Beberapa waktu lalu kita mendengar bahwa Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sangat aktif mendekati beberapa negara untuk penjajakan kerja sama e-government.
Setidaknya ada tiga negara yang didekati, yaitu Korea, Singapura, dan Australia. Dalam hal ini, ada beberapa pertanyaan dari komunitas pegiat teknologi informasi dan komunikasi (TIK) Indonesia, sebetulnya apa yang perlu dibangun hingga memerlukan pendekatan pada banyak negara? Apakah teknologinya, prosesnya, ataukah orangnya?
Kita ingat, saat kampanye pemilihan presiden, Jokowi beberapa kali mengungkapkan, jika terpilih dirinya akan membangun banyak pelayanan berbasis elektronik, seperti e-government, e-budgeting, dan e-audit. Jokowi sangat yakin, pembangunan e-government itu sangat mudah, bisa diselesaikan dalam orde beberapa minggu atau bulan dan dapat dikerjakan oleh anak muda. Saat ini pemerintahan Jokowi-JK sudah lebih dari 100 hari. Namun, sayangnya pembangunan e-government masih dalam proses pencarian mitra.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sementara itu, beberapa kota mulai aktif membangun kota cergas (smart city). Menurut kolega saya dari Vienna University, Eropa, e-government (smart government) merupakan bagian awal dari kota cergas dan sudah dilakukan mereka. Selanjutnya adalah smart energy, smart environment, dan lainnya untuk mendukung kota.
Sebelum membahas kondisi atau ranking e-government Indonesia di dunia, mungkin perlu kita pertegas dulu apa sebenarnya e-government itu?
Kalau kita coba maknai secara sederhana, e-government adalah suatu proses pelayanan dan pengelolaan pemerintahan dengan bantuan penggunaan TIK berbasis perangkat elektronika.
Tujuan penyelenggaraan e-government umumnya agar sistem pemerintahan lebih efisien, transparan, dan efektif. Dengan demikian, proses pelayanan publik seperti perizinan, pembayaran, hingga penganggaran tak mesti tatap muka. Proses jadi lebih cepat, transparan, dan bisa dilacak jika ada kelambatan atau penyalahgunaan wewenang. Komponen utama e-government adalah orang (people), proses, dan teknologi. Artinya, pembangunan e-government tak sekadar memasang teknologi seperti pusat data (data center), jaringan, dan aplikasi, tetapi harus memikirkan orangnya, baik birokrat, penggunanya, maupun proses pemerintahannya. Jadi, kalau mau belajar atau kerja sama dengan negara luar itu apanya? Teknologinya, prosesnya, atau orangnya?
Ranking “e-government”
Ada beberapa organisasi dunia yang mengukur kondisi e-government suatu negara, seperti Bank Dunia dan Waseda University. Penulis sebagai Vice President International Academy of CIO ikut bergabung dengan Waseda University, Jepang, mengukur dan kemudian membuat ranking e-government. Pengukuran berlangsung tiap tahun mulai 2005. Pada 2014 Indonesia menempati posisi ke-32 dari 62 negara yang diukur. Amerika, Singapura, Korea, Inggris, dan Jepang berturut-turut di posisi lima besar.
Ada 9 indikator utama dan 33 subindikator sebagai dasar pengukuran. Indikator itu: 1) kesiapan jaringan, 2) efisiensi pengelolaan, 3) layanan online, 4) portal nasional, 5) government CIO, 6) promosi e-government, 7) e-participation, 8) open government, dan 9) cyber security. Kalau kita pilah, 9 indikator utama itu bisa digabung dalam tiga hal besar, yaitu teknologi, orang, dan proses.
Lebih jauh kalau dilihat dari laporan negaranya (country report), ada beberapa hal yang bisa kita pelajari agar Indonesia bisa meningkatkan pelayanan e-government-nya. Kesiapan jaringan Indonesia dinilai 5.5, artinya masih jauh untuk kepuasan kualitas akses data. Mudah-mudahan dengan program Rencana Pita Lebar Indonesia (RPI), kesenjangan akses internet bisa dikejar.
Sementara itu, pengelolaan operasi e-government di Indonesia masih sangat rendah, ada di urutan ke-47 dari 62 negara. Kemungkinan karena masih adanya pulau-pulau layanan yang belum terintegrasi dan ketidakjelasan pengelolaannya. Indikator yang masih di papan bawah dibanding negara lain adalah e-participation, artinya partisipasi penduduk mengikuti layanan e-government ini masih sangat kurang.
Kemungkinan juga karena promosi yang sangat kurang ataupun kemampuan penduduk masih rendah terhadap pelayanan berbasis TIK ini.
Salah satu indikator penting lainnya adalah CIO (chief information officer), suatu jabatan penanggung jawab layanan informasi di suatu organisasi, termasuk pemerintahan. Cara memandang TIK di suatu pemerintahan masih beragam, ada yang mengatakan itu hanya alat, tetapi ada juga yang menyatakan itu sebagai pengungkit (enabler) atau bahkan sebagai transformer.
Otoritas atau level dari CIO di organisasi itu berbagai macam. Kalau di kementerian bisa level eselon 2 atau 3, demikian juga di pemerintahan kota/kabupaten, ada yang eselon 2 atau 3. Dengan level itu, sebenarnya hampir sulit melakukan proses rekayasa karena keterbatasan otoritas. Hampir semua level pemerintah sudah tahu jika TIK itu penting. Namun, saat penempatan di organisasi masih belum tepat dalam penyusunan organisasinya.
Oleh karena itu, CIO harus di level strategis agar bisa mereformasi pemerintahan jadi efektif dan efisien. Dengan demikian, CIO harus menempel dengan orang nomor 1 di organisasi. Pertanyaan selanjutnya, siapakah CIO pemerintahan Indonesia? Apakah Menpan? Apakah Menkominfo atau Sekab? Apakah setiap CIO di kementerian dan pemkot ataupun pemkab berkoordinasi dengan CIO pusat? Kalau tidak, bagaimana integrasi dan koordinasinya?
Pembangunan TIK kuncinya adalah koordinasi dan integrasi. Maka, organisasi dengan CIO yang kuat dan kokoh diperlukan. Dalam hal ini, pekerjaan rumah Jokowi cukup berat untuk membangun kondisi ideal pembangunan e-government di Indonesia. Mudah-mudahan saja kota- kota yang sedang membangun smart city juga melakukan persiapan organisasi yang tepat.
Suhono Harso Supangkat, Guru Besar TI ITB; Koordinator Prakarsa Smart City Indonesia
————–
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 April 2015, di halaman 6 dengan judul “”E-government” Indonesia”.