Kebijakan perlindungan gambut melalui instrumen land swap atau ganti lahan yang digulirkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dikhawatirkan menghilangkan hutan-hutan tersisa di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Ini muncul dalam analisis Koalisi Anti Mafia Hutan terkait peta alokasi lahan usaha pengganti dipublikasikan KLHK.
Pemerintah diminta hati-hati dan tak menjalankan kebijakan land swap. “Jangan sampai menimbulkan masalah baru dan menjadikan konflik maupun deforestasi yang lebih parah,” kata Syahrul Fitra Tanjung, Yayasan Auriga Nusantara, bagian dari Koalisi Anti Mafia Hutan, Selasa (24/7/2018) di Jakarta.
PRESENTASI YAYASAN AURIGA NUSANTARA–tabel Lokasi Land Swap berdsasarkan SK 4732/2017 (Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Kebijakan landswap merupakan respons pemerintah atas izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) yang telanjur berada di area gambut berfungsi lindung. Melalui Peraturan Menteri LHK Nomor 40 Tahun 2017 tentang Fasilitasi Pemerintah pada Usaha Hutan Tanaman Industri Dalam Rangka Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, land swap diberikan ke pemegang izin HTI yang 40 persen atau lebih area kerjanya ditetapkan sebagai ekosistem gambut berfungsi lindung.
KOMPAS/ZULKARNAINI (AIN)–Masyarakat Desa Tenggulun, Kecamatan Tenggulun, Aceh Tamiang, Aceh, menebang pohon sawit yang ditanam di dalam hutan lindung Kawasan Ekosistem Leuser, Selasa (15/12/2015). Pemegang hak guna usaha merambah hutan lindung untuk perkebunan sawit. Seluas 1.070 hektar hutan sawit ilegal dimusnahkan.–Kompas/Zulkarnaini
Dari 2,4 juta hektar area gambut yang harus direstorasi, seluas 1,4 juta hektar adalah konsesi perusahaan yang sebagian diantaranya mengalami kebakaran luar biasa tahun 2015. Peta alokasi land swap ditunjukkan dalam Lampiran Peta Arahan Keputusan Menteri LHK Nomor 4732 Tahun 2017 tentang Peta Indikatif Arahana Pemanfaatan Hutan produksi yang Tidak Dibebani Izin untuk Usaha Pemanfaatan Hutan.
KOMPAS/JOHANES GALUH BIMANTARA (Kebakaran di lahan konsesi hutan tanaman industri di Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Jumat (9/10/2015), menimbulkan asap masif. –Kompas/Johanes Galuh Bimantara
Meski peta itu berskala kecil (1: 500.000) dan tidak memenuhi ketentuan standar Badan Informasi Geospasial mengenai peta operasional, Koalisi Anti Mafia Hutan tetap menganalisisnya. Mereka menemukan 40 persen (362.390 ha) dari total alokasi 921.230 ha berupa tutupan hutan, baik hutan primer maupun hutan sekunder.
Pulau besar
Alokasi land swap ini tersebar di seluruh pulau besar di Indonesia, kecuali Jawa, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, hingga Papua. Dari 19 provinsi alokasi land swap, hanya 5 provinsi (Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat) tidak berada pada hutan alam. Namun, luas alokasi land swap di lima provinsi ini relatif kecil yakni 36.070 ha atau hanya 3 persen dari keseluruhan lokasi.
Sementara sebagian besar lokasi land swap berada di tutupan hutan alam di Aceh, Papua, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara, dan Maluku. Sebanyak 70 persen (251.137 ha) total luasan tutupan hutan alam terancam oleh kebijakan land swap di daerah ini.
Secara khusus, Syahrul menyoroti Papua yang juga jadi sasaran lokasi land swap. Di Papua bagian selatan yang memiliki morfologi dataran datar dan intensitas hujan rendah dialokasikan area land swap 65.758 ha berupa hutan alam. Di Papua Barat, sebagian besar (3.565 ha) dari total 4.890 alokasi land swap berupa hutan alam.
“Hal ini jadi kegelisahan kami dan pertanyaan kenapa KLHK mengalokasikan lokasi land swap di tempat tersebut, bukan diarahkan pada area konsesi tak produktif dan calon area HTI seperti pernyataan sebelumnya,” kata dia.
Dengan hasil analisis ini, Koalisi Anti Mafia Hutan mengusulkan agar area land swap memenuhi kriteria yaitu prioritas area kawasan hutan engara berizin pada tanah mineral yang selama ini tak beroperasi (izin tidur), bukan hutan alam (termasuk hutan alam terdegradasi). Ia pun mengingatkan agar area land swap bukan wilayah kelola masyarakat adat/lokal yang telah dikelola maupun dicadangkan.
Koalisi pun menyarankan pemerintah agar mempublikasikan hasil revisi rencana kerja usaha dan rencana kerja tahunan HTI yang terkena pemulihan lahan gambut, termasuk rencana pemulihan korporasi tersebut. Selain itu, ia mengingatkan agar pemberian izin pada area land swap dilaksanakan terbuka dan melibatkan partisipasi publik.
Dikonfirmasi terkait land swap, pekan lalu, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bambang Hendroyono menyatakan, “Sementara kita tidak pikir itu”. Ia pun mengatakan tidak ada perusahaan yang menagih area land swap .
Dengan demikian apakah Peraturan Menteri LHK nomor 40 tahun 2017 akan dihapus? “Kita tidak ada urusan kok. Peraturan Menteri 40 hanya antisipasi. Kita tidak pikirkan itu,” kata dia.
Ia mengatakan pemerintah mendorong perusahaan memiliki tata kelola lingkungan baik. Sementara itu, area konsesi berkonflik didorong menjadi perhutanan sosial yang mendukung industri perusahaan. “Jangan bicara land swap. Tidak ada. Nanti dibilang dikasih izin lagi,” kata Bambang.–ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 24 Juli 2018