Pada kongres arkeologi tingkat dunia di Nice, Paris, tahun 1976, “Bapak Prasejarah Indonesia”, Prof Raden Pandji Soejono (almarhum), bertemu seorang mahasiswa geologi bernama François Sémah. Itu menjadi titik mula kerja sama penelitian lintas negara yang berlanjut hingga sekarang dan mencetak peneliti-peneliti arkeologi Indonesia.
Tahun 1979, François muda datang ke Indonesia. Di bawah bimbingan Soejono dan geolog Institut Teknologi Bandung, Prof Sartono, ia mencari umur dari lapisan tanah dengan metode paleomagnetis, yaitu mencari jejak perubahan medan magnet bumi di dalam lapisan. Tahun 1980, François mulai melakukan ekskavasi di beberapa situs.
Waktu itu, François bersama istrinya, Anne-Marie Sémah, seorang peneliti serbuk sari (palinolog), diminta Soejono tinggal di Bandung untuk membantu pengembangan laboratorium cikal bakal Balai Arkeologi Bandung. Kini, François menjadi profesor di Muséum National d’Histoire Naturelle, Perancis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Di Indonesia, dia terlibat dalam sejumlah kerja sama penelitian multidisipliner. Ini warisan dari tiga peneliti besar saat mengeksplorasi situs Sangiran di Jawa Tengah. Mereka adalah Prof Soejono yang meneliti sisi arkeologi alat-alat batu, Prof Teuku Jacob yang meneliti fosil manusia dari sisi kedokteran, dan Prof Sartono yang melihat lapisan tanah dan fosil binatang dari sisi geologi.
“Prof Teuku Jacob dan Prof Sartono adalah mahasiswa langsung dari Von Koenigswald, paleontolog utusan Belanda yang menemukan fosil manusia purba di Sangiran (Jawa Tengah). Bersama Soejono, Jacob dan Sartono bekerja sama merintis penelitian modern multidisipliner,” ujar François di Bali, pertengahan Juli lalu.
Banyak penelitian arkeologi Indonesia yang berpangkal dari hasil tulisan-tulisan peneliti Belanda. “Situs Song di Pacitan (Jawa Timur), misalnya, telah digali Pak Soejono sebelum mendapat gelar doktor. Kami masih menyimpan satu paku Pak Soejono karena kami menggali di bekas galian beliau,” ucapnya.
Penelitian dibangun dari orang ke orang, dari satu generasi peneliti ke generasi peneliti lain. Ibaratnya, peneliti saat ini duduk di atas bahu peneliti sebelumnya. “Artinya, visi kami semakin tinggi karena kami memanfaatkan dari hasil orang sebelumnya,” kata François.
Penelitian “masterpiece”
Di Sangiran, François menemukan bekas lapisan proto Kendeng. Temuan ini terungkap setelah ia membaca laporan survei tahun 1930-an yang memperlihatkan lapisan tanah lempung aneh. Pada lapisan itu ditemukan fosil tulang hewan dan artefak yang mengindikasikan tempat itu pernah dihuni Homo erectus.
Di kawasan itu, tepatnya di Ngebung, ia juga menemukan lapisan yang terfosilkan pasir berisi alat-alat batu. Dalam lapisan itu terdapat batu-batu halus yang dipangkas dengan rapi, bahkan ada juga batu yang jarang terlihat di Sangiran. Artinya, batu-batu tersebut dibawa dari tempat lain yang jauh.
Penemuan ini menunjukkan, Homo erectus bisa membuat alat dan dipengaruhi kondisi daerah Sangiran yang miskin batu. Homo erectus mencari batuan kerakal yang keras, lalu dibuat menjadi alat dengan semacam pemukul.
Pembuatan alat ini mirip tradisi di Afrika 1,5 juta tahun lalu. Saat itu, manusia purba menyebar dari Afrika ke Eropa, sebagian ke Tiongkok, dan sekitar 800.000 tahun lalu berhasil mencapai kepulauan Indonesia.
“Penemuan ini membuktikan, saat itu ada koridor di paparan Sunda yang memungkinkan penyebaran orang membawa tradisi sampai di Pulau Jawa. Ini penting,” katanya.
François juga melakukan penelitian bersama arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), Prof Truman Simanjuntak, di situs Song Terus, Pacitan, Jawa Timur. Mereka menemukan lapisan aluvial penuh artefak berumur sekitar 350.000 tahun. Di atasnya terdapat lapisan hunian paling tua di Asia Tenggara berusia 85.000-100.000 tahun.
Penemuan ini menyisakan pertanyaan, lalu siapa yang menghuni tempat itu? Pertanyaan lebih besar, kapan Homo erectus punah di Pulau Jawa? Jawabannya masih diperdebatkan, apakah pada 100.000-150.000 tahun lalu atau kapan. “Ini belum terpecahkan,” ucapnya.
Dalam penelitian terakhir, François melibatkan Sofwan Noerwidi, arkeolog muda dari Balai Arkeologi Yogyakarta, yang merupakan master paleoantropologi lulusan Institut de Paléontologie Humaine, Paris. Sofwan yang akan melanjutkan program PhD di Paris tahun 2017 diharapkan bisa memecahkan misteri temuan dua gigi susu di Song Terus.
Mencetak peneliti
Sofwan adalah salah satu dari sekian peneliti muda Indonesia yang melanjutkan studi di luar negeri berkat kolaborasi penelitian lintas negara rintisan François bersama almarhum Soejono. Kerja sama penelitian ini melibatkan Puslit Arkenas bersama Muséum National d’Histoire Naturelle, Perancis. Selain menghasilkan banyak temuan, program itu juga membuka kesempatan studi bagi arkeolog-arkeolog muda Tanah Air.
Di antara mereka sebut saja Mirza Ansyori (yang studi S-3 di Muséum National d’Histoire Naturelle, Perancis), Harry Octavianus Sofian (lulusan S-2 Muséum National d’Histoire Naturelle, Perancis), Anjarwati Sri Sayekti (lulusan S-2 Muséum National d’Histoire Naturelle, Perancis), dan Ruly Fauzi (lulusan S-2 Università Degli Studi di Ferara, Italia). Berbekal hasil kolaborasi penelitian di lapangan, mereka berangkat studi dan menguji temuan-temuannya dalam bentuk tesis serta disertasi. Bagi mereka, François adalah bapak sekaligus guru.
Dengan penemuan dua gigi di Song Terus, François bisa saja menyerahkan sampel temuan ke laboratorium untuk diteliti satu hingga dua tahun sampai memunculkan hasil kajian. Namun, ia memercayakan temuan itu kepada arkeolog-arkeolog muda di lapangan.
“Dengan memercayakan kepada orang yang lebih memahami, temuan akan menghasilkan temuan-temuan baru. Hasilnya akan berbeda dibandingkan penelitian orang di laboratorium. Mungkin publikasi tentang Song Terus akan telat diterbitkan satu atau dua tahun ke depan. Tetapi, kita bicara untuk 100 tahun ke depan yang jauh lebih besar nilainya,” tutur François.
Dalam Simposium Internasional Diaspora Austronesia di Bali, 18-23 Juli 2016, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan memberikan penghargaan atas jasa François. Peneliti senior ini tidak hanya menghasilkan penelitian ilmiah, tetapi juga meningkatkan sumber daya manusia arkeolog Indonesia. Banyak master dan doktor arkeologi Indonesia yang lahir dari besutannya.
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
FRANÇOIS SEMAH
Lahir:
Paris, Perancis, 1954
Posisi:
Profesor di Muséum National d’Histoire Naturelle, Perancis
Jabatan:
2004-2012: Kepala Departemen Prasejarah Muséum National d’Histoire Naturelle, Perancis
2012-sekarang: Kepala Program Pengajaran Akademik Muséum National d’Histoire Naturelle, Perancis
Karier:
Pusat Riset Ilmiah Nasional Perancis (CNRS) sebagai peneliti 1979, peneliti senior 1994
Anggota Komite Ilmiah UNESCO pada Program Tematik (Evolusi Manusia, Adaptasi, Persebaran, dan Perkembangan Sosial)
Co-founder dan Wakil Ketua UISPP (International Union of the Prehistoric and Protohistoric Sciences) Komisi Ilmiah Asia Tenggara
Anggota Dewan Nasional Perguruan Tinggi Perancis
Penghargaan:
Penghargaan Silver Medal dari CNRS (1994)
Penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia (2016)
ALOYSIUS B KURNIAWAN
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Agustus 2016, di halaman 16 dengan judul “Pencetak Master dan Doktor Arkeologi”.