Apa yang dilakukan oleh Boeing di atas tak pelak lagi menguatkan tren yang sudah ada dewasa ini untuk memperluas penggunaan bahan bakar dan energi baru dan terbarukan (selanjutnya disingkat EBT). Pada dunia otomotif, mobil hibrida—yang menggunakan bahan bakar bio dan listrik atau bio dan konvensional—semakin umum. Di sejumlah negara, energi angin, panas bumi, atau surya terus digalakkan.
Panggilan zaman itu sejak awal telah didorong oleh tumbuhnya kesadaran untuk mengurangi polusi udara. Dalam perkembangan berikut, munculnya fenomena pemanasan global semakin memicu pemanfaatan EBT.
Di sejumlah negara, upaya untuk memanfaatkan EBT mendapat momentum. Meski demikian, urusannya tidak sesederhana orang membalik tangan. Bagaimanapun, banyak riset dan pengembangan harus dilakukan sebelum EBT benar-benar bisa dipanen secara kompetitif, ekonomis.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam hal bahan bakar bio untuk pesawat, yang akan dicoba oleh Boeing di China adalah yang berbasis jatropha atau jarak, yang beberapa waktu lalu juga menjadi bahan pemberitaan di Indonesia, tetapi kemudian surut. Sejumlah pengamat menilai, bahan bakar bio seperti jarak punya prospek baik, tetapi untuk menjadikannya sebagai produk komersial skala besar masih perlu waktu beberapa tahun atau lebih lama. Untuk penerbangan, pihak yang pesimistis malah mengatakan, bahan bakar bio akan membeku sebelum pesawat mencapai ketinggian jelajah. Atau, kalau bukan itu, pada mesin pesawat yang sekarang beroperasi perlu dilakukan modifikasi yang mahal ongkosnya.
Kekurangan tenaga
Di satu sisi, pengembangan EBT membutuhkan tenaga-tenaga ahli, khususnya di bidang riset dan pengembangan. Di sisi lain, bahkan negara maju seperti Inggris pun dewasa ini mengeluh kekurangan tenaga ahli di bidang ini.
Menurut Renewable UK, organisasi induk industri tenaga angin dan kelautan Inggris, sekarang ini jumlah tenaga terlatih dan berpengalaman dalam EBT tidak mencukupi lagi untuk memasang, menjalankan, atau merawat instalasi. Kalau tidak ada solusi, industri EBT Inggris tidak akan berkembang penuh sesuai dengan potensi yang ada (International Herald Tribune, 19/10).
Masuk akal pihak berwenang di Inggris menyuarakan kerisauan akan masalah kekurangan tenaga EBT ini karena mulai sekarang, dan lebih-lebih ke depan, daya saing perekonomian akan ditentukan oleh tingkat dan skala kehijauan industri. Semakin ramah lingkungan industri di satu negara, akan semakin diterima produknya.
Lalu, bagaimana mengatasi masalah kekurangan tenaga iptek, dalam hal ini yang bekerja di ranah EBT? Mau tidak mau, porsi pendidikan sains dan teknologi harus ditambah di sekolah menengah, juga di universitas teknik yang punya bidang terkait.
Kondisi Indonesia
Pemerintah Indonesia, dihadapkan pada tuntutan baru di bidang lingkungan dan juga menipisnya cadangan energi konvensional, melalui Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 telah membentuk unit baru setingkat eselon I di lingkungan Kementerian ESDM, yakni Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi.
Seperti dikutip di atas, promosi EBT, juga konservasi energi, tidak saja menjadi kepentingan bangsa Indonesia, tetapi juga dunia. Muncul pula pertanyaan, apakah cukup tersedia ahli EBT di negara kita?
Mengikuti uraian di atas, di bidang EBT yang dibutuhkan adalah ahli dalam ilmu fisika, rancang bangun, apakah itu untuk turbin, transmisi, dan bahkan untuk instalasi dan perawatan. Pendidikan dan pelatihan iptek tak diragukan lagi menjadi dasar bagi keahlian ini.
Yang merisaukan adalah justru akhir-akhir ini ditengarai merosotnya kegiatan sektor riil atau industri manufakturing dalam perekonomian nasional. Pabrik-pabrik, apakah tekstil, pengolahan kayu, pembuatan mesin-mesin, tak pernah menjadi berita. Industri EBT yang muncul lebih belakangan boleh jadi malah belum banyak dilirik. Padahal, justru di berbagai bidang itulah diharapkan ada kegiatan nilai tambah yang melibatkan pemanfaatan iptek.
Secara umum, kegiatan industri yang menghasilkan produk bernilai tambah tinggi terus kalah pamor dengan aktivitas ekonomi yang lebih cepat menghasilkan keuntungan, misalnya yang terkait dengan perniagaan. Inilah tren yang sejak tahun 1980-an menjadi kerisauan tokoh seperti BJ Habibie, ada kecenderungan bangsa Indonesia menjadi trading nation, bangsa pedagang, bangsa konsumen, dan bukan bangsa pembuat.
Padahal, kultur ini—bagi bangsa sebesar Indonesia—dalam jangka panjang amat merugikan. Sebab, selain tidak mengembangkan kemandirian, ia juga akan menyedot devisa karena produk bernilai tambah tinggi yang dibeli umumnya lebih banyak daripada produk domestiknya, yang lebih didasarkan pada ekonomi konsumsi.
Pengembangan EBT seharusnya jadi momentum kebangkitan, bila di bidang otomotif, dan kini juga terjadi di bidang seluler, kita telanjur telah menjadi bangsa konsumen. Meski untuk energi geotermal mungkin kita masih harus menimba ilmu dan pengalaman dari Selandia Baru, masih ada banyak peluang bagi bangsa Indonesia untuk mengembangkan teknologi yang khas lokal. Lebih-lebih bila kearifan lokal perlu dimasukkan dalam ikhtiar pengembangan EBT ini. [NINOK LEKSONO]
Sumber: Kompas, Rabu, 20 Oktober 2010 | 03:05 WIB