SALAH satu kendala bagi kereta api untuk melaju dengan cepat adalah tikungan. Makin tajam –tikungan yang ditandai dengan angka R (radius) yang kecil— makin berbahaya, sehingga kereta api harus mengurangi kecepatan. Rumusnya, kecepatan maksimum (V-maks) sama dengan 4,3 akar R.
Di jalur elite Jakarta-Bandung, tikungan terbanyak terdapat di antara stasiun Purwakarta dan Padalarang, sejauh 56 km. Di sini ada sekitar 80 buah tikungan yang R-nya di bawah 300, atau tikungan yang radiusnya cuma 300 meter. Dari 80 itu, ada 61 yang di bawah R-200 dan empat di antaranya R-nya minus 160, sehingga di sini kecepatan maksimal kereta api cuma sekitar 50 km per jam. Di sini, jalur yang benar-benar Iurus kalau dijumlahkan tidak sampai 10 km.
Tingkat bahaya di jalur ini makin tinggi, sebab ada tiga tikungan yang merupakan S-curve atau tikungan ganda berbentuk huruf S. Kecepatan di atas batas yang ditetapkan, bisa membuat KA terguling akibat gaya sentrifugal yang berupa dorongan ke arah luar pada benda yang bergerak menikung.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kemungkinan untuk celaka bisa bertambah jika rel dan bantalannya bergeser akibat gaya sentrifugal itu, sehingga Perumka melakukan program perawatan ekstra. Apalagi di sini KA Parahyangan yang menyumbang laba terbesar bagi Perumka, berjalan dua puluh kali sehari, belum lagi kereta api peti kemas dan Jim West –si kereta pasar– serta Cipuja.
Toleransi pergeseran bagi rel dan bantalan akibat gaya sentrifugal adalah lima milimeter ke luar dan dua milimeter ke dalam. Sebelum sampai ke batas toleransi itu, pekarya-pekarya Perumka harus melakukan listring menurut istilah mereka, atau tamping & lining menurut istilah Barat.
Menurut pedoman, listringan dilakukan dua tiga bulan sekali. Namun pada kenyataannya listringan dilakukan tiap bulan, karena tingkat kewaspadaan yang mereka terapkan sendiri.
MEMPERBAIKI keamanan perjalanan kereta api dilakukan antara lain dengan penggantian bantalan rel di tikungan. Bantalan besi diharapkan bisa menahan gaya sentrifugal, sementara bantalan kayu yang kini digunakan mudah terpengaruh gaya itu sehingga sering bergeser ke arah luar.
Bantalan besi berbentuk cekung dan mencakar ke tumpukan balast yang terdiri dari batu-batu kecil, sehingga tidak mudah bergeser. Paku-paku pengikat rel di bantalan besi juga lepih bisa bertahan dibanding di bantalan kayu –terutama kayu murah— yang mudah dol (longgar) kalau sampai paku-paku miring terdorong rel yang kena gaya sentrifugal.
Penggunaan bantalan kayu di tikungan kurang menguntungkan, sebab perlu pemeliharaan ekstra, paku rel mesti sering dikencangkan. Jika lubang pakunya sudah dol, paku-paku rel itu tidak bisa lagi ”memegang” rel dengan lebih kuat. Kalau sudah demikian, rel bisa bergeser dan membuat jarak antar-rel merenggang sehingga roda-roda kehilangan pijakan, kereta api pun bisa anjlok. Tetapi tindakan para baanschouwer menguatkan pegangan rel pada bantalan dengan cara mengencangkan paku-paku rel setiap hari justru merupakan salah satu penyebab kenapa lubang paku di bantalan kayu cepat dol.
Namun demikian pemakaian bantalan besi bukanlah penyelesaian paling sempurna. Karena sifatnya yang kaku dan mampu melawan gaya sentrifugal, pada akhirnya bantalan besi mempercepat keausan rel di tikungan bagian dalam, juga roda-roda kereta.
Cara mengurangi keausan sekaligus menahan gaya sentrifugal dilakukan antara lain dengan memasang gongsol yang berupa ”rel paksa” yang dipasang beberapa senti sejajar rel sebelah dalam. Gongsol yang dibuat dari rel bekas ini dibiarkan tergerus dalam menahan gaya sentrifugal itu untuk menyelamatkan rel tikungan yang seharusnya tergerus. Namun untuk menyelamatkan roda-roda dari gerusan, tidak bisa dilakukan dengan memasang rel gongsol.
Mengurangi keausan roda kereta hanya bisa dilakukan dengan menggunakan steering bogie yang mahal dan merupakan teknologi baru. Karena memasang steering bagie berarti menambah investasi, hingga saat ini tak ada satu pun kereta milik Perumka yang menggunakan bogie (perangkai roda-roda kereta api)
semacam ini.
Memperkuat struktur rel KA di tikungan dengan mamasang gongsol ataupun steering bogie tidak otomatis bisa membuat kecepatan kereta api di antara Purwakarta-Padalarang meningkat. Usaha masinis untuk meningkatkan kecepatan rata-rata di daerah pegunungan itu dari seharusnya maksimal 50 km per jam, justru akan berakibat fatal. Rel mungkin bergeser, merenggang dan KA bisa anjlok atau malah bisa terguling.
SATU-satunya jalan untuk mempercepat perjalanan kereta api antara dua stasiun ini hanyalah dengan cara membangun jalur baru yang tikungan paling tajamnya R-4500. Ini berarti, jalur KA harus menembus gunung dan bukit.
Besarnya biaya pembangunan terowongan ini bisa dilihat bahwa SS (Staats Spoor en Tramwegen –perusahaan KA zaman Belanda) hanya membangun satu terowongan, Sasaksaat, yang panjangnya sekitar satu kilometer. Menghindari terowongan, jalur KA mereka bangun melingkar-lingkar dengan tikungan-tikungan tajam, naik turun pegunungan yang tingginya bahkan sampal 700-an meter dari muka laut.
Jepang membangun Jalur KA-nya nyaris lurus untuk mendapat kecepatan maksimal dan biaya pemeliharaan rel yang minimal. Akibatnya jalur-jalur KA-nya menembus gunung dan bukit, dan untuk jalur sejauh 100 km saja, bisa menembus bukit sebanyak 12 kali. Di sini Shinkansen bisa melaju sampai 275 km per jam.
Kendala-kendala ini yang tampaknya bisa jadi kerikil tajam untuk proyek JB-250, proyek prestisius Departemen Perhubungan menyongsong HUT RI ke-50 pada tahun 1995. Pada saat itu, kecepatan KA Parahyangan akan ditingkatkan, sehingga jarak Jakarta-Bandung sejauh 180 km akan bisa ditempuh dalam dua jam saja.
Hingga kini masih belum diketahui, teknologi yang akan diadopsi untuk proyek JB-250 ini. Tapi yang jelas, meskipun Perumka akan menggunakan tilting car untuk meredam guncangan di tikungan, adopsi sebaiknya dilakukan dari mereka yang menggunakan gauge sempit. Teknologi misalnya dari Alsthom atau Shinkansen yang ber-gauge standar akan memerlukan penyesuaian yang memakan waktu lama, untuk bisa diterapkan di KA Parahyangan kita. (much S hendrowijono)
Sumber: Kompas, tanpa tanggal dan tahun