah sama-sama dewasa, ia tersenyum mendengar kabar si anak—kawannya tersebut—bekerja sebagai mandor di Perhutani. ”Dan saya, anaknya yang ditangkap mandor, sekarang jadi orang kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” katanya terkekeh.

Apalagi, sekarang dengan capaian sebagai profesor riset yang menempati ”kasta” tertinggi dalam jenjang fungsional keilmuan, ia merasa bangga bisa membanggakan ayahnya yang hanya seorang pesanggem atau penggarap lahan di masa lalu. Capaian ini, lanjutnya, diakuinya sangat dipengaruhi oleh dukungan bapak dan ibunya.

Meski berasal dari keluarga miskin-sederhana, Hendra mengatakan, bapaknya sangat total mendukungnya dalam bersekolah. Ia mengatakan, buku pelajaran yang saat itu sangat mahal dibeli oleh bapaknya.

”Jadi biasa saja waktu SD saya juara kelas karena saya punya buku (pelajaran). Teman-teman saya tidak punya buku, jadi mengandalkan ingatan saja. Kalau sama-sama punya buku, mungkin kawan saya yang jadi juara,” ujarnya.

Warisan ilmu pengetahuan dari orangtuanya ini yang kemudian juga diteruskannya kepada ketiga anaknya. Meski tidak ada yang meneruskan jejaknya sebagai rimbawan, ia mendukung anak-anaknya menjadi pengajar geologi di Universitas Padjadjaran dan apoteker.

Bukan hanya bagi anak-anaknya, ia pun mengatakan sangat bangga bisa mewariskan sejumlah buku pengetahuan terkait konservasi keanekaragaman hayati ataupun pengelolaan hutan. Satu buku, Fragmentasi Hutan (2015) yang ditulisnya bersama LB Prasetyo, laris diunduh hingga puluhan ribu kali.

”Buku jangan hanya dibaca sesama peneliti, tapi pengambil kebijakan dan masyarakat juga harus tahu,” ungkapnya.

KOMPAS–Hendra Gunawan difoto seusai pelantikan menjadi profesor riset pada 22 Juli 2019 di Jakarta.

Pendidikan
Hendra Gunawan sejak sekolah sangat tertarik pada dunia alam belantara. Dia mengakui, hal itu berkat sosialisasi mobil keliling WWF Indonesia dan Yayasan Indonesia Hijau yang memutarkan film terkait hutan dan faunanya di sekolah. ”Saya sampai ada motivasi alangkah enaknya kerja seperti itu (di hutan),” ujarnya.

Bersekolah di SMA 1 Cirebon, Jawa Barat, ia mulai memupuk ketertarikannya pada dunia kehutanan tersebut. Hal ini didukung tradisi sekolah tersebut saat itu yang terdapat kegiatan mendaki Gunung Ciremai setiap kenaikan kelas.

Motivasinya untuk terjun di dunia kehutanan itu kemudian disalurkannya dengan memilih kuliah di Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Tak seperti sekarang, jurusan konservasi ketika itu bukan favorit.

Dibandingkan jurusan lain di Fakultas Kehutanan, yaitu Manajemen Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan, Jurusan Konservasi yang dipilihnya sepi peminat. Ia masih ingat jumlah mahasiswa Jurusan Manajemen Kehutanan mencapai 90 orang, Hasil Hutan 60 orang, dan Konservasi hanya 30 orang, termasuk di dalamnya 3 perempuan.

Hal itu dimaklumi karena tahun 1980-an sedang pada masa kejayaan izin hak pengelolaan hutan (HPH) atau saat ini izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam. Ini menjadikan para calon mahasiswa berlomba masuk ke manajemen kehutanan untuk bekerja di industri pembalakan kayu yang lagi tenar.

”Saya berpikir futuristik karena yang tersisa saat hutan habis nanti, ya, pasti konservasi. Saya merasa di jalan yang benar meski peminat sedikit,” katanya.

Setelah lulus, Hendra pernah menjajal kerja di perusahaan HPH di Aceh Barat. Namun, hal itu tak berlangsung lama, hanya dua tahun. Meski gambaran gajinya saat itu, menurut dia, sebesar 20 kali gaji pegawai negeri sipil, banyak hal yang dilihatnya sehari-hari tak sesuai hati nurani.

”Karena saya dasarnya konservasi, lihat pohon ditebang, lihat gajah dan harimau terusir itu bagaimana begitu. Hati konservasi saya gak happy, gak nikmat,” katanya.

Alasan itu yang membuatnya keluar dari industri kehutanan tahun 1991. Ia kemudian melamar menjadi pegawai negeri sipil. Sambil menunggu hasil pengumuman, ia mengajar di Institut Pertanian Malang.

Tahun 1992, ia dinyatakan lolos diterima sebagai pegawai negeri sipil dengan penugasan pertama sebagai peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Makassar, Sulawesi Selatan. Di situ, ia meneliti kehidupan burung maleo beserta ekologinya yang mengantarkannya lulus mengambil S-2 di IPB pada 2000.

Tahun 2003, ia ditarik ke markas Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan (kini Badan Litbang dan Inovasi) di Bogor. Kembali ke Pulau Jawa ini, ia menekuni lagi soal macan tutul jawa yang tahun 1989 mengantarkannya menjadi sarjana.

Hendra tertarik memfokuskan diri pada penelitian macan tutul jawa (Panthera pardus melas) karena fauna ini satu-satunya spesies kucing besar di belantara Jawa, termasuk di Pulau Nusakambangan. Kerabat dekatnya, harimau jawa (Panthera tigris sondaica), dinyatakan punah pada awal tahun 1980-an.

”Macan tutul jawa sekarang menjadi satu-satunya top predator di hutan-hutan di Jawa karena itu keberadaannya sangat penting bagi ekosistem,” katanya.

Hal itu terbukti, seiring macan tutul jawa yang habitatnya terus tertekan oleh pembangunan infrastruktur, pembukaan lahan, dan fragmentasi, sejumlah konflik pun terjadi. Contohnya, populasi monyet dan babi yang melimpah—karena ketiadaan macan tutul sebagai predator—membuat ”hama” tersebut menyerang areal-areal perkebunan/pertanian masyarakat.

Hendra mempelajari karakteristik macan tutul di tipe hutan pegunungan (Gunung Slamet dan Merapi), hutan dataran rendah (Nusa Kambangan), hutan jati (Kendal), hutan pinus (Banjarnegara bagian utara di Sigaluh), dan vegetasi karst (Gunung Kidul). Desertasinya didapatkan dari penelitian di Gunung Ciremai yang juga menghasilkan lima jurnal ilmiah.

Saat ini, ia pun menjadi anggota kelompok peneliti kucing besar di Badan Konservasi Dunia (IUCN) sejak 2013 dan Ketua Forum Macan Tutul Jawa sejak 2015. Forum tersebut menghasilkan Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Macan Tutul Jawa yang ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar pada 2016.

Sejak terangkatnya isu macan tutul, sejumlah organisasi tertarik mendedikasikan dana dan memberikan perhatian pada satu-satunya kucing besar di Jawa yang tersisa. Ia pun berharap upaya penyelamatan macan tutul jawa dari kepunahan belum terlambat dilakukan.

Ia menyebutkan, di Jawa, sebanyak 50 persen macan tutul tinggal di hutan produksi (areal Perhutani) dan di Jawa Tengah sekitar 80 persen macan tutul tinggal di luar kawasan hutan berfungsi lindung (hutan lindung ataupun hutan konservasi). Areal-areal di luar kawasan hutan ini diharapkannya bisa menjadi kawasan ekosistem esensial yang dilindungi pemerintah daerah.

Selain itu, Hendra pun bermimpi fragmentasi habitat akibat kantong-kantong populasi harimau yang terpisah oleh lahan pertanian, jalan, dan kebun bisa terbangun koridor. Ini untuk menambah ruang lalu lalang macan tutul jawa agar tak terjadi perkawinan sedarah yang bisa membawanya pada kecacatan, dan lalu kepunahan.

Dr Ir Hendra Gunawan, MSi

Lahir: Banjarnegara, 3 April 1964

Isteri: Retno Widianingsih

Anak: 3

Pekerjaan: Peneliti Ahli Utama Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Judul orasi: Inovasi Konservasi Habitat Macan Tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Lanskap Hutan Terfragmentasi

Bidang kepakaran: Konservasi Keanekaragaman Hayati

Pendidikan:
– SD Negeri 1 Kaliwungu, Banjarnegara, Jawa Tengah, lulus 1976
– SMP Negeri 1 Purwareja Klampok, Banjarnegara, lulus 1980
– SMA Negeri 1 Cirebon, Jawa Barat, lulus 1983
– S-1 Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus 1988
– S-2 Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor, lulus 2000
– S-3 Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor, lulus 2010

Organisasi:
– Anggota Cat Specialist Group pada Badan Konservasi Dunia (IUCN), 2013-sekarang
– Ketua Forum Konservasi Macan Tutul Jawa, 2015-sekarang

ICHWAN SUSANTO

Sumber: Kompas, 9 Agustus 2019

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio
Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723
Purbohadiwidjoyo Geologiwan
Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana
Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya
Carlo Rubbia, Raja Pemecah Atom
IPB University Punya Profesor Termuda Berusia 37 Tahun, Ini Profilnya
Haroun Tazieff, Ahli vulkanologi, dan Otoritas Tentang Bahaya Alam
Berita ini 12 kali dibaca

Informasi terkait

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:35 WIB

Dr. Jonas E Penemu Obat Anti Polio

Rabu, 14 Juni 2023 - 14:30 WIB

Antoni Van Leewenhoek 1632 – 1723

Minggu, 14 Mei 2023 - 14:17 WIB

Purbohadiwidjoyo Geologiwan

Minggu, 11 September 2022 - 16:13 WIB

Jane Goodall, Ilmuwan Terkemuka Inggris Tanpa Gelar Sarjana

Kamis, 26 Mei 2022 - 16:33 WIB

Prof. Dr. D. Dwidjoseputro, M.Sc. Sosok Guru dan Guru Besar Biologi Sesungguhnya

Berita Terbaru

Berita

Seberapa Penting Penghargaan Nobel?

Senin, 21 Okt 2024 - 10:46 WIB

Berita

Mengenal MicroRNA, Penemuan Peraih Nobel Kesehatan 2024

Senin, 21 Okt 2024 - 10:41 WIB

Berita

Hadiah Nobel Fisika 2024 bagi Pionir Pembelajaran Mesin

Senin, 21 Okt 2024 - 10:22 WIB