Temuan-temuan arkeologi seharusnya dapat berguna bagi masyarakat, apalagi di tengah kondisi perubahan sosial-budaya di masyarakat saat ini. Arkeologi harus didekatkan kepada masyarakat agar mampu mentransformasikan pesan-pesan masa lalu menjadi kebijakan publik.
“Yang dibutuhkan masyarakat bukanlah naskah akademis, melainkan tindakan nyata yang membantu masyarakat untuk memberdayakan tinggalan arkeologi,” kata arkeolog Universitas Gadjah Mada, Daud Aris Tanuredjo, mengatakan hal tersebut dalam orasi ilmiahnya pada Gebyar 105 Tahun Purbakala di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Sabtu (21/7/2018).
Dia mengatakan, unsur-unsur yang selama ini dianggap sebagai jati diri bangsa kini dipertanyakan dan bahkan ingin dihilangkan. Kebinekaan ingin digantikan dengan dominasi budaya tunggal, toleransi digantikan dengan hegemoni, dan kepentingan pribadi menggeser sifat gotong-royong.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS–Tari Tionghoa Dayak dan Melayu (Tidayu) yang ditampilkan pada acara Gebyar 105 Tahun Purbakala melambangkan multikulturalisme di Kalimantan Barat, Sabtu (21/7/2018), di Jakarta.
Daud menilai, saat ini karya-karya arkeologi yang membahas topik jati diri bangsa seakan tidak mampu memberi dampak positif yang nyata bagi masyarakat. “Untuk itu arkeologi di Indonesia membutuhkan jati dirinya yang baru,” kata Daud.
Ia berpendapat arkeologi Indonesia saat ini masih berada pada situasi pascakolonial. Hal-hal yang bersifat kolonialisme masih dipraktikkan dalam ranah arkeologi di Indonesia. Misalnya, kerja arkeologi yang masih didominasi oleh pemerintah. Sampai saat ini, hampir semua ahli arkeologi adalah aparat pemerintah.
“Pemahaman masyarakat terhadap cagar budaya juga berubah, kini masyarakat melihat cagar budaya sebagai sumber daya yang dapat dimanfaatkan,” ujar Daud. Masyarakat menyadari haknya untuk ikut mendapat hasil dari cagar budaya yang ada di lingkungan tinggal mereka.
Pada masa kolonial, tinggalan arkeologi adalah kebanggaan kolonial terhadap negeri jajahannya. Pada masa kebangkitan nasional, arkeologi adalah pendorong kesadaran sebagai satu bangsa. Pemaknaan itu selalu berubah sesuai zamannya. Untuk itu, kini arkeologi di Indonesia perlu bekerja dengan berbagai bidang ilmu lain agar lebih berdampak pada kehidupan masyarakat.
PANDU WIYOGA UNTUK KOMPAS–Arkeolog dab Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia Mundarjito menerima penghargaan sebagai tokoh Perkumpulan Arkeologi Indonesia, Sabtu (21/7/2018).
Potensi lokal daerah
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hilmar Farid, dalam sambutan tertulisnya, mengatakan, potensi peninggalan purbakala harus diproyeksikan sebagai salah satu potensi lokal daerah. Dalam proses pengelolaannya, Hilmar mendorong agar para arkeolog bekerja sama dengan para peneliti lintas disiplin ilmu.
Menurut Daud, langkah-langkah strategis itu perlu diambil agar masyarakat bisa merasakan manfaat positif temuan-temuan arkeologis. Ia mencontohkan kejayaan masa lalu bisa dibangkitkan melalui kearifan lokal masyarakat, misalnya penggunaan relief Candi Sojiwan sebagai motif batik masa kini.
Ketua Pengurus Harian Perkumpulan Ahli Arkeologi Indonesia Wiwin Djuwita mengatakan, kreativitas masyarakat Indonesia telah terlihat dalam hasil penelitian para arkeolog sejak lebih dari seabad lalu. “Dengan kreatif mereka mampu mengadopsi pengaruh asing menjadi budaya yang unik,” kata Wiwin.
“Hal seperti itu terkadang masih dianggap sebagai sampingan, padahal justru melalui cara seperti itu arkeologi bisa berkontribusi nyata bagi masyarakat,” kata Daud. Ia meyakini usaha itu akan mampu berkontribusi langsung pada ekonomi kreatif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.(PANDU WIYOGA)–YOVITA ARIKA
Sumber: Kompas, 23 Juli 2018