Wabah penyakit ebola, zoonosis dari hewan liar, kembali keluar (spillover) dari hutan di Republik Demokratik Kongo (RDK), awal Mei 2018. Wabah ini bermula dari Bikoro, suatu wilayah terpencil, dekat hutan di Provinsi Equateur. Karena sulitnya komunikasi, wabah ini tak segera diketahui pihak berwajib. Sampai 11 Juni 2018, 59 orang tertular dengan kematian mencapai 29 orang (case fatality rate/CFR 49%). Angka ini menggambarkan, tiap dua orang tertular, satu meninggal dunia.
Sejak wabah pertama di Zaire (sekarang disebut RDK), 1976, disusul wabah di Afrika Barat (2014), WHO bekerja sama dengan jaringan yang berkaitan dengan kesehatan, seperti Global Outbreak Alert Response Network, Emerging and Dangerous Pathogens Laboratory Network, CDC Atlanta, US Naval Medical Research Center, China Centers for Disease Control, European Union Mobile Laboratory Consorsium, dan perusahaan obat swasta, menyiapkan metode diagnosis yang bisa diterapkan di lapangan, pembuatan vaksin, petunjuk untuk menangani penderita, dan lainnya. Penyuluhan kepada masyarakat mengenai bahaya penyakit ebola, melengkapi fasilitas rumah sakit, pelatihan tenaga medis, dan lainnya juga terus digalakkan. Namun, mengapa ebola muncul lagi?
Penyakit ebola pertama kali ditemukan di Zaire dan Sudan pada 1976. Wabah menimpa lebih dari 602 orang, dengan kematian 431 orang (CFR 71,6%). Tingginya CFR disebabkan kedua negara belum berpengalaman menangani wabah penyakit baru yang begitu dahsyat. Fasilitas kesehatan yang kurang memadai menyebabkan banyak tenaga medis tertular di rumah sakit.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Setelah wabah pertama tahun 1976-1977, ditemukan lagi wabah dalam skala kecil di RDK (1979, 1995, 2001-2003, 2007-2009, 2014, 2017), Sudan (1979, 2004), Gabon (1994, 1996-1997, 2001-2002), Uganda (2000-2001, 2007-2008, 2011-2013), dan Pantai Gading (1994). Dari tulisan di atas, RDK menduduki tempat teratas kejadian penyakit ebola.
Wabah ebola terbesar terjadi di Afrika barat (Guinea, Sierra Leone, dan Liberia) tahun 2014. Jumlah penderita dalam 2 tahun mencapai 28.600 dengan korban tewas 11.300 (CFR 39,5%). Dunia gempar karena ebola menimpa negara yang relatif kecil, tetapi jumlah korban sangat besar.
Kendala pengelolaan
Kendala utama mengelola penyakit ebola ialah reservoir virus ebola terdapat di kelelawar pemakan buah famili Pteropodidae berukuran besar (kalong) yang ada di hutan. Selain di Afrika, kelelawar famili ini juga ditemukan di sebagian wilayah Asia Selatan, Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dan Australia. Membinasakan kelelawar tidaklah mungkin dilakukan. Selain itu, kelelawar punya peran menyebar biji buah-buahan di hutan. Keberadaan virus di kelelawar merupakan ancaman bagi mereka yang tinggal dekat hutan atau berburu di hutan.
Kedua, virus ebola sangat ganas sehingga untuk menangani atau meneliti diperlukan laboratorium dengan tingkat keamanan tinggi (BSL IV). Fasilitas BSL IV sulit didapatkan di Afrika tengah dan barat. Keberhasilan peneliti membuat laboratorium mini yang mudah dipindah ke lokasi terpencil sangat membantu mendeteksi dini penyakit.
Ketiga, masyarakat belum yakin bahwa satwa primata dan hewan liar lain bisa tertular virus ebola. Kebiasaan memburu hewan liar sebagai sumber protein (bushmeat) dan menjualnya di pasar, seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, mempunyai risiko menyebarkan penyakit baru dari hutan yang berbahaya. Memang tidak setiap satwa primata dan kelelawar mengandung virus ebola. Mengacu kajian longitudinal virus Hendra pada kelelawar Pteropussp di Australia, pengeluaran virus di urine, saliva, atau tinja tidak berlangsung terus-menerus.
Keempat, pemulasaraan jenazah oleh anggota keluarga merupakan kebiasaan turun temurun. Air bekas memandikan jenazah bisa menjadi sumber penular. Penelusuran pada kasus pertama, ketika anggota keluarga memandikan jenazah, 11 anggota keluarga menjadi sakit, tujuh di antaranya meninggal dunia.
Pengetahuan masyarakat tentang bahaya penyakit ini juga masih kurang. Terbukti, tiga penderita yang sedang dirawat di rumah sakit melarikan diri sebelum sembuh. Dua di antaranya kemudian meninggal dunia.
Munculnya vaksin ebola dengan nama rVSV-ZEBOV yang telah lulus uji keamanan (safety)memberi harapan baru dalam pencegahan penyakit. Uji coba vaksin telah dilakukan pada sekitar 12.000 orang di Guinea dan Sierra Leone (2017) untuk melihat potensi kekebalan vaksin. Agar dapat dipakai secara komersial, vaksin ini harus menunggu beberapa persyaratan. Vaksin ebola sangat bermanfaat, terutama bagi tenaga medis di rumah sakit, peneliti, dan tenaga laboratorium yang rawan terpapar. Vaksin sama juga dipakai di RDK (2018) untuk meredam penyebaran penyakit dengan strategi ”ring vaccination”.
Sementara itu, ”obat” dalam bentuk monoclonal antibody yang dikenal sebagai ZMapp telah dipergunakan secara terbatas, tetapi hasilnya belum dapat dievaluasi. Sinergi pembuatan vaksin dan ”obat” akan sangat bermanfaat untuk mengelola penyakit ebola.
Soeharsono Mantan Penyidik Penyakit Hewan
Sumber: Kompas, 19 Juni 2018