Tulisan Prof Syamsul Rizal (Kompas, 5/8/2014) dan Prof Heru Susanto (Kompas Siang, 5/8/2014) sangat tepat, baik dari sisi isi maupun sisi momentum.
Meski latar belakang permasalahan berbeda, keduanya menyuarakan situasi darurat riset di republik ini. Syamsul Rizal menuturkan getirnya pelecehan dunia internasional terhadap kondisi riset kita serta mengusulkan solusi agar seluruh insan akademik fokus mengerjakan riset, termasuk rektor perguruan tinggi. Sementara Heru Susanto menjelaskan secara rinci tahapan yang harus dilakukan oleh pemerintah (baru) untuk keluar dari keadaan darurat ini.
Selain menyentuh isu yang sedang hangat saat ini, yaitu penggabungan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Riset dan Teknologi menjadi satu kementerian baru, keduanya menyimpulkan problem yang sama, yaitu rendahnya kualitas riset. Saya sangat setuju dengan yang terakhir ini.
Kualitas, bukan yang lain
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Dalam satu dekade terakhir muncul kesimpulan, untuk memecahkan masalah riset ini kita harus fokus pada beberapa bidang. Alasannya simpel; dana terbatas, modal yang dikeluarkan untuk riset harus kembali dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Jika Heru Susanto berpendapat pemikiran tersebut mengingkari hakikat riset itu sendiri, saya berpendapat pemikiran pragmatis tersebut menyesatkan. Alasannya juga simpel. Ambil contoh: lampu penerangan LED yang menjadi ikon pencahayaan modern serta sangat efisien saat ini dikembangkan dari riset semikonduktor. Jika dirunut ke masa lampau berasal dari riset fisika kuantum, jauh dari rencana menghasilkan lampu penerangan. Bayangkan, jika para ilmuwan berkutat meneliti lilin atau suluh, yang pada masa lalu merupakan sumber utama penerangan, untuk mencari pencahayaan modern yang dapat dipakai di gedung-gedung, jalan raya, hingga kamera saku atau ponsel.
Dalam wawancara dengan majalah ilmiah bergengsi Science, Juni 2000, Presiden China saat itu, Jiang Zemin, menegaskan pentingnya riset dasar, di samping riset terapan bagi China. Menurut dia, tak akan ada teknologi mikroelektronik tanpa teori kuantum serta tidak akan pernah ada pembangkit listrik tenaga nuklir tanpa hadirnya teori relativitas Einstein.
Saat dicanangkan mobil nasional yang harus diteliti dan dikembangkan di Indonesia adalah mobil listrik, saya sangat khawatir. Dua komponen terpenting untuk mobil listrik: magnet dan baterai. Apakah riset di republik ini untuk kedua komponen tersebut sudah sangat berkualitas sehingga produknya mampu bersaing? Saya khawatir jawabnya tidak mampu. Konsekuensinya, penelitian mobil listrik semata-mata jadi perakitan mobil listrik, dengan komponen yang dibeli atau paling tidak dari paten yang dibeli dari luar negeri.
Kegiatan riset pelbagai bidang ilmu ibarat kegiatan membuat keping-keping mosaik yang jika dirangkai oleh pembuat kebijakan akan menghasilkan wajah produk kebanggaan bangsa. Jika keping-keping tadi dibuat serampangan, dengan kualitas sangat rendah, tentu sulit menggabungkannya. Kalaupun bisa digabungkan, wajah yang terbentuk tidak jelas sehingga tak dapat dijual atau dibanggakan.
Di negara maju, keping-keping tadi sudah tersedia dengan kualitas tinggi, sehingga wajah apa pun yang ingin dirangkai para pembuat kebijakan dapat mudah terwujud. Jelas bahwa kualitas riset yang rendah akan menyulitkan pemerintah mencari strategi jitu pemanfaatan hasil riset.
Selain itu, seperti dikemukakan juga oleh Heru Susanto, riset juga memiliki dimensi-dimensi lain. Di perguruan tinggi, terutama program pascasarjana, riset merupakan bagian sentral dari pendidikan. Melalui riset, mahasiswa dididik memahami, menjiwai, dan menerapkan metode ilmiah yang telah ia pelajari dalam menemukan dan menjelaskan fenomena baru di bidangnya.
Menerapkan metode ilmiah di lapangan kerja masing-masing merupakan janji tiap wisudawan saat dilepas perguruan tinggi. Di samping itu, perguruan tinggi juga mengemban tugas mulia yang tak dilakukan institusi mana pun, yaitu pengembangan ilmu melalui riset. Jika ilmu hanya diimpor dan diajarkan ke mahasiswa, makna perguruan tinggi berubah semata-mata menjadi sekolah lanjutan. Namun, untuk dapat mengembangkan ilmu, riset yang dilakukan harus memiliki kualitas tinggi, setara dengan riset negara maju yang sudah sejak lama giat mengembangkan ilmu.
Memperbaiki kualitas
Tahapan-tahapan memperbaiki kualitas riset dijelaskan Heru Susanto. Secara ringkas dapat saya simpulkan ada tiga hal yang perlu dilakukan, yaitu perbaikan sistem, infrastruktur riset, serta kualitas SDM. Perbaikan sistem juga mencakup peningkatan investasi riset besar-besaran serta perubahan sistem penggunaan dana yang banyak dikeluhkan menguras tenaga dan membingungkan periset. Perbaikan infrastruktur termasuk pengadaan peralatan baru yang tentu tidak murah. Rendahnya kualitas riset banyak ditengarai akibat peralatan riset kurang presisi. Sebagian besar peralatan yang ada saat ini berasal dari proyek pengadaan pada 1980-an dan 1990-an.
Berapa biaya yang dibutuhkan? Belum ada data yang jelas. Namun, untuk perguruan tinggi, kita memiliki sekitar 20.000 program studi. Jika 30 persen program studi eksakta butuh perbaikan peralatan minimum Rp 10 miliar, dana yang dibutuhkan sekitar Rp 60 triliun. Pada akhirnya, SDM di belakang ini semua merupakan kunci utama dari kualitas riset.
Permasalahan di sini bukan hanya rendahnya jumlah periset dengan kualifikasi doktor, juga banyak doktor yang sudah mengalami pembusukan akademik. Jika sistem dan SDM juga ingin diperbaiki, saya perkirakan pemerintahan baru harus mengalokasikan sekitar Rp 100 triliun. Memang mahal, tetapi akan lebih mahal lagi jika ditunda karena semua sudah berkarat, sementara kompetisi global meningkat.
Berkaca dari debat capres dan cawapres lalu, saya setuju bahwa kita tak punya presiden dan wapres dengan visi riset kuat dalam lima tahun ke depan. Namun, setidaknya kita berharap presiden dan wapres baru punya keinginan dan perhatian besar untuk memperbaiki kualitas riset. Pentingnya campur tangan presiden dapat dilihat dari contoh sederhana berikut. Hibah penelitian yang ada saat ini tidak dapat dipakai untuk menggaji seorang post-doctoral untuk magang di suatu grup riset tertentu seperti di negara maju ataupun tetangga kita. Masalah ini berihwal dari pakem standar biaya umum Kementerian Keuangan. Hanya presiden yang bisa mengubah itu dengan memberi instruksi kepada Menteri Keuangan.
Terry Mart, Fisikawan; Anggota Dewan Pendidikan Tinggi dan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia
Sumber: Kompas, 13 Agustus 2014