Gempa Lombok

- Editor

Rabu, 8 Agustus 2018

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

CATATAN IPTEK
Tidak seperti biasanya, gempa dengan kekuatan M 6,4 yang mengguncang Lombok pada Minggu (29/7/2018), justru diikuti oleh gempa yang lebih besar. Berkekuatan M 7,0 gempa itu terjadi tujuh hari kemudian (Minggu, 5/8).

Disebut tidak biasa, karena gempa dengan kekuatan M 6,4 umumnya adalah gempa utama yang diikuti gempa-gempa susulan dengan kekuatan lebih kecil. Orang memang lebih mengenal tipe gempa ini karena lebih sering terjadi.

Namun, sebenarnya ahli gempa dari Jepang Dr Kiyoo Mogi, telah mengelompokkan kejadian gempa dalam tiga tipe: gempa utama diikuti gempa susulan, gempa pendahuluan diikuti gempa utama dan susulan, serta gempa swarm berupa gempa-gempa sedang yang kekuatannya tidak berbeda signifikan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono menjelaskan, semula banyak ahli mengira gempa Lombok adalah gempa tipe 1: gempa utama diikuti gempa susulan. Apalagi sudah ada penurunan kekuatan pada gempa-gempa berikutnya. Ternyata masih ada gempa yang lebih besar.

“Berdasarkan lokasi episentrum yang sama, kedalaman tidak berbeda signifikan, dan sumber gempa sama-sama di Sesar Naik Belakang Busur Flores, disimpulkan bahwa yang terjadi adalah gempa tipe 2. Gempa M 6,4 menjadi pembuka dan gempa M 7,0 sebagai gempa utama,” papar Daryono, Selasa (7/8).

Dalam Earthquake Physics and Fault-System Science yang dipublikasikan The National Academies Press (2003) disebutkan, aktivitas gempa pembuka dideteksi berlangsung pada 40 persen gempa sedang dan besar. Selang waktu dengan gempa utama bisa berlangsung dalam hitungan hari, bulan, bahkan tahun. Tidak heran bila kadang orang salah menduga tipe gempanya.

Gempa yang mengguncang Pulau Simeuleu, Banda Aceh, dan pesisir barat dan selatan Aceh pada 2 November 2002, adalah salah satu contoh. Lewat pelbagai analisis, disimpulkan bahwa gempa berkekuatan M 7,3 itu merupakan gempa pembuka gempa Aceh, 26 Desember 2004. Gempa Aceh 2006 adalah gempa utama dengan kekuatan M 9,1 sekaligus memicu tsunami.

Gempa-gempa lain dengan tipe pembuka-utama juga terjadi di kawasan Aysen, Chile, 2007, dengan selang tiga bulan. Gempa pembuka terjadi 23 Januari dengan kekuatan M 5,2 dan gempa utama pada 21 April dengan kekuatan M 6,2.

Di Prefektur Miyagi, Jepang, selang gempa hanya dua hari. Guncangan pembuka terjadi 9 Maret 2011 dengan kekuatan M 7,3 dan gempa utama pada 11 Maret 2011 dengan kekuatan M 9,0.

Kembali ke gempa Lombok, posisi Sesar Naik Belakang Busur Flores yang aktif dan dekat dengan daratan perlu diwaspadai. “Selain gempa, kawasan pesisir utara Bali, Lombok, Sumbawa, dan Flores, juga berpotensi rawan tsunami,” kata Daryono.

Oleh karena itu, mitigasi mutlak dilakukan. Mitigasi adalah upaya meminimalkan dampak bencana. Pelbagai pengalaman empiris menunjukkan, bukan gempa dan tsunami yang menimbulkan banyak korban, melainkan pemahaman, daya adaptasi, dan kesiap-siagaan dalam menghadapi bencana.

Masyarakat di pesisir harus rutin berlatih evakuasi mandiri. “Karena dengan jarak sesar sedekat itu, selisih gempa dengan datangnya gelombang tsunami hanya sekitar 10 menit. Bantuan sulit diharapkan dalam waktu sesingkat itu,” ujar Daryono.

Namun, secara keseluruhan masyarakat Indonesia wajib membangun rumah dan gedung tahan gempa. Indonesia adalah kawasan gunung berapi, pertemuan antar-lempeng, dan banyak sesar, sehingga rawan bencana vulkanik dan tektonik.

Kenyataan menunjukkan, gempa berkekuatan M 7 bisa menelan puluhan korban jiwa gara-gara tertimpa bangunan di Indonesia, sementara di negara lain seperti Selandia Baru, Jepang, bahkan Turki sekali pun, korban jiwa hanya satu dua.

Sebenarnya banyak kearifan lokal bisa menjadi acuan. Rumah-rumah adat di Pulau Nias misalnya, dibangun dengan bahan kayu dan menggunakan sistem fondasi umpak sehingga fleksibel saat digoyang gempa (Kompas, 11 April 2005).

Kalau pun membangun gedung, maka standar seperti adonan semen, jenis bata, dan ukuran tulang besi, tidak boleh dilanggar. Inilah saatnya standar bangunan tahan gempa disosialisasikan dan pihak berwenang tegas mengawasi pelaksanaannya.–AGNES ARISTIARINI

Sumber: Kompas, 8 Agustus 2018

Yuk kasih komentar pakai facebook mu yang keren

Informasi terkait

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit
Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua
Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS
Di Balik Lambang Garuda di Selembar Ijazah
AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru
Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia
Zaman Plastik, Tubuh Plastik
Suara yang Menggeser Tanah: Kisah dari Lereng yang Retak di Brebes
Berita ini 13 kali dibaca

Informasi terkait

Kamis, 10 Juli 2025 - 17:54 WIB

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Rabu, 9 Juli 2025 - 12:48 WIB

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Juli 2025 - 10:21 WIB

Dari Garis Hitam ke Masa Depan Digital: Kronik, Teknologi, dan Ragam Pemanfaatan Barcode hingga QRIS

Sabtu, 5 Juli 2025 - 07:58 WIB

AI Membaca Kehidupan: Dari A, T, C, G ke Taksonomi Baru

Jumat, 4 Juli 2025 - 17:25 WIB

Melayang di Atas Janji: Kronik Teknologi Kereta Cepat Magnetik dan Pelajaran bagi Indonesia

Berita Terbaru

Artikel

Arsitektur yang Bertumbuh dari Tanah, Bukan dari Langit

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:54 WIB

Fiksi Ilmiah

Cerpen: Tamu dalam Dirimu

Kamis, 10 Jul 2025 - 17:09 WIB

Artikel

Dusky: Senandung Ibu dari Sabana Papua

Rabu, 9 Jul 2025 - 12:48 WIB

fiksi

Cerpen: Bahasa Cahaya

Rabu, 9 Jul 2025 - 11:11 WIB